3.2

180 48 0
                                    

Pernah melihat kepulan asap yang begitu pekat? Kalau pernah, kira-kira seperti itu pula kroma  neuron-neuron Namjoon saat melihat Jisoo pulang tanpa dosa. Gadis itu malah tersenyum, memamerkan betapa ia begitu memesona. Begitu sempurna dengan keringat yang jatuh membasahi keningnya. Sial, kenapa Jisoo bisa sesempurna itu di matanya?

Ia berlari kecil menghampiri presensi Namjoon yang entah kenapa terlihat berbeda. Tidak tahu kenapa, yang jelas itu bukan Namjoon, entah siapa. Ia menghentikan langkah tepat di hadapan pria itu, menutup pergerakan tungkai dengan kaki sebelah kiri. Ia mendongak, mendalami bola mata Namjoon yang terlihat begitu menawan dengan jarak dekat. Ia berani bersumpah, tak ada lagi hantu semacam Namjoon. Tentu, mana ada hantu yang memiliki palung di dua pipi? Apalagi sampai punya kecerdasan melewati batas wajar? Siapa pula yang bisa menandingi Namjoon dari segala aspek? Sungguh, itu hanya sebuah kemustahilan yang absah.

Netra Jisoo secara tidak sadar membulat lucu. Penasaran mengapa si hantu Kim masih tidak menampilkan respons apa-apa mengenai kedatangannya. Ia gatal untuk bertanya, "Namjoon, apa kau masih marah?"

Tidak ada sahutan. Decakan kesal saja ia tak terima dari segala penjuru rungu berbicara. Namjoon begitu stagnan, diam dengan tersistem; menatap datar dengan gurat wajah tak mengenakkan, apalagi bibir pria itu yang membentuk garis lurus. Sangat menyeramkan. Namun tetap, Namjoon terlalu menawan untuk dideskripsikan dengan kata-kata sialan.

Alih-alih membuat Namjoon berdecak kesal karena telah ia ganggu dengan berbagai macam cara, malah labiumnya sendiri yang berdecak tak percaya. Ternyata Kim Namjoon adalah hantu menawan yang keras kepala.

Ia kembali bertanya, "Kau masih marah, Joonie? Kau mendiamiku sekarang ini?" Ia sedikit kesal saat tahu bahwa bibir Namjoon tak banyak membuat pergerakan selain tiba-tiba menghilang dari pandangan; si pria Kim itu melumat bibirnya sendiri, mungkin untuk meredam emosi. "Kau semurka ini hanya karena hal sepele? Oh, yang benar saja, Namjoonie," tandasnya dengan tanda tanya besar. Ada apa dengan isi kepala Namjoon? Pria itu seperti bocah berumur lima tahun yang tak bisa diajak kompromi.

Lagaknya Namjoon kepalang emosi bukan main. Dia mundur beberapa langkah, menjauhi tatap netra intim dari Jisoo di depan sana. Tidak, dia memang terlalu pengecut untuk hal yang satu itu. Jisoo akan selalu menjadi pemenang ketika mereka saling adu tatap, kadangkala dia mendapat keberuntungan karena bisa menang dari sesi tatap-menatap. Beberapa kesempatan saja, tapi jelas tidak untuk sekarang.

Dia menjawab datar, menusuk, memang sengaja diberi aksen seram, ingin melihat sekuat apa Jisoo menahan kata maaf di kerongkongan. "Kita balik posisinya. Coba bayangkan ini, Nona Seo. Kau menunggu seseorang untuk terbangun dari tidurnya sepanjang hari, memastikan kalau-kalau angin begitu usil mengganggu lelapnya. Kau begitu sabar saat dia terus tergesa-gesa, berlalu-lalang setiap kedip mata merampas masa. Yang kauharap saat itu hanyalah sebuah senyuman kecil, rasa terima kasih, dan sebuah permohonan perizinan. Namun ketika dia telah lupa dan sepertinya tak merasa bersalah akan itu semua, jadi apa yang akan kaulakukan selain mendiaminya?" Namjoon benar-benar meledak. Mengikis jarak kendati tak banyak. Dia dengan jelas bisa mendengar napas Jisoo memendek, memadat, terkadang juga tercekat.

Jisoo menahan sesuatu yang barangkali akan lolos tanpa permisi lebih dulu dari pelupuk mata. Ia menghentikan semua pergerakan likuid sialan itu agar tetap tertahan di sana, tidak turun dengan cara menyedihkan di depan orang yang ia cinta. Tidak, bukan begitu cara kerjanya.

Ia mengangkat wajah, lebih memandangi Namjoon dengan pongah. Ia tidak tahu, hanya saja ia merasa tidak mau kalah karena memang bukan ia yang bersalah. "Dengar, Kim, aku sedang terburu-buru pagi tadi. Apa secuil nuranimu tidak mau mengerti? Kenapa jadi rumit begini? Kenapa kau selalu membuat kemungkinan-kemungkinan yang mustahil malah menjadi nyata dan terjadi? Kenapa? Apa sebabnya?" Ia tersengal karena sepanjang dialog terus memberi aksentuasi.

