Bandung, Agustus 2008
"Mana hasil ulangan kamu."
Nada suara itu terdengar kalem dan tenang. Namun, dada Razel bergemuruh tiada henti sejak tadi. Anak laki-laki itu menunduk dalam dan takut. Hari ini ia tak mendapat nilai sempurna. Hanya angka 82 yang tertera di lembar jawaban ulangan matematikanya, bukan 100 seperti biasanya. Ia mengerti hal itu tentu akan menyulut api emosi dan kecewa ayahnya yang kelak mengharapkannya menjadi seorang dokter.
Tak mendapat jawaban, Ardan meletakkan kopi hitamnya mulai menatap tak main-main putranya. "Mana?"
Pasrah, Razel menyerahkan lembar jawabannya. Selanjutnya anak laki-laki yang baru menggeluti dunia seragam putih biru itu tak kunjung mengangkat kepalanya. Matanya memerih seiring dengan detak jantungnya berdentam tak karuan.
Hingga saat sang ayah memasuki kamar di hadapannya dengan langkah cepat juga terdengar bunyi pintu tertutup dengan kerasnya, ia menumpahkan cairan bening dari matanya.
Cairan bening itu mengalir kian deras saat mendengar suara sabetan benda ke tubuh, disusul dengan erangan tangis bundanya.
"Gimana bisa nilai anak kita turun!? Kamu di rumah ngapain aja!!!?"
Lagi-lagi suara sabetan itu terdengar, disusul dengan bentakan sang ayah dan raungan bundanya yang meminta maaf. Tubuh Razel meluruh tak kuat menahan pilu. Ia terisak lirih. Lagi-lagi bundanya tersiksa karenanya dan ia tak bisa berbuat apa-apa.
Selang beberapa menit sang ayah keluar dari kamar dengan penampilan rapi dan tenang, seolah tidak terjadi apa-apa, seolah Razel tak mendengar apa yang telah diperbuat, pria itu menghampiri Razel yang tengah berusaha menghapus air matanya. "Laki-laki gak boleh cengeng," tegas Ardan.
Razel berusaha bangkit sendiri. "Maaf, Yah," ucapnya saat bertemu dengan mata tegas sang ayah.
"Cuci muka kamu. Kita tunggu Mama sama Naro pulang di ruang makan." Ardan tak mengacuhkan permintaan maaf Razel dan menjauh dari pandangan anak itu.
Razel sendiri segera menuruti pinta Ardan untuk mencuci wajahnya di kamar mandi. Begitu selesai, anak itu beranjak ke ruang makan dan tiba di sana bersamaan dengan Naro dan Nona datang sepulang dari keluar rumah. Refleks karena kebiasaan, Razel langsung mencium tangan Mama, sementara anak laki-laki lain di sana langsung memposisikan diri di sebelah Razel.
"Kamu baru bangun tidur, Zel?" tanya Mama melihat mata layu Razel.
"Iya, Ma," jawab Razel sambil tersenyum.
Meski Razel anak dari istri kedua suaminya, tetapi Nona menyanyangi Razel sama halnya dengan anaknya sendiri. Mama membalas senyuman Razel sambil memegang lengannya. "Kita makan, yuk." Lantas wanita itu juga memegang tangan Naro, menuntun kedua anak laki-lakinya untuk bergabung dengan Ardan di meja makan.
"Mas, Naima mana?"
Razel yang baru mendaratkan dirinya di salah satu kursi, mendongak akan pertanyaan itu, tetapi tak lama kemudian menunduk. Ayahnya pasti akan berbohong.
"Biasa. Dia kecapekan jait baju," jawab Ardan sesuai prediksi Razel.
"Gak dibangunin aja?"
"Enggak. Dia udah makan kok."
"Oh, gitu, Mas."
Sesudah itu tak terdengar suara Nona dan Ardan lagi selain bunyi piring yang tercipta saat diambil. Razel yang masih tertunduk mengakat wajahnya, lalu menatap sendu sekilas Ardan dan Nona.
KAMU SEDANG MEMBACA
FOREVER R
Romance"Aku dan kamu adalah kisah tak sempurna." -------- Razel Ardeo Dewanta. Nama dan bayang wajahnya tak akan pernah Ralissa Azalea lupa. Pemilik senyum terbaik, tapi sendu. Seorang yang membuat Ralissa lebih mengerti arti kata "kasih". Seorang yang men...