MUNGKIN, aku tetap hidup (Part 1)
by Christina TirtaTernyata, aku tetap hidup walau babak-belur dan serapuh cangkang telur. Aku masih bernapas walau sering kali merasa ada yang merebut persediaan oksigen di sekitarku. Mungkin, ada sesuatu di paru-paru atau jantungku. Mungkin, suatu saat mereka menyerah dan berhenti berfungsi begitu saja. Mungkin. Siapa tahu? Yang jelas, bukan aku lagi yang memutuskan.
Aku tidak tahu, saat ini kalian penasaran atau sama sekali tidak peduli. Tapi, aku tahu banyak orang kepo bukan karena peduli. Kenyataannya, kebanyakan orang akan tersenyum sinis sambil mengucap, sukurin, nggak percaya karma sih! Apa yang kamu tabur ya kamu tuai juga, jadi jangan kegatelan jadi cewek, tepat setelah mendengar apa yang terjadi padaku. Aku tahu, karena aku pun akan berpikir begitu. Aku akan menilai dan menghakimi siapa pun yang menjalani peranku.
Tadinya, hidupku sederhana. Sesederhana namaku yang hanya terdiri dari dua suku kata. Ma-Ya.
Aku lahir di keluarga biasa, mungkin agak kekurangan dari segi materi. Namun, aku masih bisa sekolah hingga mencapai gelar S1 walaupun bukan di universitas ternama.
Sayangnya, Papa terlalu ambisius. Dulu aku menyalahkan beliau. Kini, setelah kupikir-pikir, mungkin Papa hanya lelah karena selalu kekurangan uang. Seharusnya aku tidak sebodoh itu dengan memacari cowok miskin. Apa enaknya sih makan di warteg terus? Baik di rumah maupun bersama pacar, menu makananku tidak pernah mewah.Aku menyalahkan diriku yang terlalu naif. Toh, banyak orang mengatakan wajah dan senyumku manis, tubuhku juga ideal. Seharusnya aku mencari pacar dengan orangtua tajir. Tapi, hei, kata orang, saat pacaran, kotoran kuda pun serasa cokelat kan? Jangan tanya aku kebenarannya karena dibayar berapa pun, aku tidak sudi makan kotoran kuda.
Papa, tentu saja, menentang hubungan kami habis-habisan. Beliau malah menjodohkanku pada pria tajir yang lebih tua satu shio alias 12 tahun dariku. Pria itu tidak jelek, tidak gemuk, tidak menyebalkan. Dia hanya pria berpenampilan biasa-biasa saja, cenderung pendiam, dan banyak uang. Namun, tanpa cinta, rasanya seperti mimpi buruk.
Sampai sini, hidupku tidak lagi sederhana walau tidak sedramatis cerita Siti Nurbaya. Papa dan Mama tidak menjual atau memaksaku menikahi pria itu. Pada akhirnya, kegigihan pria itulah yang membuatku luluh. Aku menikahinya bukan lagi karena terpaksa. Lagi pula, tak ada yang dapat memaksaku.Hidup selalu menyediakan pilihan. Aku bukannya sok bijak atau menggurui, tapi jujur saja, hidup tidak akan kejam-kejam amat bila kita, setidaknya, berjuang.
Yah, bukan berarti kini aku berubah pikiran. Hanya saja, sekarang aku percaya, ada hal di luar pilihan. Ada saatnya kita terpaksa memilih sesuatu yang luar biasa berbahaya atau...bodoh.Aku berkata begitu karena, jujur saja, sesuatu yang berbahaya dan bodoh menjadi pilihanku beberapa tahun silam. Dan kembali kuulangi, dengan beda versi, hanya beberapa saat lalu.
Saat itu aku menyadari beberapa hal. Ternyata dunia ini palsu, hidup itu sia-sia, dan semua yang indah bermuka dua. Contohnya laut yang saat itu membentang luas di hadapanku. Saat bersamanya dulu, aroma laut terasa manis dan deru ombak bagai melodi yang membuai kami, hingga terlena.
Kini semuanya pudar. Ombak yang menggeliat dan menggulung bagaikan pintu kematian. Bahkan biru awan terasa suram, seperti hidupku yang menyedihkan, tanpa harapan."Aku akan mencintaimu sampai mati."
Coba tebak, siapa yang mengatakan kata-kata menyedihkan itu padaku? Sedikit petunjuk. Bukan Ben, ayah dari anak-anakku. Ya, lanjutan hidupku semakin jauh dari kata sederhana.Kupikir menikah dengan Ben, pria tajir berusia 35 tahun, adalah pilihan tepat. Semua orang melihat keluarga kami baik-baik saja. Setelah memiliki dua anak laki-laki, aku yakin banyak orang bahkan iri dan menginginkan hidupku.
