Happy reading!
✨✨✨
Saat ini Nadira sedang menonton drama Korea di laptopnya. Dia sudah mengerjakan tugas sekolahnya tadi malam. Sekarang dia hanya perlu bersantai menikmati Minggu yang cerah ini. Nadira cukup bosan. Sedari pagi, sudah 3 episode drama Korea yang dia tonton.
Nadira menelepon Citra. Nadira kesepian karena tidak ada orang lain di rumah ini. Mamanya sedang pergi ke butik. Nadira ingin menyusul tetapi akan sama saja rasanya karena Mamanya itu pasti sangat sibuk saat ini.
"Halo," ucap Nadira saat Citra mengangkat teleponnya.
"Halo juga. Ada apa Nad?" tanya Citra to the point.
"Cit, gue main ke rumah lo ya?"
"Boleh. Lo kesini aja. Ada abang gue sama Kak Raka juga."
"Oke deh. Siapin jajan yang banyak ya Cit. Gue siap-siap dulu."
"Siapp dong." Nadira mematikan sambungan telepon itu.
Nadira segera bersiap dan mengendarai motornya menuju rumah Citra yang hanya berbeda blok saja dari rumahnya. Ya, mereka satu komplek.
"Assalamu'alaikum," ucap Nadira sambil mengetuk pelan pintu rumah Citra. Di dekat pintu rumah Citra terdapat bel, akan tetapi Nadira tidak pernah memencetnya.
Yang keluar bukanlah Citra atau kakaknya, melainkan Raka yang Nadira ketahui adalah teman kakak Citra. Raka juga kakak kelasnya saat SMP dan saat ini juga di SMA.
"Wa'alaikumussalam. Langsung masuk, Citra udah nunggu di dalem."
"Ah iyaa. Makasih kak." Nadira memberikan senyuman kepada Raka. Raka mengangguk sambil tersenyum juga.
Masih aja manis. Kapan gue move on-nya woyy.
Nadira masuk ke dalam rumah Citra diikuti Raka di belakangnya. Langsung saja di ruang keluarga, Nadira duduk di samping Citra. Bicara soal Citra dan Satya, kakak beradik itu sama-sama sedang memainkan ponselnya saat ini. Satya memainkan game online sedangkan Citra membaca cerita di wattpad sambil mendengarkan musik dengan earphone.
"Bang, deliv pizza dong. Atau yang lain juga boleh deh. Laper nih."
"Sendiri kan bisa."
"Gaada duit. Bunda belum kasih yang minggu ini ih."
"Dikira gue ada apa. Abis juga lah woyy kemarin abis beli sepatu." Satya memang gemar mengkoleksi sepatu. Dia hampir membeli 2 pasang sepatu tiap bulannya. Bahkan Satya rela menabung uang sakunya hanya untuk dibelikan sepatu.
"Sepatu terosss."
"Biarin lah sepatu-sepatu siapa." Satya menjulurkan lidahnya.
"Iya sepatu lu!"
"Tuh tau."
Nadira dan Raka hanya mendengarkan pembicaraan kakak beradik itu. Mereka maklum karena sudah biasa melihatnya.
"Makan di luar aja yuk, gue yang traktir deh," ajak Nadira.
"Waaa beneran Ra? Yaudah gue siap-siap deh."
"Kita juga ga ni?" tanya Satya sedikit tersenyum sambil menunjuk dirinya dan juga Raka. Tidak apa jika mereka tidak ditraktir juga. Itu tadi hanya memastikan.
Nadira mengangguk. "Iyaa kak."
Semua sudah siap. Mereka sudah berada di luar rumah. Tiba-tiba handphone milik Satya berbunyi. Satya mengeceknya. Mamanya menelepon dan segera diangkat.
"Bentar ya," ucap Satya pada Citra, Nadira, dan Raka. Satya melangkah sedikit menjauh.
"Halo Ma," sapa Satya.
"..."
"Iya, Ma. Satya sama Citra kesana sekarang."
Satya kembali dan memberitahukan apa yang disampaikan mamanya tadi pada Citra, Nadira, dan Raka. "Keknya ga jadi deh. Mama nyuruh ke kantornya."
"Yaudah gapapa," balas Nadira.
