Fiero Nathanael
Keputusanku kembali ke Indonesia dan memberanikan diri bertemu Raia adalah keputusan paling benar dalam hidupku. Kenapa tak aku lakukan dari dulu-dulu, sih? Segera setelah sampai di Bandung, aku segera menyambangi rumah Raia, dan semua rasa gugupku tak berarti karena Raia belum pulang. Kata Mamanya, Raia berniat mendatangi kantor Kiara. Dan dengan berbekal alamat kantor Kiara, aku melajukan mobilku lagi, masih dengan perasaan tak keruan.
Aku sudah menguat-nguatkan diri untuk menghadapi bagaimanapun ekspresi Raia nanti, dan aku juga sudah merencanakan semua yang akan kukatakan. Aku tak peduli Raia masih memiliki rasa padaku, atau malah sudah memiliki kekasih baru, pokoknya perasaanku harus kuutarakan, dan semua kesalahpahaman harus kuluruskan. Setidaknya, Raia harus tahu kalau aku... tidak pernah bisa melupakannya, dan tidak pernah bisa beranjak dari segala mimpiku bersamanya.
Dan begitulah. Saat aku merasakan hangat Raia dipelukku, untuk pertama kalinya dalam tiga tahun, aku merasa baik-baik saja. Pertama kalinya dalam tiga tahun, aku tak lagi merasa cemas akan hari esok. Tangis Raia terus membasahi kemejaku, kurasa membuat kami dicurigai satpam kantor Kiara. Aku melepaskan pelukan kami, merengkuh pipinya dengan kedua tanganku, memandang matanya dalam-dalam.
"Ayo, jangan dilanjutin disini." Bisikku. Raia mengangguk dan kemudian menuturkan langkahku, masuk ke kursi penumpang setelah kubuka pintunya. Dalam sekejap, kami telah bergabung dengan jalanan Bandung yang ramai khas jam pulang kantor.
Sejujurnya, aku tak tahu harus kemana. Meski sudah menganggap Mama seperti Ibuku sendiri, aku tetap butuh tempat yang tepat untuk menyelesaikan segala kesalahpahamanku dengan Raia.
Saat aku masih sibuk berpikir, suara dashboard dibuka membuyarkan lamunanku. Kurasa Raia bosan dengan keheningan kami, jadi tangan isengnya mulai bergerak. Aku tersenyum, beberapa hal tentang Raia memang belum berubah.
Melihat tangannya yang terhenti sejenak, aku tahu ia pasti terkejut dengan apa yang ada di dalam sana. Ia mengulurkan tangannya dan mengambil scrapbook yang pernah ia buat 3 tahun lalu itu dengan hati-hati.
Tanpa suara, Raia membuka lembar demi lembarnya sembari tersenyum. Dan diantara senyumnya, aku tahu ada air mata yang meleleh di pipinya. Saat lampu lalu lintas berganti merah, aku menghentikan mobil dan mengusap air mata di pipi kanan Raia.
"Lo masih nyimpen ini, ro?" Tanyanya, setengah bergumam, seolah tak benar-benar berniat bertanya. "Gue dulu lucu juga, ya. Lo juga nih, gaya rambut lo ternyata dulu absurd banget."
"Sampe sekarang juga masih lucu, kok." Sahutku. "Guenya."
Raia tertawa kecil. "Quotenya alay-alay banget, khas orang lagi jatuh cinta. Ini nih, muka lo kalo lagi candid pada aneh-aneh banget!"
Dan tanpa Raia sadari, celetukan-celetukan kecilnya membuatku tersenyum lebar. Aku bahkan merasa rinduku makin hebat saat sudah berada di samping Raia. Rasanya, aku ingin terus memeluknya erat, membalas 3 tahun penuh lara yang sudah berlalu. Ah, aku jadi tahu harus kemana. Kami keluar dari jalan utama dan memasuki jalan pintas.
Raia menyipitkan matanya padaku, mungkin sempat curiga, namun kemudian, ia tersenyum.
"Inget jalan ini kan?"
"Ingetlah. Kita mau ke bukit yang sama kayak waktu kita tahun baru?"
Aku mengangguk samar. Setelah banyak lonjakan dan sepanjang jalan yang gelap, akhirnya kami sampai di padang landai yang kini tak lagi benar-benar kosong. Ada beberapa bahan bangunan tertumpuk dan kayu-kayu yang bersusun. Tak jauh, tertancap papan berukuran sedang yang menjelaskan secara singkat apa yang terjadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh : When The Love Fall [END]
RomantikRaia Ghiani Andriana adalah remaja normal berumur 19 tahun. Statusnya masih single, soalnya Raia punya tipe cowok yang ribet. Cowok itu harus berwajah oriental, ganteng, dan yang paling penting, bersikap tenang dan kalem layaknya cowok di novel-nove...