Namjoon mengusak wajah dengan frustrasi. Tidak tahu apa isi kepala Jisoo sampai gadis itu menjadi seperti batu, keras. Namun, melihat wajah Jisoo yang memerah dengan bulu mata lentik mengayun-ayun di sore hari itu adalah sebuah surga dunia. Demi Tuhan dan seluruh isi-Nya, Jisoo ciptaan yang sempurna, nyaris. Maaf, dia jadi salah fokus.

"Sebaiknya kita sudahi di sini. Kepalamu sedang tidak beres, sedangkan aku sudah terlalu lelah untuk membahas masalah sepele yang dibesar-besarkan seperti ini." Jisoo berucap final, melenggang pergi sembari menggulung rambutnya ke atas. Suhu di sekitarnya menjadi meningkat ketika mendapati Namjoon tak menyanggah, tetapi pria itu kental sekali akan dominasi. Tentu, ia akan kalah meski terus-menerus bersuara.

***

Berendam di kubangan air beraroma selama berpuluh-puluh menit tak banyak membuatnya merasa 'ringan'. Ia tetap merasa ada yang ganjil karena tak menjalin interaksi dengan Namjoon. Ia akui mulai terbiasa dengan keberadaan Namjoon di sekitarnya. Dunia seakan berporos pada Namjoon, hanya dia. Ketika ia melirik ke arah pintu, tak ada tanda-tanda pintu itu akan ditembus oleh makhluk tak kasat mata yang paling menawan sedunia. Di saat-saat seperti ini pun, ia masih memikirkan Namjoon akan menemani lelapnya.

Ia merasakan gejolak kecil di perutnya. Perih. Ia bahkan baru ingat kalau roti yang ia bawa tadi ke studio merupakan makanan pertama yang ia santap hari ini. Tak ada makan siang. Mungkin itu disebab ia terlalu sibuk hingga tak memikirkan untuk rehat dan makan siang. Otaknya dipenuhi pekerjaan, begitu melelahkan, apalagi jika ditambah dengan kemarahan Namjoon yang masih semu akan kata maaf.

"Kenapa hantu keras kepala itu tidak mau mengalah, sih?" senandikanya teruntuk Namjoon.

Semakin lama, semakin perih pula perutnya. Ia tak mau ambil risiko, jadi yang ia lakukan selanjutnya adalah menapaki lantai dan segera beranjak untuk memasak makanan. Tidak perlu repot-repot menyapa Namjoon yang berada di perpustakaan ketika melewati ruangan yang tidak tertutup itu. Ia terus berjalan tanpa menoleh sedikit pun, bahkan ketika Namjoon berdeham memberi isyarat. Tidak, ia tidak mau luluh begitu saja.

Sesekali bersenandung kecil untuk mengusir jenuh serta mengisi hening yang begitu menyayat tak berperasaan di sepasang rungunya. Mencoba bersikap biasa saja ketika merasa ada yang hilang dari sebagian hidupnya. Tak apa, ia bisa lewati ini semua.

Ia bertolak pinggang, nampak berpikir keras harus memasak apa untuk makan malam. Melihat isi kulkas yang menampilkan berbagai macam sayuran, buah, satu deret telur dan beberapa potong daging turut membuatnya bingung.

"Aku akan membuat salat saja. Tidak perlu repot, otakku sedang tidak sehat hari ini," gumamnya ketika menjatuhkan pilihan pada beberapa buah yang nampak begitu segar dan manis, mengambil beberapa untuk ia olah menjadi salat sederhana.

Lambat laun ia mulai terbiasa dengan rasa sepi yang begitu mendominasi. Penanda waktu yang digantung rapi di atas dinding tak banyak membantu dengan denting-denting kecil. Apa yang bisa ia harapkan dari jam klasik itu? Bisa bergerak saja ia sudah bersyukur, apalagi jika jam itu tiba-tiba menimbulkan suara kecil seakan tahu bahwa ia sedang membutuhkan itu. Resonansinya memenuhi gendang telinga dengan cepat. Kendati telah bersenandung sekeras yang ia mampu, pula diiringi denting lirih dari jarum jam, lalu mengapa ia masih merasa sepi? Apa yang perlu ia lakukan lagi? Efek Namjoon yang diam tanpa henti membuat pikirannya jadi berantakan begini. Sungguh luar biasa kuasa Namjoon dalam mengisi kekosongannya tiap hari.

Ia seolah disergap kesendirian tak berujung, kesepian yang tak memiliki muara untuk menjadi tempat untuk mencari tahu segala jawaban dari seluruh pertanyaan, kekosongan yang bisa mencekik kiranya memiliki dua tangan. Ia mulai merasa gila, tidak waras garis keras.

***
Tbc.

[✓] Am TeorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang