Aku Ibu Rumah Tangga biasa, House Maid di kediaman suamiku. Aku tak punya skill dan ilmu seperti yang dimiliki ibu-ibu karier di luar sana. Ditambah lagi dengan 3 orang anak-anakku yang masih kecil-kecil. Membuat langkahku kian terhenti, namun, tak lantas harus kehilangan arahnya, kan?
Suamiku juga seorang buruh, yang gajinya hanya mencukupi untuk kebutuhan hidup kami sehari-hari, bisa dibilang pas-pasan, kukatakan ini apa adanya. Dia berusaha untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga kecil kami, bekerja keras, giat meski tertatih, walau keadaan tak bergerak banyak.
Sebagai istri rumahan, aku masih bersyukur, meski tak kaya setidaknya kumiliki suami yang bertanggung jawab. Meski aku tak berharap, beberapa harta bin atok dari keluarganya menghampiri hidup kami. Atas usaha dan doa beberapa rezeki lainnya terus menghampiri.
Terkadang sakit rasanya, dipandang hanya berharap hasil kerja suami, warisan dari orang tua suami. Tidak mempersiapkan diri dengan sesuatu yang bisa me-survive kehidupan di masa depan. Aku mencoba untuk cuek dengan cibiran itu, tapi sungguh berat. Meski aku bukan wanita karier yang berpenghasilan secara mandiri, nyatanya aku masih bertahan.
Wanita itu kualitasnya bukan dipandang dari tinggi pendidikannya. Meski tak sedikit laki-laki bergelar juga mengidamkan wanita yang bergelar, berharap jika semua itu didapat akan tercipta sebuah kerajaan yang tertata perekonomiannya. Sebenarnya, apa yang dicari? pendamping hidup atau sekretaris kantor?
Ibu Rumah Tangga biasa juga banyak yang bergelar, namun tak juga mendapat kursi tenaga kerja. Gelar tak menjamin rezeki akan mengalir, karena rezeki itu rahasia Allah. Siapa pun kita, selihai apa cara kita menghasilkan harta, kalkulator Allah lebih bekerja.
Hari ini naluri wanitaku terenyuh, kubaca tulisan seseorang yang kuyakini adalah wanita, bahwa seorang wanita tidak harus jadi "house maid" di rumahnya. Menghimbau wanita untuk menjadi ratu yang berkuasa di kerajaannya yang dibangun sendiri(maksudnya bukan kerajaan-kerajaan yang lagi viral ya), mungkin dia telah menerapkan hal itu dalam hidupnya.
Harus bekerja dengan gaji? Tentu iya bagi wanita yang berkarir, pegawai tetap, atau apalah-apalah. Lalu bagaimana dengan Ibu Rumah Tangga biasa sepertiku? Suatu hal yang tak logis, seorang ibu menjadi House Maid dirumah orang lain, tapi tak menerima itu sebagai kodratnya saat di dalam rumahnya sendiri.
Sama halnya, seorang ibu yang berpikir, juga tak mungkin menjadi kuli bangunan, dengan seorang bayi kecil di gendongannya, tanpa sebab yang jelas, jika suaminya masih bisa melakukan tanggung jawab dengan baik, tentu suaminya tidak mungkin membiarkan hal itu terjadi. Kecuali wanita tersebut telah lepas dari pertanggungjawaban keluarga.
Banyak wanita sepertiku, yang menginginkan kehidupan lebih baik, ikut bekerja untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga, terkadang meninggalkan anak-anak dirumah karena alasan uang. Sebab kebutuhan hidup yang kian meningkat, impian untuk masa depan anak, tuntutan hati, ingin hidup yang lebih baik, ingin begini dan begitu. Jika dalam kondisi yang mendukung semua itu bisa dibenarkan.
Bila dipandang lebih jauh, keadaan-keadaan di atas adalah hal yang berlawanan. Si Ibu Rumah Tangga yang saat bangun pagi harus masak, nyuci, beres rumah, urus anak, semua dikerjakan sebagai tanggung jawab dan rasa cinta terhadap keluarga. Bagi segelintir orang yang masih berpikir dia tidak bekerja sungguh mereka salah besar. Karena bekerja dan menghasilkan uang adalah impian semua orang.
Untuk membangun sebuah kerajaan di dalam rumah tangga, maka ratu hanyalah pendamping bagi seorang raja. Jika seorang suami adalah raja dan Istri adalah ratunya, maka jadilah ratu yang penuh kasih sayang, sesuai kodrat wanita, menjadi wanita hebat, namun tak lebih . Hal itu karena raja sejatinya adalah pemegang kekuasaan, dia mampu untuk memimpin.
Wanita justru salah besar memposisikan dirinya Ratu yang berkuasa di kerajaannya. Tidak percaya akan kemampuan suami untuk memimpin, tetapi sebelumnya ia malah dengan yakin memilihnya untuk menjadi Rajanya.
Memotivasi itu suatu hal baik, tapi dengan cara yang benar. Pilah kalimat yang tidak mendiskriminasi, apalagi sesama wanita. Tidak semua sosok istri mampu untuk bekerja dan berpenghasilan secara mandiri. Tidak semua wanita memiliki skill melaui pendidikan tinggi, dan itu membawanya pada kesuksesan, serta dipandang dalam kerja nyata. Alasannya mungkin berbeda-beda. Pastinya jika karena alasan ekonomi, semua itu sungguh menyakitkan.
Bukan menjadi wanita yang berbangga diri, bisa selalu berada dirumah. Bukan karena kepantasan ekonomi. Bukan pula karena tak ingin sedikit bersusah payah. Tetapi karena tanggung jawab di dalam rumah, seakan menyeret bayangan setiap istri-istri kembali kesana. Tak mengapa menjadi ibu yang bertahan dengan kondisi hidup tersangat sederhana. Di atas itu, pasti setiap istri berharap pula untuk tak selalu jadi penyumbang rasa lelah suami hingga ke masa depan. Insyaallah.
"Lalu bagaimana jika kau sendiri adalah wanita karier? Pasti kau juga akan berbangga diri, kan? Apalagi jika kau orang kaya? Pribadimu juga pasti akan berselera tinggi." Ups, jangan dengan gampang menilai, mengandai-andai yang belum terjadi.
Tulisan ini hanyalah sebuah narasi tentang kehidupan wanita, khususnya yang sudah berumah tangga, dan bukan ditujukan untuk wanita karier. Pandangan kritis yang dicakup dari berbagai arah tentang seorang Ibu Rumah Tangga. Semoga bisa dijadikan pemahaman bersama-sama.
Karena keterbatasan pengetahuan dan referensi, Penulis menyadari Artikel ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan.
Tanjungbalai 25 Februari 2020.