Dua

65 4 7
                                    

Setelah pesta lamaran berakhir, para rekan Rin dan Nitori meninggalkan tempat dan beriringan kembali ke rumah.  Mereka sebenarnya khawatir dengan Nagisa apalagi dengan perut berisi manusia lainnya namun karena Nagisa adalah keras kepala maka ia meyakinkan jika dirinya baik-baik saja.

"Seharusnya kita tidak pulang selarut ini, Nagisa. Bagaimana jika terjadi sesuatu denganmu atau bayi di dalamnya?" Rei menghela napas, kesabarannya kembali teruji. "Sudahlah Rei-chan kau kan lihat aku baik-baik saja. Yang lebih penting adalah ke mana perginya So-chan?"

Mendengar penuturan Nagisa mereka semua terdiam. Pertanyaan yang selalu terngiang-ngiang. Pergi ke mana Sousuke? Kenapa ia terlihat menjauhkan diri dan selalu menatap dengan mata merah yang penuh amarah? Haru menatap Makoto, pria berambut coklat gelap itu mengerutkan dahi mencoba berpikir. Ia menarik lengan Makoto meminta pria itu menyajarkan dengan tingginya. "Sepertinya Sousuke suka dengan salah satu di antara mereka," Haru berbisik. Mengantisipasi agar yang lain tidak mendengar obrolannya. Makoto membulatkan matanya lalu memandang teman-temannya. Seperti yang sudah diduga tidak satupun dari mereka mengetahui hal ini.

"Dan sepertinya itu Rin," penggalan kalimat dari Haru membuat Makoto tersedak ludahnya sendiri.

"Rin?!" Makoto reflek berteriak lantas dengan cepat menutup mulutnya. Nagisa, Rei, Romio, dan Shizuru memandangnya dengan pandangan bertanya. Pria itu menggeleng mencoba tersenyum.

"Kenapa kalian masih berkumpul di sini?" Rin keluar beserta Nitori. Kostum formal mereka telah berganti dengan baju yang lebih kasual. Mereka keluar dengan tangan yang saling bertaut, jangan lupakan cincin perak yang berkilauan melingkari jari manis mereka. Haru segera mengambil suara alias mencoba menyelamatkan Makoto dari situasi yang lagi-lagi akan mengganggu.

"Kami sedang menunggu taksi untuk Rei dan Nagisa. Dengan kondisi Nagisa tidak mungkin ia menaiki transportasi umum." Rin mengangguk mendengar penjelasan Haru. Nitori memandang Nagisa yang sedang memeluk lengan Rei dengan manja. Wajahnya memerah membayangkan bagaimana jika ia seperti itu. Nitori melepas genggaman Rin dan berjalan menuju pasangan Ryugazaki.

"Nagisa boleh aku m-menyentuh perutmu?" Semua tatapan tertuju kepada pria berambut abu-abu itu. Rin menahan gemas melihat Nitori yang
seperti anak kecil meminta permen kepada ibunya.

Nagisa dan semua yang ada di sana tersenyum mendengar perkataan polos Nitori. "Silahkan saja Ai-chan, anak ini pasti akan senang mendapatkan paman cantik sepertimu." Nagisa menghadapkan tubuhnya ke arah Nitori, sebenarnya ia sangat lelah tapi melihat mata Nitori yang berbinar seperti Anak kecil mana mungkin ia bisa menolak. Rei segera paham dan mencoba menopang tubuh suaminya dengan tubuhnya.

Nitori mengangguk dan menyentuh perut Nagisa dengan hati-hati. Sentuhan kecil itu berubah menjadi usapan yang sangat lembut. Nitori dapat merasakan kehangatan yang mengaliri telapak tangannya.

"Kau ingin seperti ini juga Ai-chan?" Nitori mendongak memandang Nagisa mencoba memahami kata-katanya. "Seperti ini? Maksudmu mengisi perut dengan makhluk hangat ini? Aku ingin sekali Nagisa-chan tapi aku takut aku tidak bisa menjaganya dan dia akan terluka karena aku." Nitori menatap perut yang masih datar itu dengan pandangan lembut.

"Tentu saja kau tidak akan menyakitinya. Aku yakin kau akan menjaganya sebagaimana kau menjaga Rin-chan nanti. Tapi sebelum itu ada sesuatu hal yang harus kau tahu Ai-chan." Rei yang berada di dekatnya mulai tidak enak dengan kelanjutan kalimat suaminya itu. Mereka mengantisipasi dua makhluk kecil yang sedang bercengkrama itu.

"Proses sebelum menghasilkan anak di dalam perutmu ini sangat menyakitkan. Rei selalu bilang itu akan nikmat tapi pada akhirnya aku akan terbangun dengan pinggang yang hampir patah dan kau tahu aku berdarah saat–" bekapan Rei menghentikan cerocosan dari Nagisa, sementara Rin menutup kedua telinga suami polosnya itu. Tawa membahana mengakhiri sesi polos yang sangat memalukan itu. Telinga Rei sampai memerah mendengar penuturan suaminya yang tidak tahu malu itu.

Our Ending StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang