Jongin sudah mencukur rambutnya. Di mata Seulgi, sekarang dia sudah benar-benar berbeda. Lebih tua, lebih dingin. Matanya berkantung, tidak ada keceriaan di wajahnya. Seulgi membuka mulutnya untuk bicara, tetapi tidak sepatah kata pun yang mampu menggambarkan perasaannya.
Seulgi teringat beberapa tahun lalu. Jongin juga memanggilnya seperti ini. Jongin ingin ia kembali. Namun ia tidak peduli. Tetap meninggalkan ruang latihan, tak menoleh, tapi tak menangis. Kekecewaannya tidak cukup membuatnya menangis, hanya marah dan kesal.
Namun sekarang ia menoleh, menangis, dan kehilangan semua amarahnya.
Dengan lirih, Jongin berkata, "Terima kasih."
Seulgi berbalik. Berjalan pelan mendekati Jongin. Mereka berhadap-hadapan dalam diam, hingga Seulgi kemudian mengubah suasana. "Sudah kewajibanku."
"Aku sudah pernah mengecewakanmu. Aku tidak pantas mendapatkan ini."
Seulgi menggeleng. "Semua itu sudah berlalu. Kau sedang kena musibah, jangan terlalu rendah diri. Saat ini, orang yang paling mampu menolongmu adalah dirimu sendiri." Perempuan itu menyeka wajahnya untuk terakhir kalinya. "Kau sedang menutup dirimu dari orang lain, itu boleh. Boleh jika kau menggunakannya untuk bicara pada dirimu sendiri dan menenangkan diri. Jangan gunakan waktu itu untuk memperburuk suasana, mengutuk dirimu sendiri, misalnya."
Jongin tampak terkesiap.
"Aku pulang. Kau masih butuh waktu sendiri, kan?" Seulgi menepuk lengannya ringan, seperti seorang kawan lama yang begitu setia. "Yang perlu kautahu adalah aku akan selalu ada jika kau membutuhkan seseorang. Aku tidak ingin kau merasa sendirian. Aku tahu berita itu tidak benar. Kau bisa mempercayaiku seperti aku mempercayaimu. Kautahu di mana bisa menemukanku."
Seulgi pun tersenyum untuk terakhir kali. Ia menggenggam tangan Jongin sekilas untuk sesaat, lalu berbalik pulang.
Ia tidak menoleh lagi.
. . .
"Apakah aku terlalu bodoh?"
Juhyun mengangkat pandangannya ke arah Seulgi. Seulgi cuma memainkan sedotan dari gelas jusnya.
"Aku masih peduli padanya. Aku menangis tadi malam, saat mengingat bagaimana dia menatapku—saat dia berada di titik terburuknya, saat dia merasa berat karena harus pergi meninggalkan penggemarnya, tetapi saat itu pun banyak penggemarnya sudah meninggalkannya gara-gara berita sampah." Seulgi menopangkan kepalanya di atas tangan, nada bicaranya masih lemah. "Apakah aku bodoh saat aku bilang bahwa perasaan itu kembali?"
"Cinta itu bukan soal pintar atau bodoh. Cinta ya cinta. Tidak ada hubungannya dengan dua hal itu. Cinta adalah soal perasaan." Juhyun menyedot sedikit minumannya. "Kau sudah melakukan hal yang benar. Soal perasaan, kau bisa melihatnya nanti."
"Tapi aku memikirkan hal yang berbeda dari bertahun-tahun yang lalu. Mungkin ini yang disebut kedewasaan? Dulu, aku berpikir aku hanya bisa bahagia jika bersamanya. Sekarang, kupikir, yang terpenting adalah dia bahagia. Dia bersamaku atau tidak, aku tidak peduli."
"Itu berarti kau tidak akan keberatan jika akhirnya dia memalingkan wajah darimu lagi dan memilih perempuan lain untuk mendampinginya, meski kau sudah menolongnya di saat-saat seperti ini?"
Seulgi menatap Juhyun cukup lama sampai akhirnya memberi jawaban, "Mungkin akan terasa berat pada awalnya. Mungkin akan tetap menyakitkan—tapi sekarang aku sudah tahu aku tetap akan bisa menjalani hidupku seperti biasa." Seulgi mengangkat bahu. "Aku bertahan di luka pertama—aku malah tetap bisa jadi seorang public figure yang bisa dibilang sukses. Aku bisa kuat. Aku punya banyak cara untuk pengalihan." Sekali lagi ia hanya mengaduk-aduk minumannya tanpa meminumnya. "Jongin bisa bersama siapa saja yang dia inginkan. Aku menolongnya saat ini sebagai teman lama ... sebagai seseorang yang pernah mengenalnya dengan baik. Bukan untuk minta perhatiannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
icarus falls
FanficSeulgi tidak ingin menengok ke belakang. Seulgi hanya ingin berjalan tenang di kehidupannya. Jongin adalah masa lalu. Seulgi sudah menganggapnya menjadi bagian yang berbeda dari kehidupannya. Namun, Seulgi selalu menemukan jalan kembali.