7. Proposal Dimo

16 2 0
                                    

Aku berpandangan dengan Tsania, seakan sama-sama mengingat sesuatu.

***

Lelaki bernama Dimo ini pun duduk tepat di depanku, sebelahan dengan Windy. Ia kemudian menjulurkan tangannya padaku, bermaksud memperkenalkan diri.

"Gue Dimo," katanya.

Aku tidak menerima uluran tangan itu, melainkan menggantinya dengan mengatupkan kedua telapak tanganku di depan dada.

"Saqilla," ucapku.

Windy dan Tsania melihatku berkenalan dengan Dimo dengan muka yang menahan tawa. Aku tidak suka situasi ini. Hei! Memangnya aku ini anak kecil yang sedang diajarkan caranya berkenalan.

"Oke jadi gini, gue mau minta tolong lo meriksain penulisan proposal gue. Gue denger lo orangnya teliti."

Aku sedikit aneh dengan sapaan gue dan lo yang dia ucapkan. Aku tidak terbiasa mendengarnya. Dan dia bilang aku orangnya teliti? Apa dia tidak tahu kalau proposalku saja sudah revisi sampai lima kali. Tapi berhubung aku orangnya tidak tegaan untuk menolak, jadi kuiyakan saja permintaan dia.

"Hmm boleh deh, aku koreksi sesuai kemampuanku ya. Mana proposalnya?" tanyaku.

Dia lalu menyerahkan proposal yang masih dalam bentuk lembaran-lembaran berjepitkan binder clips padaku.

"Oya, gue sekalian minta nomor HP lo dong. Siapa tahu ada perlu," ujarnya disertai senyuman yang entah apa maksudnya. Lalu Ia menyodorkan HP-nya padaku.

"Hmm iya," gumamku sembari mengetik rangkaian nomor handphone-ku di kontaknya.

***

Tipo bertebaran. Itulah yang dapat menggambarkan isi dari proposal penelitian yang dibuat oleh Dimo. Entah itu dari segi penulisan, tanda baca, peletakan gambar mau pun tabel. Aku heran mengapa Ia sampai seperti ini dalam membuat proposal. Apa Ia tidak mengecek kembali setiap lembar yang diketiknya?

Dimulai dari halaman pertama yaitu bagian sampul proposal sampai lembar akhir, semuanya dipenuhi oleh coretanku. Tinta berwarna merah dan beberapa coretan highlighter pen berwarna kuning menghiasi tiap lembarnya. Semoga saja dia tidak marah aku corat-coret begini. Toh ini demi kebaikan proposalnya, pikirku.

Hari yang semakin malam membuatku menghentikan aktivitas yang sedari tadi kulakukan. Lalu beranjak ke kamar mandi untuk menggosok gigi serta berwudhu sebelum tidur. Seusai kegiatan bersih-bersih itu, aku langsung merebahkan diri di kasur berukuran kecil ini. Menarik guling dan menutupi badan dengan selimut sampai akhirnya jatuh tertidur.

Kubiarkan lampu kamar tetap menyala saatku tidur. Aku tidak suka jika tidur dalam keadaan gelap gulita seperti kebanyakan orang. Ya meski tidur seperti itu nyatanya memang lebih baik ketimbang dengan tidur dalam keadaan lampu menyala. Aku takut gelap, itu alasannya.

***

Nada dering handphone yang terus-menerus berbunyi  membuatku bangun dari tidur. Kulihat layarnya dan terkejut. Sudah jam 7 pagi! Aku pasti ketiduran setelah salat subuh tadi.

Kuamati lagi layar handphone-ku dan mendapati 5 panggilan tak terjawab dari nomor tak di kenal. Siapa yang pagi-pagi begini sudah meneleponku?
Seakan tak peduli, aku langsung membereskan kasur dan bergegas mandi. Pagi ini aku sudah ada janji dengan Bu Maya, dosen pembimbingku.

***

Waktu masih menunjukkan jam 08.30 pagi, tetapi di lorong menuju ruang dosen sudah ada delapan orang mahasiswa yang duduk menunggu. Di antara mereka pasti ada yang tujuannya sama sepertiku, bimbingan tugas akhir. Itu terlihat dari jinjingan yang dibawa serta raut wajah tegang mereka.

Aku pun sama tegangnya. Menghadapi dosen pembimbing seperti Bu Maya sebenarnya gampang-gampang susah. Yang membuat semuanya terasa susah adalah karena sifat beliau yang perfeksionis. Aku yang merasa sudah teliti dalam mengerjakan tiap detailnya, ternyata masih di anggap belum memenuhi standar penulisan.

Terhitung sudah lima kali aku revisi proposal. Angka yang cukup banyak  untuk revisian sebuah proposal, apalagi kalau skripsi nanti. Hah, aku harus  menyiapkan fisik dan mental.

Seorang mahasiswi berambut hitam sebahu keluar dari ruangan Bu Maya. Aku menunggu sembari memperhatikan, apakah ada mahasiswa lagi yang akan masuk ke ruangan itu. Sepertinya tidak, mungkin mereka menunggu dosen lainnya. Segera saja aku masuk dan menemui Bu Maya.

***

Alhamdulillah!
Akhirnya aku bisa lanjut ke tahap berikutnya. Seminar Proposal!
Tapi, sebelum seminar dilaksanakan, aku harus membuat sampel produk yang menjadi penelitianku terlebih dahulu. Hal itu dilakukan agar para dosen pengujiku tahu gambaran yang akan kubuat nantinya.

Hmm, kalau begini aku harus meluangkan waktuku ke laboratorium kampus. Ya, karena di sanalah aku akan membuat sampel produk untuk dibawa saat seminar nanti.

Seusai bertemu dengan Bu Maya, aku berjalan keluar gedung dengan semangat baru. Tepat saat itu, handphone-ku kembali berdering. Nomor yang sama dengan yang tadi pagi meneleponku berulang kali.

"Hallo," ucapku.

"Hei lo di mana nih? Udah selesai meriksa punya gue?" tanya seseorang di seberang sana.

"I-ini Dimo?"

"Iya ini gue, ga usah kaget gitu dong ditelepon gue. Jadi gimana?" tanyanya lagi sambil cengengesan.

"Oh udah selesai kok. Ini aku bawa, kebetulan aku juga lagi di kampus. Aku tunggu depan kelas aja gimana?"

"Ketemuan di taman belakang kampus aja, gue udah mau sampe. Atau lo mau sekalian gue jemput?"

"Loh, kenapa di sana, Dim? A-aku tunggu di depan kelas aja ya."

"Gue pengen fokus ngebahas proposal. Pasti banyak banget kesalahan penulisan gue kan. Kalo di sana pasti rame, gue gak fokus."

"Hmm iya udah deh, aku ke sana sekarang."

Saqilla & Alva Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang