Si Mbah

22 3 0
                                    

      Semburat cahaya fajar bersama embun bertengger di dedaunan. Seorang lelaki lansia dengan peci miringnya keluar dari musholla kecil dekat rumah kontrakanku. Lelaki lansia yang biasa teman-temanku memanggilnya dengan kata “Mbah”. Entah siapa mengawali panggilan ini hingga aku pun turut memanggilnya dengan panggilan yang sama. Mungkin panggilan ini terdengar lebih sopan dan tak mengurangi rasa hormat kita kepadanya yang sudah lanjut usia. Dan aku rasa si Mbah nyaman dengan panggilan ini.
     
      Si Mbah adalah tetanggaku dan delapan orang temanku di kontrakan yang baru kita tempati beberapa minggu lalu. Kita kenal dekat dengan si Mbah, karena beliau lah yang sangat peduli dengan kita. Peduli yang bukan berarti memberi perhatian lebih tapi nasihatnya ketika ada perilaku kita yang menyimpang.  Dan kita menganggap itu adalah hakikat kepedulian.
     
      Senyumnya yang khas usai memenuhi pangilan tuhan seakan mengingatkanku untuk tak lupa selalu menunaikan panggilannya juga. Sholatnya yang disempurnakan dengan berbagai dzkir pujian dan doa rayuan. Meski tak terdengar olehku, namun aku tau dzikir dan doanya tak akan lepas dari harapan di akhirat kelak. Si Mbah tak pernah meninggalkan sholat lima waktunya dan berjamaah dengan tetangga lainnya. Aku malu jika harus mengatakan ini karena aku yang belum bisa mengabdi pada tuhan dengan suatu keistiqomahan. Aku yang terlalu sibuk dengan dunia dan terlena dengan masa muda yang penuh nafsu. Suatu kelalaian yang memang harus diakui untuk menghindar dari kesombongan hati.
     
      Sedetik berlalu, si Mbah memperbaiki sandal jepit warna biru yang sudah terlihat tipis. Langkah kakinya tak meminta mengenakan alas yang menawan karena baginya yang indah adalah kebaikan yang ia lakukan bukan sebagus pakaian yang ia kenakan. Beberapa langkah meninggalkan jejak sandal yang masih basah setelah bersesuci. Si Mbah terdengar menghirup udara segar pagi ini. Udara segar yang hanya bisa dihirup sekali dalam sehari tak boleh dilewatkannya

      Hembusan pertama ia lempar dengan pandangan mengelilingi rumah-rumah yang berposisi menyerupai huruf U. posisi yang sangat indah bagi si Mbah. Mungkin dia teringat pada arsitektur tata bentuk komplek sederhana ini ketika usianya separuh baya atau mungkin ketika dia asik bermain cinta. Ya begitulah masa muda yang menyelam dalam suka cinta dan dukanya. Dengan ingatan yang akan lekat hingga usia menua.

      Langkah kakinya tiba-tiba melambat dan terhenti dibawah lampu yang sudah lama tak berfungsi. Ia menerawang ke langit dengan tatapan yang dalam. Mungkin dia mendengar singgunganku soal cintanya. Tapi bagaimana caranya dia bisa mengetahui itu. Aku menunduk takut tak ingin ada tatapan yang mencurigai. Hingga beberapa saat, kulihat dia sudah duduk di atas meja bambu tepat di bawah lampu. Tatapannya tak berubah, masih tetap pada langit yang sama. Namun senyumannya tak sama dan mulai memudar secara perlahan mengikuti mimik wajahnya yang terlihat haru. Seakan ada rasa yang menarik dirinya pada masa yang tersimpan untuk tak di ingat lagi.
     
      Pikiran si Mbah menerawang langit cerah yang semakin membiru. Pikiran yang tak bisa kutebak isinya tapi ada gertakan rasa yang menyetrum hatiku. Seolah aku ikut terjebak dalam pikirannya juga. Pikiranku ikut terpental pada masa yang sulit aku lupakan. Masa penuh dengan canda dan tawa yang terhias di hari-hari itu. Hari-hari yang berganti akibat putaran waktu yang tak pernah berhenti. Waktu tak pernah peduli pada perubahan keadaan dan rasa. Tak ada jeda dan tak ada putaran ulang untuk mengembalikan mereka yang sudah lalu. Sehingga karenanya waktu menjadi peringatan dan harapan manusia akan rahasia waktu yang tak diketahui arah perubahannya.

Mengingat LukaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang