26. Marah Tanpa Alasan

330 26 4
                                    

"AKH!" teriaknya heboh. Zilva dengan cepat menepis tangan Levi yang menempel di dahinya.

"Kenapa pakai teriak, sih?"

"Ya kaget lah! Habis Kak Levi tiba-tiba dateng, terus nyentuh-nyentuh keningku."

Levi mengembuskan napasnya dan masuk ke dalam ruangan Zilva bekerja. Sedangkan gadis gendut itu sudah terbiasa dengan kebiasaan Levi yang keluar masuk ke tempat ia melayani pembeli.

"Kamu sakit?" Lagi. Levi kembali menyentuh kening Zilva untuk memastikan.

Zilva dengan cepat menghindar seraya tersenyum hangat. "Aku sehat kok, Kak. Aku hangat karena aku normal. Kalau aku dingin, berarti aku mati, dong?"

Setelah mengucapkan itu Zilva terbahak sendiri. Levi yang melihat sikap aneh gadis di depannya hanya menyatukan alis bingung.

"Aku akan izinin ke Bu Bella kalau kamu sakit. Ayo kita ke rumah sakit sekarang juga!" Levi menarik lengan Zilva berniat untuk meminta izin ke Bella terlebih dahulu.

Zilva menarik tangannya yang digenggam Levi hingga lepas. "Sebentar, Kak. Kenapa gak percaya banget, sih? Aku beneran sehat!"

"Yakin? Wajahmu pucat dan sikapmu hari ini aneh."

Levi berusaha untuk meraih tangan Zilva lagi. Namun gadis itu dengan cepat menyembunyikan kedua tangannya di belakang punggung.

"AKU NGGAK APA-APA KAK LEVI! ALAY BANGET, SIH!" teriak Zilva spontan. Napasnya memburu penuh dengan emosi.

Dengan rasa tak bersalah, Zilva membelakangi Levi dan kembali membersihkan etalase obat yang sedikit berdebu. Pagi ini ia jaga apotek sendirian karena seniornya yang seharusnya kerja hari ini sedang terbaring lemah di rumah.

"Oh, gitu? Aku alay, ya?" gumam laki-laki bertubuh gagah itu.

Zilva tak mempedulikan keberadaan kakak pacarnya itu dan melanjutkan pekerjaannya. Ia sudah lelah memasang wajah ceria dan bersikap "baik-baik saja" di depan Levi atau siapa pun.

Levi duduk di kursi kasir dan menatap punggung Zilva seperti biasa. Sebenarnya ia merasa sangat tersinggung dengan ucapan Zilva. Tetapi rasa khawatir lebih besar daripada egonya. Ia takut gadis itu benar-benar sakit.

"Kamu yakin gak perlu ke rumah sakit?" tanya Levi sekali lagi dengan volume kecil.

"Berisik! Aku nggak apa-apa! Di sini juga banyak obat. Kalau memang aku sakit, aku bisa nenggak obat mana aja!" bentak Zilva dengan posisi tetap memunggunginya.

Levi terdiam mendengar bentakan Zilva. Selama ini ia hanya mengenal Zilva yang jahil, sering merajuk, banyak omong, dan juga ceria. Tapi Levi tak pernah mendapati sikapnya semarah ini, apalagi sampai membentaknya.

Laki-laki itu mengembuskan napas berat. Berdiri dan berjalan keluar menuju mobil yang ia parkirkan tepat di depan apotek.

Levi mengambil kotak yang berisi sesuatu dari dalam mobilnya. Ia berjalan memasuki teras apotek dan berdiri di etalase depan. Tangannya bergerak menaruh kotak berukuran sedang itu di atas etalase.

"Sebenarnya ini tuh buat anak sepupuku karena dia suka banget sama coklat. Tapi lihat kamu kayak gini jadi kasihan. Katanya coklat tuh bisa buat ngilangin bad mood. Jadi, kamu makan kue coklat ini, ya?" Levi menatap sosok Zilva yang menatapnya datar.

"Kenapa kasih ke aku? Daripada Kak Levi buang uang karena harus beli lagi, mending kue ini kasih ke anak pecinta coklat tadi." Zilva memutus kontak mata dengan Levi dan kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Uang bisa datang kapan saja. Yang penting kamu gak sakit."

