Pagi hari sudah lama menyambutku. Kini jam sembilan pagi, dan aku masih tiduran santai di dalam kamar. Menikmati weekday yang rasanya seperti weekend. Sebenarnya ini bukan mauku, namun memang keadaan memaksakan.
Singkat cerita, dua hari yang lalu setelah menemani Pak Arden dan Evyna ke pesta mengerikan aku memutuskan untuk berinisiatif menggendong Evyna ke kamarnya. Karena Pak Arden sendiri tampak cukup lelah, moodnya juga terlihat sangat kacau. Aku berharap inisiatif baikku bisa diterima oleh Pak Arden yang budiman, namun nyatanya ia malah marah dan segera merebut Evyna dari pelukanku. Aku yang tidak menjaga keseimbangan tubuhku dengan baik akhirnya jatuh dari tangga.
Oke, intinya Pak Arden yang budiman itu membuat aku jatuh dari tangga. Katanya hanya keseleo biasa, namun setelah diurut pun masih tidak mengalami perkembangan. Karena tidak bisa berjalan dengan baik, aku ambil libur satu minggu dan sebagai gantinya Pak Arden mengganti potongan gajiku.
"Kamu gak stay di rumah sakit aja?" Tanya Mami dengan nada memelas, meminta aku untuk tinggal di rumah sakit dan menemaninya... um, mungkin untuk merajut bersamanya?
Aku menghela napas pelan, tidak ingin terdengar durhaka, "Gak bisa Mi, aku harus nyiapin dokumen-dokumen juga. Ribet kalo ada yang kurang."
"Ahh!" Komplain Mami, "Ya udah, pokoknya kamu cepet sembuh deh biar bisa kesini. Sepi banget disini!"
"Emang suster yang biasa nemenin Mami mana?" Suara Mami di seberang sana terdengar sedih, "Yaa, gitu deh. Pulkam katanya, makanya sepi..."
"Iya Miii, sesegera mungkin kalo udah sembuh aku kesana, oke?"
一一一
"Kamu disana siapa yang rawat?"
Pertanyaan Mami terus terngiang dipikiranku. Aku tidak sempat menjawab karena kebetulan telepon kami harus terputus oleh jadwal pergantian infus Mami. Namun andai kata Mami bertanya lagi aku harus jawab apa? Soalnya...
"Kak Ninis, temenin pazel yaaa!" Seru Evyna sembari berlari penuh ceria memasuki kamarku, di belakangnya ada Papanya yang masih mengenakan kemeja.
"Evynaa!" Sapaku ceria, aku memang sedang butuh teman.
"Saya gak disapa?" Tanya Pak Arden yang segera memberikan sebuah kantung plastik berisi bubur ayam.
Lantas aku segera kecewa berat. Padahal aku meminta pecel lele, tapi kenapa dibawakannya bubur ayam? Padahal Pak Arden sendiri yang menanyakan makanan yang ingin aku makan malam ini. Namun ia malah membawakan, lagi-lagi, bubur!
Aku tidak bisa menyembunyikan kecemberutan serta kekesalanku. Segalanya terlukis dengan jelas diwajahku, barangkali terlalu jelas sehingga membuat Pak Arden mengangkat alisnya sebelah.
"Kak Ninis kok keliatan ga seneng!" Teriak Evyna yang benar-benar mewakilkan perasaanku saat ini, aku padamu nak!
Dari belakang tangan Pak Arden mengelus lembut rambut Evyna, "Lagi sakit kakinya, makanya bawaannya manyun terus." Jawab Pak Arden dengan santai tanpa rasa bersalah.
Oh! Itu Bapak tahu kaki saya sakit sekali, tapi kenapa diabaikan begitu saja permintaan saya? Jujur, saya merasa terdzalimi saat ini. Saya doakan Bapak dapat bukan apa yang Bapak minta!
Jelas-jelas mintanya pecel lele, malah didatangkan bubur ayam lagi... haduh!
"Evyna main puzzlenya di bawah aja, ya? Kakaknya mau makan dulu, jangan diganggu nanti kakinya sakit." Kata Pak Arden yang dilanjut oleh anggukan menggemaskan Evyna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ninetynine of Hundred
Novela JuvenilKalau Adine adalah orang yang hidup didunianya sendiri, maka Arden adalah orang yang terobsesi dengan dunia itu. ▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ Tuntutan pernikahan dari keluarga besar dengan pemikiran primitif, membuat Adine Issabella Lim semakin pusing p...