Memang wajar, bila sepasang kekasih yang telah bersama bertahun-tahun akan memilih untuk meresmikan hubungan di mata agama dan hukum.
Sedangkan, aku dan kamu?
Awalnya, aku mengenalmu sebagai teman dekat Kakakku. Kalian kerap kali bersama. Tak jarang pula, kamu selalu menyempatkan ke rumah kami. Dari situlah kita bertemu dan berkenalan dengan ... baik?
Rasanya aku ingin tertawa dengan keras. Bahkan, sejak pertama kali kita bertemu. Kamu hanya menjabat tanganku, mengenali diri, kemudian beralih menuju Kakakku yang sedang asyik berkutat dengan game di sofa.
Beberapa hari kemudian pun, kamu tetap seperti itu. Berbicara denganku seperlunya, kemudian meninggalkanku tanpa pernah mengajakku berbicara lebih jauh. Kamu benar-benar dingin.
Hingga suatu hari, kita kerap pulang bersama. Kakakku yang menyuruhmu. Alasannya, karena kantormu dekat dengan kampusku. Astaga! Saat itu, aku ingin sekali meneriaki Kakak. Bagaimana Kakak bisa merepotkan sahabatnya sendiri? Padahal, aku bisa pulang sendiri dengan angkutan umum.
Dimulai dari kebersamaan itulah, kamu menjadi sering mengajakku kemana pun yang kamu titah. Entah kenapa aku menurutinya. Mungkin karena aku ingin berterima kasih dengan menuruti titahmu. Namun, kebersamaan inilah yang membuatku terperangkap semakin jauh untuk mencintaimu.
"Dina, kamu bisa mengandalkanku dalam segala hal." Itulah perkataanmu yang cukup panjang menurutku selama mengenalmu. Sejak saat itu, kita semakin tak terpisahkan. Kamu tanpa ragu mengajakku ke pesta-pesta pribadimu dengan keluarga dan kerabat kantormu. Tetapi, kamu masih memilih untuk mendiami aku. Menjadikan aku pajangan yang tak perlu kamu anggap untuk bicara lebih jauh. Aku benar-benar muak. Sampai kapan aku harus bersabar untuk kamu diami? Apakah bisa menyelami rasa dengan saling berdiam diri?
Dug ...
Aku tertabrak sesuatu. Ah sial, kenapa aku bisa melamun panjang seperti itu?
Dan tunggu ... bau ini ...
"Sudah selesai?" Tanya pria bertubuh jangkung di depanku. Sontak aku mendongak dan mendapati ... kamu.
Aku mengangguk patah-patah.
Kemudian kamu berbalik dan melangkah. Aku tahu ke mana kamu akan pergi dan memilih untuk mengikutimu. Kutatap punggungmu yang begitu kokoh dan kulihat gagahnya dirimu. Ingin sekali kurengkuh punggung dingin itu, menyalurkan kehangatan, sehingga aku bisa mencairkan dinginnya diam ini.
Mobil hitam itu masih sama sewaktu pertemuan pertama kita. Kamu memang menjaganya dengan baik. Setelah kamu membuka pintu mobil, aku segera duduk manis di sampingmu. Saat aku sedang memakai savety bealt, aku mendapati kamu sedang menatapku dengan ... datar.
Aku mendadak gugup. Apa kamu sedang ingin berbicara sesuatu hal penting padaku?
"Apa jawabanmu?" tanyamu yang meluncur begitu saja. Aku mengernyit. Jawaban?
Aku melihatnya sedang menghela napas saat melihat kebodohanku. "Aku tanya, bagaimana jawabanmu tentang lamaranku?"
Ucapnya penuh penekanan. Untuk sesaat aku merasakan lidahku kelu, tatapanku tak bisa lepas dari tatapan datarmu. Dan entah mengapa, aura dingin yang menyelimuti kita berubah menjadi hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Relung Diam
General FictionDiam. Suatu kata yang menjadi pilihan di saat semua suasana tak mendukung. Bungkam adalah yang terbaik. Diam bukan berarti tak mengerti apapun, tak memahami apapun, tak memedulikan apapun.