Ada banyak alasan untuk membuatku beranjak pergi darimu, tapi ada satu alasan yang membuatku tetap berada di sampingmu, aku mencintaimu.
.
.
.Mereka ingin sedikit bahkan lebih banyak untuk egois. Tidak peduli apa kata orang-orang, sekalipun itu sebuah cibiran atau barangkali teguran negatif yang menyakitkan. Asal kebersamaan ini tidak berakhir.
Hinata, aku ingin selalu bersamamu. Aku tidak sekuat seseorang yang mampu merelakan cintanya. Aku sudah lama menunggu, menyimpan perasaan ini sampai aku benar-benar yakin pantas berdiri tegak di depanmu. Ternyata aku pun masih lemah, aku ketakutan. Bagaimana jika ada orang lain yang mendahuluiku. Apakah aku tidak tahu diri di sini? Sejujurnya iya. Kau berhak bahagia dengan pria yang jauh lebih baik, bisa membuatmu bangga. Bukan pria biasa seperti aku. Tapi Hinata, bolehkah bila aku menjadi percaya diri di sini? Aku sungguh bahagia ketika cintaku terbalas. Jadi apakah kau bersedia di sisiku selamanya? Pengakuan lelaki itu bagai puisi cinta terindah dari yang paling indah, bagi Hinata.
Dia besar kepala sekarang, ketika Naru telah secara terang-terangan mengatakan seberapa besar perasaan yang dia miliki. Sejujurnya itu sangat mengejutkan, terlalu luar biasa dari yang terpikir oleh Hinata sendiri. Rasanya seperti kau adalah satu-satunya ratu pemegang tahta tertinggi di hatinya.
Tentu seorang ratu bisa mendapatkan apa pun yang dia mau, termasuk dia meyakini bahwa lelaki itu tak secuil pun berniat untuk meninggalkannya. Apalagi kenyataan bahwa Naru telah memendam perasaan cinta mendalam di waktu yang lama. Berujung dia mengucapkan keinginannya yang terdengar berani dan lelaki itu sempat kaget bercampur bingung.
Dengan mudahnya Hinata berkata; "Aku akan bilang pada Ibu untuk menginap di rumah Ino. Mereka enggak bakal tahu aku ada bersamamu. Kau keberatan?" Dia menanyakan itu saat raut kekasihnya tampak tidak nyaman. Terus dia memerhatikan, pandangannya menuntut dan Naru paham betul sulit untuk menolak permintaannya. Hingga meski berat hati pula agak cemas, Naru mengangguk lambat diiringi senyum tipis mengandung keraguan.
Kini dia seperti budak cinta atau berhasil diperbudak cinta, entah yang mana, yang jelas Hinata tidak ingin waktunya bersama Naru cepat berakhir. Benar kata orang-orang bijak terdahulu, cinta kerap mengubah seseorang. Kadang kala mengambil kewarasan, ada pula merampas logika sampai terjerumus ke jurang nestapa.
Bila diingat pertama kali Naru menemui dirinya, lalu mengutarakan rencana untuk mendekatinya. Banyak hal dipertimbangkan oleh Hinata kala itu, termasuk bagaimana menutupi kebenaran tentang sosok Naru agar keluarga bisa menerima keputusannya dan hanya dia yang tahu cara apa itu.
Keduanya meninggalkan senja di pantai, setelah kisah seharian tersebut mereka ukir di pasir yang basah, lalu tersapu riak ombak. Namun kenangan itu tetap terukir di memori, tertanam dalam naluri tanpa ada siapa pun dapat menghapus juga merenggutnya dari mereka terkecuali takdir.
Di perjalanan pulang, Naru sekali lagi mencoba meyakinkan Hinata agar pulang ke rumah. Namun dia bersikukuh, hingga pada akhirnya Naru membawa kekasihnya tersebut ke kelab tempat dia bekerja. Di atas motor yang lajunya tenang, berbingkai langit yang sepenuhnya nyaris gelap, Hinata memeluknya amat kencang, menyandarkan kepalanya ke punggung lebar lelaki itu. Kelopak matanya terpejam, namun dia bukan tidur. Sesekali sudut bibirnya pula tersungging manis. Barangkali dia tengah berada di alam yang dia ciptakan sendiri, di mana segala hal bisa dengan mudah terjadi.
-----
Kedatangannya menyebabkan Yahiku dan karyawan lain tercengang. Betapa tidak, dia muncul dalam keadaan berbeda. Hanya mengenakan kaus putih, pun dipenuhi noda kecokelatan juga berpasir. Belum lagi dia membawa seorang wanita ke tempat itu. Dan mereka langsung menebak jika dia adalah kekasih si lelaki pirang.
KAMU SEDANG MEMBACA
To be Lovesick ✓
RomanceHidup seorang diri, tanpa ingatan apapun tentang keluarganya. Uzumaki Naruto hanya lelaki sederhana, bekerja sebagai karyawan biasa. Bukan direktur, dokter atau layaknya para pria penakluk wanita dengan segudang kemilau harta. Tapi, takdirnya tak se...