Zilva menatap Levi tak suka. "Kak Levi kenapa keras kepala banget, sih? Aku gak sakit dan aku gak mau makan apa-apa. Apakah Kak Levi masih belum paham dengan bahasa manusia ini?"

Levi menatapnya dingin. "Kayaknya kamu lagi di hormon haid yang labil. Tapi, sikapmu ini benar-benar keterlaluan sampai membuatku muak."

"Ha? Sotoy banget jadi laki-laki. Seharusnya Kak Levi peka dengan sikapku yang ingin menyendiri." Zilva berdiri dan masuk ke dalam gudang obat yang letaknya sangat dalam, meninggalkan Levi sendirian di depan.

Levi memutuskan untuk pergi dan meninggalkan kue coklat itu di atas etalase. Ia memasuki mobilnya dan memijat kepalanya yang mendadak pening karena sikap Zilva.

"Baik, satu minggu aku tahan untuk tidak bertemu denganmu."

♫~♥~♫

Tiga hari berlalu sejak kejadian Levi datang ke apotek. Hari-hari yang dijalani Zilva berjalan seperti biasa. Gabriel juga terkadang menelponnya dan menceritakan segala hal.

Salah jika menganggap Zilva sudah melupakan kejadian tiga hari yang lalu. Ia benar-benar merasa bersalah pada Levi karena sudah membentaknya―walaupun alasannya sepele; ingin menyendiri dan tak ingin diganggu.

Rasa bersalah itu terus menekan otaknya dan membuatnya sedikit frustrasi. Sudah tiga hari Levi tidak datang ke apotek. Bahkan chat-nya sedangkan dibalas, dibaca saja tidak.

Ia ingin menelpon laki-laki tampan itu, hanya saja Zilva takut mengganggunya. Ia juga ingin meminta bantuan Gabriel, namun ia takut kekasihnya itu malah ketakutan pada hal yang Zilva sendiri tak pahami. Saat Zilva membahas tentang Levi, nada bicara Gabriel berubah menjadi dingin.

Tanpa ia sadari, ia sudah berusaha untuk memikirkan solusi hingga seminggu telah berlalu. Namun sayangnya sang Levi belum nampak batang hidungnya.

Zilva sudah benar-benar pasrah dengan rasa bersalah ini. Mungkin ini karma untukku, pikirnya. Ia segera mengambil ponsel dan mencari nama Levi di kontaknya.

"Terakhir. Semoga Kak Levi balas," gumamnya.

Anda

Kak Levi masih marah? Kalau iya, aku minta maaf :(

Bisa ke apotek nggak Kak?

Aku beliin makan deh.

Kak Levi mau makan apa?

Nanti aku beliin pake ojol

Ke apotek ya Kak? Aku jaga pagi hari ini.

Kalau pekerjaan Kak Levi selesai siang atau malem, langsung ke rumah aja ya.

Aku tunggu kapan pun Kak Levi dateng :)


Sambil menunggu pesannya dibalas oleh Levi, Zilva memilih untuk melayani pembeli dan mendata obat-obatan yang datang hari ini.

Gadis itu selalu memasang telinga baik-baik. Barangkali suara notifikasi pesan dari Levi di ponselnya berbunyi.

Saat makan siang, ia dikejutkan dengan suara dari ponsel. Dengan cepat Zilva memeriksa pesan yang dikirim oleh Levi.

Kak Levi kulkas berjalan
Hm.

"Apa-apaan jawaban 'hm' itu?" geram Zilva ingin membanting ponselnya sendiri. Tapi sedetik kemudian ia urungkan karena ia tak mampu membeli ponsel baru jika rusak. "Tapi setidaknya ada harapan Kak Levi datang ke sini atau rumah."

Zilva menunggu kehadiran Levi hingga waktu kerjanya sudah berakhir, namun sampai sore pun laki-laki itu belum tampak batang hidungnya.

Gadis itu dengan berat hati memutuskan untuk pulang ke rumah. Entah dorongan dari mana, ia mampir dulu ke pasar untuk membeli bahan-bahan untuk membuat seblak.

"Ah, aku pengen banget makan seblak super pedas!" gumamnya senang.

🍃🍃🍃

Bersambung :)
Vote dan komen? ❤

Boyfriend In My DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang