Selepas makan malam tanpa kehadiran Alfred di depannya, Jeff duduk termangu di ruang tengah. Alfred belum pulang, ponselnya pun tidak bisa dihubungi. Percakapannya bersama Minho saat menunggu lampu lalu lintas menyala hijau kembali terngiang-ngiang di kepala. Bukan maksud ingin menuduh Alfred sebagai pelaku, hanya saja kenyataan yang terjadi saat ini memaksanya untuk berpikir demikian.
"Kau percaya Alfred, tapi kenapa tak membantah ucapanku?"
"Aku akan bicarakan hal ini dengannya nanti."
"Kau meragukan sahabatmu?"
Jeff diam sejenak, lalu menjawab. "Tidak, aku hanya perlu waktu untuk berpikir."
"Tak perlu khawatir, aku akan segera menyelidikinya lagi. Memang sangat sulit jika dihadapkan dalam situasi seperti ini. Kau ingin percaya karena dia adalah sahabat dekatmu, tapi kau juga tidak bisa melupakan fakta bahwa pengkhianatan bisa dilakukan oleh siapa saja."
"Bagaimana denganmu? Kau meragukannya?" Jeff memutar pertanyaan yang sempat ditujukan padanya. Minho masih memperhatikan lampu merah tanpa memberi jawaban. "Wajahnya baik, apa kau yakin dia?"
Tawa kecil kembali terdengar dari detektif berambut coklat itu. "Kau tahu, penjahat paling berbahaya sekali pun bisa berkeliaran dengan bebas menggunakan wajah polos nan lugunya."
"Jadi, kau mencurigai Alfred?"
"Aku detektif, aku akan mencurigai semua orang yang berkaitan langsung dengan tempat kejadian, alat, dan bahan berbahaya dalam penyelidikanku."
Pusing. Jeff merasa kepalanya ingin pecah setiap rentetan kalimat itu jatuh dengan sangat keras dan menghantam ubun-ubunnya. Masalahnya adalah Alfred menghilang tanpa kabar. Pihak rumah sakit mengatakan bahwa dia sudah pulang sebelum senja. Namun, hingga sekarang, Alfred belum juga terlihat. Jeff ingin meminta pertolongan Minho, tapi ponsel detektif itu tidak ada bedanya dengan milik Alfred. Tidak bisa dihubungi.
Helaan nafas kasar terdengar memenuhi ruangan, Jeff lelah dengan isi pikirannya yang tak henti-henti menyulitkan keadaan. Pandangannya mengedar ke seluruh penjuru ruangan, lalu terhenti di miniatur angsa berbahan kayu yang terletak di atas nakas kecil. Bukan itu yang menarik perhatiannya, melainkan sebuah kunci yang bertengger di ekor angsa. Ya, kunci mobil Alfred.
"Dia tidak menggunakan mobil? Sial, sudah jam sebelas malam. Ke mana dia sebenarnya?" gumam Jeff sembari bangkit dari duduknya.
Tanpa pikir panjang lagi, Jeff berlari kecil ke kamar untuk mengambil mantel dan tas kecilnya. Lalu, menarik kunci mobil Alfred dan menuju ke garasi. Setelah memeriksa pintu rumah dan jendela terkunci dengan baik, Jeff naik ke mobil, dan meninggalkan pekarangan rumah.
Kau harus ke tempat budidaya jamur bersama Minho.
Pelakunya sudah sangat dekat.
Aku memang tahu.
Kalimat-kalimat Alfred kemarin malam semakin membuat pikirannya keruh. Alfred menyuruhnya ke tempat budidaya jamur bersama Minho agar dia punya waktu untuk kabur? Sudah sangat dekat karena sebenarnya dialah pelakunya? Dia memang tahu, tentu Alfred tahu semuanya. Dia adalah pelakunya.
"Tidak, aku mohon berhentilah berpikiran negatif, Jeff. Bukan Alfred pelakunya, dia sangat menyayangi orangtuamu. Jadi, tenanglah," ucap Jeff kepada dirinya sendiri setelah menepikan terlebih dahulu mobilnya.
Jeff bersandar di jok sambil memejamkan mata. Kebiasaan yang selalu ia lakukan untuk mengusir pikiran buruk dan menenangkan diri. Ia butuh lima menit saja sebelum melanjutkan pencariannya. Bisa-bisa dia keluar lintasan jalan jika berkendara dalam kondisi pusing seperti ini.
Tuk!
Tuk!
"Oh, Tuhan!" Jeff terlonjak kaget ketika kaca mobilnya diketuk dengan sangat keras oleh seorang pemuda berbalut mantel hitam kebesaran. Ia menurunkan kaca mobilnya dan menemukan wajah tak asing yang terkena cahaya lampu remang. "Bukannya kau adalah--"
"Maaf jika aku mengagetkanmu," sela pemuda itu cepat, suaranya terdengar agak bergetar. "Mungkin kau sudah tahu kalau aku adalah Seo Changbin."
"Iya, aku tahu. Kenapa kau menghampiriku malam-malam begini?"
Changbin tersenyum ramah. "Harusnya aku yang bertanya, kenapa kau memarkir mobil di depan rumahku?"
Jeff mengerutkan alis dengan dalam memperhatikan sekelilingnya. Benar saja, ia berhenti di depan sebuah rumah bernuansa smokey grey dengan lampu depan yang cukup terang di banding rumah-rumah di sebelahnya. Mungkin kemarin Minho lupa memberitahunya bahwa rumah Changbin berada tak jauh dari rumah Alfred.
Pintu mobil terbuka, Jeff keluar dan berdiri di depan Changbin. "Maaf, apakah kau mengenal orangtuaku?"
"Tentu, mereka sering memesan makanan di restoran milikku untuk diberikan ke panti asuhan pinggir kota. Aku mengatakannya saat interogasi, apakah detektif Lee tidak memberitahumu?"
"Dia hanya bilang kau adalah pemilik restoran dan tidak ada sangkut pautnya dengan kematian orangtuaku. Tapi, aku melihatmu memperhatikan rumah Alfred tadi pagi."
"Sepertinya kau salah paham, dokter Jeff," timpalnya menahan tawa. "Aku memperhatikan rumah keluarga Son, tetangga kalian. Kenapa? Kau mencurigaiku?"
Mendengar pertanyaan perihal kecurigaan, Jeff menepuk pelan jidatnya. Ia harus mencari Alfred, bukan mengobrol dengan Changbin di sini. Benar kata Alfred dan Minho, laki-laki di depannya tidaklah harus dicurigai.
Tentu, karena Alfred pelakunya.
Suara-suara dalam kepalanya sungguh tak mengenal kata lelah untuk menebar keraguan. Jeff mengacak pelan surainya. Changbin yang melihat raut gelisah di wajah lawan bicaranya pun ikut mengernyit heran. Apalagi ketika Jeff mulai bersandar di badan dengan tatapan kosong.
"Kau baik-baik saja, dokter Jeff?"
"Alfred belum pulang, ia menghilang. Aku harus mencarinya sekarang."
Lantas panik tersalurkan pula pada Changbin yang perlahan mencetak air muka cemas. "Dia benar-benar telah membuat kesalahan besar."
"Maksudmu?"
"Kau tunggu di sini, aku akan menelepon polisi. Kita akan mencari Alfred sama-sama."
Jeff mengangguk, meski sebenarnya ia tidak ingin melibatkan polisi malam ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't See The End [Hyunjeong]
Adventure"Wajahnya baik, apa kau yakin dia?" "Kau tahu? Penjahat paling berbahaya sekali pun bisa berkeliaran dengan bebas menggunakan wajah polos nan lugunya." --- Hippeter, 2020