Ben punya bisnis sukses yang memungkinkan kami hidup lebih dari nyaman. Kehidupanku sesuai kriteria macan gaul yang sehari-hari nongkrong di kafe atau mal, foto-foto keren untuk dipamerkan di laman instagram atau insta story, bersama sesama macan-macan senasib sambil menanti waktu pulang sekolah. Aku tak perlu mencemaskan isi dompet. Ya, hidupku memang seasyik itu.Aku tak pernah menyangka itu tak cukup. Bila kriteria suami ideal dilihat dari segi materi, Ben ada di jajaran atas piramida. Tapi, manusia tidak hidup dari materi saja kan? Uang tidak bisa membeli kebahagiaan. Itu kata-kata bijak yang sering kubaca. Sebagian orang bilang, omong kosong. Tanpa uang, mana bisa kita hepi-hepi?
Jujur saja, aku tidak tahu lagi apa itu bahagia. Tanpa uang, aku yakin hidupku akan suram. Lagi pula, aku sudah telanjur menyukai makanan enak di restoran mahal, baju-sepatu-tas berkualitas di butik mewah. Tapi, bahkan dengan materi berlimpah, aku masih merasa hampa. Membingungkan.
Mencintai sampai mati. Kata-kata seromantis itu tidak pernah keluar dari mulut Ben. Kalau dipikir-pikir, Ben persis mesin ATM yang keahliannya hanya mengeluarkan uang, banyak uang. Dia tidak pernah berkata manis, memberi perhatian, bahkan bersikap hangat. Uang membungkamku selama bertahun-tahun, memberiku kebahagiaan semu.
Kedengaran klise? Suami dingin, tak berperasaan, istri yang kesepian dan butuh kehangatan. Bahkan aku pun akan mencibir cerita semacam ini. Basi. Ya, basi. Saking basinya, nyaris tidak ada teman yang berempati padaku. Mereka hanya melihatku hidup enak, bebas tanpa suami yang menuntut dan mengekang. Mereka bahkan mendambakan hidup kayak aku, bisa keluyuran seenak udel dan menikmati waktu tanpa batas.
Bagaimana dengan anak-anak? Kedua anakku laki-laki, dengan karakter mirip ayah mereka, tanpa emosi berlebih, tanpa drama. Semua orang mengatakan aku terlalu beruntung.
Sayangnya, aku sama sekali tidak beruntung.Mencintai sampai mati. Akhirnya aku menemukan seseorang yang mengucapkan kata-kata itu padaku. Ironisnya, dia memang mencintaiku sampai mati.
Namanya Daniel. Kami bertemu saat reuni sekolah. Ya, aku tahu apa yang kalian pikirkan. Sini kubisiki, tebakan kalian salah. Daniel bukan mantan terindah. Percintaan kami bukan CLBK alias Cinta Lama Bersemi Kembali. Dia memang teman kuliah, tapi status kami hanya teman walaupun Daniel mengaku telah jatuh cinta padaku sejak pertama kali mengenalku.
Aku tidak meninggalkan Ben hanya karena dirinya seperti robot. Tidak. Aku tidak sedangkal itu. Kalau kalian dengar alasannya, mungkin kalian pikir, ah kisah pasaran. Mungkin. Terlalu banyak kisah suami-suami tidak setia yang punya anak di luar nikah. Tidak aneh, memang. Tapi, saat mengalaminya sendiri, percayalah, dunia seperti terbalik.
Ben punya anak di luar nikah. Ironisnya, ibunya adalah pegawai setia yang telah kupercaya selama bertahun-tahun. Mereka tidak menikah, bahkan tidak secara siri. Brengseknya, Ben menyangkal semuanya. Aku memilih memercayai Nur, bukan karena aku percaya pada perempuan itu, tapi karena bocah yang seusia dengan anak bungsu kami itu sangat mirip Ben. Lagi pula, Nur sudah bersedia melakukan tes DNA untuk membuktikan kata-katanya.
Nur bilang, dia tidak minta dinikahi atau setidaknya, diakui. Dia hanya ingin biaya untuk membesarkan anaknya. Dia bahkan bersedia memberikan laporan pengeluaran supaya tidak disangka korupsi.
Bertahun-tahun, aku hidup dengan belenggu rahasia itu. Rasanya seperti menyimpan daging busuk dalam ususku yang lama-lama bermutasi jadi sesuatu yang ganas dan agresif. Tidak ada seorang pun tahu mengenai ini. Nur mengiba, memohon supaya identitasnya dan anaknya tetap tersembunyi. Selain biaya hingga anaknya selesai sekolah, Nur tidak menginginkan warisan apa pun.
Bersambung
(Only 2 part)Bila berkenan, tinggalkan komentar yaa🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
MUNGKIN, Aku Masih Hidup
RomanceShort story tentang cinta, pengkhianatan, kematian, dan kehidupan.