eyes

691 59 70
                                    

Kata orang; cinta itu datang karena terbiasa. Terbiasa bersama hingga merasa ada yang kurang jika si dia jauh dari jangkauan mata. Cinta tidak bisa ditentukan mau jatuh pada siapa, sebab semesta sudah mengaturnya sedemikian indah.

07 Agustus 2020, pagi nan damai dalam kehidupan gue terusik. Rasa yang cukup familiar namun tertanam pada seseorang yang tidak pernah terbayangkan akan dijadikan sandaran hati malah membuat gue bingung sampai linglung. Hati gue dibuat bimbang oleh seseorang yang bahkan untuk merasakan sisi romantisme saja lebih payah dibandingkan anak SD jaman sekarang. Iya, gue jatuh hati pada sahabat gue sendiri dalam permainan konyol yang ujungnya entah apa.

"Yok, bangun dah." Kala itu mentari sedang tinggi-tingginya dan semua orang sudah beraktivitas seperti biasa, terkecuali gue, si anak bungsu dari 3 bersaudara.

Kenalin, gue Andreas Yodha yang akrab dipanggil Iyok. Waktu dapet goncangan kecil di bagian pundak dan pinggang, gue masih membungkus diri dengan selimut tebal dan kamar bersuhu 22 derajat celcius. "Mbul, bangun dong."

Huh, panggilan menyebalkan itu lagi.

Erang kesal jadi penanda tidur gue terusik. Mata gue sedikit demi sedikit terbuka, membiasakan cahaya yang masuk ke retina. "Apa sih, No? Ganggu." Gue mendorong dada Fano, sahabat gue yang mukanya cuma berjarak satu jengkal dari hidung.

"Gabut nih, main yuk." katanya lalu membaringkan diri di sebelah gue. Tangannya terlipat di belakang kepala, dari sini gue bisa melihat ia matanya menerawang langit-langit kamar gue yang putih bersih.

Gue mendudukkan diri dan sesekali melemaskan otot yang tegang. "Gabut banget lu. Sana main ke kosan Alvin atau rumah Wayan kek." Meraih segelas air yang sudah dingin sebab semalaman ada di kamar, gue teguk setengah untuk melegakan tenggorokan.

Fano memeluk guling gue. "Bau kamu banget."

"Random dah lu. Yaiyalah bau gue, kan itu punya gue." Sedikit tersinggung entah apa penyebabnya, gue menarik paksa guling dalam pelukan Fano.

Terjadi aksi tarik menarik guling antar dua lelaki berusia 23 tahun di siang hari. Gue melepas guling secara tidak rela, Fano tersenyum puas. "Baunya enak, Yok. Aku suka."

Abai, gue turun dari kasur dan berjalan ke arah kamar mandi. Dari ekor mata gue, gue bisa melihat Fano memejamkan mata dengan sebelah kaki yang dimasukkan ke selimut. "Aneh." gumam gue pelan.

Menyalakan kran di wastafel, gue melihat cermin. "Pipi makin bulet aja kayak tekad. Kapan kurus kalo begini." keluh gue.

"Yok," Kepala Fano menyembul dari balik pintu.

"Fano! Hampir aja gue lempar pake sikat gigi." Jantung gue deg-degan karena kaget.

"Maaf, hehehe.." Fano menggaruk tengkuknya dan tertawa canggung. "Yok." panggilnya lagi.

"Manggil mulu, dikata gue kang sayur apa?" Gue menekan pasta gigi agar isinya keluar. Fano menghela napas berat seakan dari oksigen yang ia buang bisa sedikit mengurangi beban yang menimpanya. "khwenaphwa lhu?"

Jeda di antara kita ngebuat suasana canggung. Fano dengan pandangan tajam menatap gue lewat cermin sedangkan gue pura-pura fokus pada kegiatan menyikat gigi.

"Gue tunggu di kamar aja deh." Kemudian Fano hilang dari balik pintu.

Gue katanya?

Menyelesaikan sikat gigi, mencuci muka, dan berganti pakaian, gue kembali duduk di sisi kasur bagian kanan. Entah seperti ada aturan tak tertulis; jika gue bersebalahan dengan Fano maka gue akan selalu menempati bagian kanan, entah saat jalan bersisian atau duduk sekalipun dengan reflek gue akan mengambil bagian di kanan dan Fano di kiri. "Kenapa lu?"

DEBARAN I FaYok vers ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang