Awan hitam masih bergayut di atas angkasa Istana kerajaan Sriwijaya yang terletak di Minanga Tamwan. Bagaimana tidak, lima hari yang lalu Dapunta Sakala Bhara, raja Sriwijaya wafat. Padahal air mata rakyat di kerajaan itu baru saja akan mengering setelah satu bulan mereka berduka atas kematian rajaputra Santanu yang gugur dalam mempertahankan Swarnabhumi dari serbuan kerajaan Tulang Bawang yang bersekutu dengan kerajaan Kantoli di Jambi.
Rajaputra Santanu adalah putra kedua Dapunta Sakala Bhara yang menjadi Dapunta atau penguasa tertinggi di Swarnabhumi.Meskipun masih dalam keadaan berkabung, namun kerajaan harus cepat memiliki raja barunya. Musuh dapat saja menyerang Sriwijaya disaat tampuk pemerintahannya sedang kosong. Oleh karena itu, tiga hari setelah kematian Dapunta Sakala Bhara, permaisuri Pandan Kalambi langsung memimpin para Nayaka untuk bersidang guna membahas masalah tersebut.
Sidang itu dihadiri juga oleh para Brahmana yang menjabat sebagai Dapunta Anggada di beberapa biara wilayah Sriwijaya dan akhirnya memutuskan untuk menobatkan rajaputra Srijayanasa, putera pertama Dapunta Sakala Bhara untuk naik tahta menjadi raja di kerajaan Sriwijaya. Tidak menunggu lama, penobatan raja baru ini akan dilakukan esok harinya, menjelang matahari naik sepenggalan.
Tidak ada persiapan besar layaknya pengangkatan seorang raja baru di kerajaan Sriwijaya. Para Nayaka dan semua yang ikut bersidang telah sepakat bahwa upacara penobatan Jayanasa akan dilakukan secara sederhana dan singkat. Bahkan mereka tidak membuat jamuan khusus, menggelar tarian atau mengundang raja-raja dari kerajaan tetangga sebagaimana umumnya. Rajaputra Jayanasa sendiri menyadari bahwa keadaan kerajaan yang sedang berduka memang membuatnya harus dapat memakluminya. Oleh sebab itu ia sama sekali tidak menyatakan keberatan apapun atas keputusan sidang pada hari itu.
"Aku setuju", cuma itulah kata-kata yang keluar dari mulutnya saat ibundanya, permaisuri Pandan Kalambi bertanya padanya terkait upacara penobatannya itu. Manakala hari itu tiba, ratusan biksu Buddha menggemakan dalam bahasa agama di depan Istana Kerajaan, untuk memberkati raja baru yang akan diangkat tersebut.
Di tengah balairung istana, tampak Jayanasa duduk bersimpuh sembari menundukkan wajahnya dihadapan seorang Dapunta Anggada bernama Dharmapala yang memimpin upacara penobatannya. Semua dirasakannya berjalan begitu cepat. Kejadian demi kejadian seakan berlaku di dalam mimpinya. Belum genap satu bulan ia kehilangan adiknya, Santanu yang tewas terbunuh. Beberapa hari lalu ia pun harus kehilangan ayah yang dicintainya, raja Jelma Daya atau yang lebih dikenal sebagai Dapunta Sakala Bhara.
Jayanasa merasa seakan tengah duduk diatas bara api panas. Jiwanya bergejolak, bercampur antara dendam dan kesedihan.
Selagi Jayanasa sibuk dengan perasaannya itu, Bhiksu Dharmapala perlahan mengulurkan tangannya yang memegang mahkota kerajaan Sriwijaya yang memiliki simbol berupa naga berkepala tujuh ke arah kepala Jayanasa.
Bhiksu Dharmapala yang menyadari calon raja di hadapannya saat itu sedang tenggelam dalam lamunannya segera mengeluarkan suara batuk-batuk kecil sebagai isyarat.
Benar saja, lamunan Jayanasa segera buyar dan ia kembali sadar dan bersiap untuk mengenakan mahkota kebesaran raja Sriwijaya. Saat tangan Bhiksu Dharmapala itu hampir sampai, Jayanasa segera kembali menggerakkan kepalanya sedikit merunduk agar mahkota itu dapat dipasang diatas kepalanya.
Selang beberapa waktu kemudian, mahkota tersebut sudah melingkar diatas kepala Jayanasa. Semua yang hadir, kecuali ibu suri Pandan Kalambi dan para Brahmana, langsung bersimpuh begitu Jayanasa, sesuai isyarat tangan Bhiksu Dharmapala, perlahan bangkit berdiri dari duduknya kemudian berjalan menuju singgasana. Semangkuk besar buah-buahan terletak diatas sebuah meja bundar di sisi-sisi singgasana.
YOU ARE READING
Bara di Bumi Sriwijaya
Historical FictionKisah tentang awal mula kerajaan Sriwijaya dan kedatangan utusan Khalifah dari jazirah Arab untuk berdakwah atas undangan raja Dapunta Hyang