"Sama gue aja yuk." Raka pikir ini adalah saat yang tepat baginya. Makan siang bersama Nadira, cewek yang memang disukainya. Raka berharap Nadira mau.
Dan sesuai harapan, Nadira mengangguk. "Mau kak."
Nadira meninggalkan motornya di rumah Citra dan membonceng pada motor Raka. Tidak masalah dia meninggalkan motornya. Citra bisa mengantarkannya atau supir Nadira bisa mengambilnya nanti.
Raka dan Nadira sampai di cafe dan duduk di meja nomor 16. Memesan pasta dan cappucino. Pesanan mereka sama. Raka mengikuti pesanan Nadira. Setelah pesanan datang, langsung saja mereka menyantapnya. Jika ditanya siapa yang pertama menghabiskannya, sudah tentu jawabannya adalah Raka. Cowok itu sudah selesai dengan pastanya dan setengah capuccino sedangkan milik Nadira masih setengah-setengah.
"Ra, ada yang mau gue omongin." Raka membuka percakapan.
"Apa kak?" tanya Nadira. Nadira menghentikan acara makannya untuk beberapa waktu. Menunggu Raka mengatakan apa yang ingin dia bicarakan.
Raka meraih tangan Nadira, menggenggamnya. Dia menatap lekat-lekat mata cewek itu. Nadira yang tangannya digenggam oleh Raka pun terkejut dan juga langsung menatap mata coklat milik cowok itu. Sepertinya ini akan menjadi sesuatu pembicaraan yang serius.
"Gue suka sama lo, Ra. Lo mau ga jadi pacar gue?"
"Maaf kak, ga bisa. Udah ada Kean." Mungkin ini akan menyakiti hati Raka. Nadira tahu itu. Namun akan lebih sakit jika dia menerima. Bukan hanya Raka nantinya, Kean juga. Nadira tak ingin itu terjadi.
"Gapapa deh, Ra. Semoga lo bahagia ya. Lanjutin makannya, Ra."
Raka melepaskan genggaman tangannya. Nadira menurut dan melanjutkan makannya.
"Iya kak."
Nadira sudah selesai makan. Selama Nadira makan tadi, Raka terus saja memandangi wajah cantik cewek itu. Meskipun mungkin tidak bisa dia miliki, Raka senang bisa mengenal dan menyatakan perasaannya.
Mata Raka tidak sengaja melihat ke arah meja 19 yang dimana disana ada Kean bersama seorang perempuan.
"Ra, itu bukannya Kean?"
Nadira langsung menoleh ke arah yang ditoleh juga oleh Raka sebelumnya. Nadira berdiri dan berjalan menuju meja tempat Kean sedang makan diikuti Raka di belakangnya.
Tanpa basa-basi, Nadira menanyakan, "Dia siapa, Yan?"
"Dia--" ucapan Kean dipotong oleh Zara.
"Zara, pacarnya Kean," ucap Zara.
"Gue? Bukan ya, Yan?"
"Bagian dari drama? Bagus. Keren banget sumpah. Congrats ya." Nadira meraih tangan Kean lalu menjabatnya. Nadira tersenyum tetapi matanya memerah menahan tangis.
"Kak, ayo pulang." Raka mengangguk. Nadira menggenggam tangan Raka yang membuat jantung cowok itu berdegup lebih kencang. Mereka keluar dari cafe itu.
"Ke rumah Citra dulu apa langsung ke rumah lo?" tanya Raka.
"Langsung aja kak."
Tak butuh waktu lama, mereka sampai di depan rumah Nadira. Nadira langsung turun dan menyerahkan helm pada Raka.
"Makasih ya kak."
Raka mengangguk. "Gue balik ya, Ra."
✨✨✨
To be continue
Terima kasih sudah membaca
See you
--temanrlmu--
KAMU SEDANG MEMBACA
Keanadira [ Selesai ]
Teen FictionSeandainya Kean tak tergesa-gesa. Seandainya Kean memilih satu orang saja. Seandainya Kean menyadari lebih cepat perasaannya. Tapi nyatanya, semua tak berjalan seperti seandainya. Seharusnya Nadira bersikap biasa saja. Seharusnya Nadira memilih oran...