Sebuah Diksi Tentang Munajatku

2 0 0
                                    

Langit jingga itu perlahan menghilang dari penglihatan.
Bintang terbesar di sistem tata surya pun tak menampakan cahaya indahnya lagi.
Aku beranjak dari halaman rumah dan menutup lembaran diksiku tentang kamu.
Tak ada yang lebih penting selain bermunajat kepada Tuhan yang Maha Esa.

Ku tapakkan kaki di sajadah hijau tua itu. Aku bersembahyang dengan khidmat dihadapan tuhan.
Tenang dan aman perlahan ku rasakan.
Seusainya, aku mulai menengadahkan kedua tanganku.

Sebuah doa ku ucapkan dari bibir tipis ini.
Doa yang selalu ku dambakan menjadi nyata, berdua denganmu dalam ikatan yang sah dimata tuhan dan insani.
Terkadang aku hanya tertawa remeh dengan angan-anganku yang satu itu. Terbesit dalam benakku bahwa kita tidak akan bersatu, ya TIDAK AKAN!

Tak terasa cairan bening dimataku berhasil lolos dari bola mata hitam ini.
Aku terlalu berharap denganmu!
Semakin deras air mata yang terjatuh.
Ada apa dengan perasaan ku ini? Tak seharusnya aku mengharapkannya.

Entah sampai kapan aku terus berharap bersamamu.
Bila hati telah berkuasa, logika tak dapat melawan.
Aku terlalu mengikuti kata hatiku daripada berpikir realistis.
Aku lelah dengan semua ini.

Aku kembali ke halaman rumah.
Menatap bintang kecil bertebaran dilangit gelap itu.
Dalam hati berkata, jika kamu diciptakan untukku pasti kita akan bersatu meskipun amat pahit jalan yang dilewati.
Dan jika kamu bukan untukku, aku ikhlas lahir dan batin.

Biarlah rasa ini terus berjalan semestinya.
Tanpa merusak apapun dimuka bumi.
Dengan atau tanpa kamu, aku akan selalu mendoakanmu disini.

Buah pena: Aleeya

Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang