Epilog

1.4K 64 6
                                    

Yudha

Sulit bagiku untuk tidur walaupun sebentar. Sudah berbagai posisi yang nyaman kucoba agar bisa tidur walau sejam, tapi masih saja tidak bisa. Aku butuh istirahat. Tadi malam yang panjang, karena banyaknya pasien yang perlu dipantau juga karena memikirkan Adelia. Aku memang memutuskan untuk kembali kerumah hari ini, bertemu dengannya. Tetapi, apakah ia akan memaafkan sikapku yang kekanak-kananakan begitu saja?

Kulirik jam tangan yang melingkar pada tanganku. Masih jam 3 pagi. Terlalu pagi untuk bangun sholat subuh. Tapi mataku tidak bisa lagi untuk diajak kompromi untuk istirahat sebentar saja. Jam tangan itupun menggodaku untuk terus menatapnya. Pemberian Adelia, saat ulang tahunku beberapa bulan lalu.

Aku mengingat ia memberikannya saat aku baru saja bangun tidur setelah sebelumnya pulang larut malam. Bangun dengan pelukan dan kecupan istriku itu pada seluruh wajahku, dan ia membisikkan "wake up, honey" yang sampai saat ini masih membuat wajahku panas mengingatnya. Ia langsung menyodorkan kotak berisi jam tangan ini tepat ketika aku membuka mata. Tahu yang selanjutnya? Hanya suami istri yang bahagia yang tahu apa yang kami lakukan.

Aku bangkit dari posisi tidurku, mengambil ponsel yang ada di atas meja, dan keluar dari kamar jaga dokter ini. Melangkahkan kaki menuju lift, iseng mana tahu jika Adelia datang sepagi ini seperti biasanya, mungkin kami bisa menghabiskan waktu bersama sejenak. Tapi apa mungkin?

Kucoba peruntunganku dengan menuju basement, melihat mungkin mobil Adelia sudah terparkir disana. Cukup lelah aku mengelilingi parkiran itu, tapi tidak ada satupun mobil Adelia terlihat. Dengan langkah gontai, aku kembali ke gedung rumah sakit. Mungkin Adeliapun tidak sudi datang sepagi ini untuk menemui suaminya yang sudah kurang ajar ini, tiga hari tanpa kabar.

"Bang, mau bantuin aku gak?" tiba-tiba tangan dokter Anita mengait lenganku. Aku tahu dokter muda yang satu ini memang mudah akrab, kalau tidak ingin dibilang genit, dengan banyak pria. Ia tidak sengan menyentuh laki-laki. Wajahnya yang cantik memang banyak menggoda pria-pria yang bekerja di rumah sakit ini. Tapi tidak denganku, memikirkan Adelia saja sudah membuat kepalaku hampir pecah. Bagaimana bisa memikirkan gadis ini?

"Bantu apa?" kataku sambil masih melirik kaitan tangannya pada lenganku, mengisyaratkan untuk melepaskannya.

"I think there is something at my breast. Can you look at it?" aku terperanjat mendengarnya.

"Memangnya enggak ada cewe yang bisa melihatkannya?" tanyaku lagi. Bukannya aku malu, hanya bukannya lebih baik sesama perempuan melakukannya?

"Abang enggak bisa rupanya? You are doctor, right?" katanya lagi. Aku tersinggung, bukannya tidak bisa. Hanya, aku tidak merasa benar.

"Ayolah bang. Kalau pacarku bisa melakukannya, tidak akan aku minta abang melakukannya. Dan semua perawat cewe yang ada di IGD lagi istirahat, tadi malam mereka mendapat serangan fajar" aku tau sebanyak apa pasien baru tadi malam. Pasti melelahkan sekali yang bekerja di IGD malam ini.

Tanpa menunggu persetujuanku, dokter Anita langsung menarikku ke salah satu bilik di IGD. Aku sempat melewati beberapa dokter dan perawat di IGD yang tengah tertidur pulas sambil duduk. Mereka pasti kelelahan sekali, gumamku.

Sampai di bilik itu, gadis itu langsung menutup tirainya dan membuka kancing kemejanya.

"Kamu benar-benar enggak malu ya" kataku lagi. Aku mengambil sepasang sarung tangan disposable di dekat tempat tidur pasien.

"Abang kan dokter, ngapain malu. Yang bukan dokter aja aku enggak malu kok" tanpa sadar aku tertawa. Entah apa yang ku tertawakan. Tapi melihat ekspresi polos gadis ini, aku merasa geli. Akupun melanjutkan memeriksa dokter Anita itu.

"Kayaknya memang ada disini, benjolannya. Agak besar"kataku. Dokter Anita mengendus. Aku meliriknya sekilas.

"Sialkan memang." Katanya. Aku hanya mengerutkan kening. Maksudnya?

"Aku sudah merasa ada yang enggak beres. Uda cek sendiri tapi enggak yakin." Katanya lagi.

"Ada riwayat?" tanyaku sambil melepas sarung tangan disposable itu.

"Ada mama. Mama meninggal karena kanker itu" katanya santai. Aku kembali bingung.

"Aku udah biasa bang, enggak usah bingung gitu" katanya lagi. Kami pun kembali berbagi tawa.

"Tapi...kamu...aktif...." Aku bingung mengutarakan kata-kataku.

"Iya bang, aktif. Abang dokter bukan sih? Nanya gitu aja bingung" ia kembali tertawa.

"Terus aja ejek. Enggak pernah dapat pasien yang enggak polos kayak gini" kataku. Kami kembali berbagi tawa. Dalam beberapa saat.

"Enak ya, aku iri sebenarnya bang sama istri abang" aku baru saja akan beranjak ketika ia mengatakan itu.

"Abang selalu punya tatapan sayang ke istri abang. Dia juga, walaupun enggak pernah menatap langsung si, mungkin karena di tempat kerja kali ya. Tapi, kalau menatap belakang abang tu penuh kasih sayang. Ia kayaknya enggak perlu repot-repot bilang sayang ke abang, tapi abang udah tahu ya" katanya lagi. Aku tersenyum sambil membuang sarung tangan yang tadi kupakai ke tong sampak infeksius kecil yang ada di dekat tempat tidur.

"Keliatan ya?" tanyaku. Aku kembali melihat gadis yang sampai saat ini belum juga mengancingkan bajunya. Menurutku wajar kalau banyak laki-laki yang tergoda olehnya, tapi tidak denganku. Apalagi dengan hubunganku dan Adelia yang sedang seperti ini, memancing api namanya.

"Iya. Kami bilang kalian itu love bird" katanya lagi. Aku mengerutkan kening

"Love bird ?" tanyaku, sambil mengambil cairan handsanitizer untuk mencuci tangan.

"Iya love bird" katanya lagi, sambil mengepakkan kedua tangannya seperti ayam. Kamipun berbagi tawa lagi. Setelah itu, aku meninggalkan Dokter Anita, keluar dari bilik itu menuju kembali ke lift. Aku memutuskan untuk segera kembali bekerja, mungkin ada yang bisa kulakukan. Sehingga aku bisa segera pulang.

Aku tidak menyangka, bahkan semua orang bisa tahu bagaimana sayangnya aku pada Adelia dan juga sebaliknya. Bagaimana kuatnya cinta kami. Seharusnya aku tidak meragukan itu, dan kami bisa kembali. Ya, aku mencintainya. Dan akan selalu mencintainya.

**


Holding OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang