Rasa sakit itu mungkin akan mengikuti sepanjang waktu. Tak peduli di mana pun berada. Ingatan akan Hamish, juga segala kenangan yang ditinggalkannya, meninggalkan jejak yang begitu dalam. Entah sampai kapan aku bisa melupakannya.
Kuputuskan untuk pergi sejauh mungkin. Ke tempat di mana lelaki itu tidak akan menemukanku. Kecuali takdir yang berbicara. Aku tak mungkin menghindar dari garis nasib yang kelak ditentukan Sang Pemilik Kehidupan.
Setelah berjam-jam berada dalam bus, kuputuskan menetap di sebuah tempat yang sama sekali baru kusinggahi. Jauh dari ibu kota, juga dari kampungku sendiri.
Rumah yang kini kutempati adalah rumah kecil milik warga yang kukontrak dengan sewa murah setiap bulannya. Berada di wilayah pesisir pantai selatan Jawa Barat.
Tinggal berjalan beberapa meter saja, aku sudah bisa menikmati birunya lautan. Pantainya masih perawan dengan bulir pasir berwarna cokelat keemasan. Hanya warga kampung sini saja yang biasanya menggunakan pantai ini untuk bermain. Angin dan ombak yang besar, juga beberapa batu cadas di pinggir pantai, menjadikan tempat ini kurang disukai untuk berenang.
Mayoritas warga hidup sebagai petani dan nelayan. Aku tak mengalami banyak kesulitan untuk beradaptasi dengan kehidupan di kampung ini. Mereka sangat ramah dan menerima kehadiranku dengan senang hati.
"Neng Flory teh kok kayak artis, ya? Kayaknya Bi Nani teh pernah lihat si Neng main film."
Bi Nani, tetanggaku, lagi-lagi penasaran. Padahal aku sudah tak berdandan modis seperti dulu saat menjadi artis.
"Mirip kali, Bi Nani," jawabku sebisa mungkin menyembunyikan statusku yang sebenarnya. Aku benar-benar ingin melupakan masa laluku sebagai artis.
Bi Nani hanya manggut-manggut. Antara percaya dan tidak dengan kata-kataku. Perempuan berusia mendekati kepala enam itu paling sering kumintai tolong. Rumahnya persis berada di depan rumahku.
"Neng teh sudah menikah?" tanya Bi Nani lagi. Kali ini dia mengantarkan sepiring pisang goreng yang masih hangat.
"Sudah, Bi. Hanya saja hubungan kami sedang tidak baik. Sepertinya saat ini saya sedang ingin sendiri."
Hanya itu yang bisa kukatakan pada Bi Nani. Perempuan itu tak lagi bertanya. Suaminya terlihat baru datang melaut. Bi Nani tergesa pergi menyiapkan makanan untuk Mang Asep seperti biasa.
Aku memilih melaksanakan shalat Dhuha, dilanjut dengan berdzikir dan menghabiskan waktu membaca Alquran menunggu Dzuhur tiba.
Dalam kesendirian seperti ini, rasanya aku lebih butuh kepada Allah. Tak ada yang bisa kumintai tolong kecuali Dia. Berharap kepada manusia seringkali membuat kecewa. Hanya pada Allah sajalah, semua rasa itu dapat bermuara.
Bekal tabunganku dari hasil menjual apartemen masih lebih dari cukup. Aku belum mau terburu-buru memutuskan untuk mencari tambahan penghasilan.
Tentu saja dalam beribadah itu butuh ilmu. Rasanya tak cukup hanya membaca buku dan belajar otodidak dari internet. Aku butuh guru. Saat ini, aku masih mencari orang yang tepat untuk membimbingku. Sebelum menemukannya, aku memilih ibadah mandiri. Menguatkan hati yang seringkali lalai dari mengingat-Nya.
Saat dalam kesendirian, sering aku merindukan Ibu. Tapi kutahan sejenak. Belum saatnya aku menelepon Ibu. Suatu hari nanti, ketika kondisi hatiku jauh lebih baik, tentu saja aku ingin menceritakan semua yang kualami kepada Ibu.
Aku masih butuh waktu untuk menguatkan hati.***
Sunrise di pantai saat pagi hari adalah surga. Hampir setiap pagi, kusempatkan jalan-jalan sebentar di pantai untuk menikmati indahnya bola kuning raksasa saat muncul di kaki langit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Sebuah Nama (Lengkap)
RomanceFlo dipertemukan kembali dengan Hamish pada saat karier keartisannya tengah terpuruk. Lelaki yang pernah menjadi teman SMA-nya itu sangat berbeda dengan yanga ia kenal dahulu. Namun, siapa sangka pertemuan itu justru membawanya kepada jalan baru yan...