Dalam ruang rawat sebuah rumah sakit, seorang wanita tengah berusaha membuka matanya yang masih terasa berat setelah tidur seharian. Punggungnya masih terasa sakit setelah kemarin ia menjalani operasi untuk mengosongkan sumsum tulang belakangnya.
Ia meringis, mengingat saat setahun yang lalu ia divonis mengidap kanker darah stadium 3 yang dengan cepat memburuk jika ia tidak menjalani perawatan dengan benar. Dalam hati ia meminta maaf pada keluarga dan suaminya karena telah menyembunyikan semua ini. Setetes air mata mengalir di wajahnya.
Alea, wanita itu mengambil ponsel di dekat tempat tidur dan mengaktifkannya. Ia ingin mengabari Dean jika dia tidak akan pulang sesuai janjinya. Setidaknya ia tak ingin membuat Dean khawatir. Baru beberapa detik ponselnya dinyalakan, sudah masuk puluhan notifikasi panggilan tidak terjawab dan lima pesan belum dibaca.
Alea langsung membuka pesan pada baris ke tiga, dari Nadia, adik Dean.
Kakak di mana? Kak Dean kecelakaan, dia koma. Cepat ke sini RS. Internasional, kamar VIP No.7
Jantung Alea serasa berhenti berdetak membaca pesan dari adik iparnya. Pesan itu dikirim tiga hari yang lalu. Alea jadi meragukan, sebenarnya sudah berapa lama ia tertidur.
Tanpa pikir panjang Alea mencabut infus di tangannya perlahan. "Aah," adunya sakit saat mencoba untuk duduk. Ia mengambil jaketnya dan masker yang tersedia di sana. Ia berjalan tertatih dengan terus menyusuri dinding-dinding rumah sakit.
Alea bersyukur Dean ditempatkan di rumah sakit yang sama dengannya. Ingin rasanya ia berlari. Namun rasa sakit di punggungnya tak bisa diabaikan. Keringat Alea bercucuran. Napasnya mulai terengah padahal ini baru setengah jalan.
Saat sampai di depan ruangan, Alea membukanya perlahan. Namun rasanya malah seperti terhuyung karena tak mampu menahan beban tubuhnya sendiri. Setidaknya Alea tidak sampai jatuh tersungkur ke lantai. Masuk, Alea melihat Anita tengah menyuapi Dean. Matanya terpejam, seulas senyum terukir di wajahnya mengucap syukur. 'aku masih ingin hidup' ucapnya dalam hati.
"Alea," Hati Alea sakit melihat bagaimana cara Dean menatapnya.
Alea menyeka peluh di dahinya, berusaha berdiri setegap yang ia bisa, tak ingin Dean melihat kesakitannya. "Bisa tinggalkan kami berdua," pinta Alea pada Anita.
Setelah Anita pergi, Alea mendekati ranjang Dean. Meminta sedikit ruang agar Alea dapat berbaring di sampingnya. Sesungguhnya Alea sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakit di punggungnya.
Mereka terdiam selama beberapa saat. Alea masih mengistirahatkan tubuhnya setelah kerja keras yang dilakukannya tadi. Sementara Dean sedang berperang dengan pemikirannya.
Dean senang Alea datang. Bahkan jika wanita itu terlambat, tak dapat dipungkiri kalau hanya kehadirannya saja yang Dean tunggu. "Kenapa tidak pulang?"
"Aku akan pulang," Alea diam, bertanya pada dirinya sendiri, kapan. "Tapi nanti, saat semuanya sudah selesai," tangan kiri Dean menyelip ke balik punggung Alea, membelai lembut rambut wanita itu, pun tangan kiri Alea yang terulur memeluk tubuh Dean. "Jangan sakit lagi. Hiduplah yang panjang dan berbahagialah," Dean hanya menggumam. Ingin ia mengecup puncak kepala Alea, tapi ia bahkan tidak bisa menunduk karena lehernya sedang di gips. "Apa Anita selalu sebaik itu padamu, Mas?"
"Maaf," Dean meminta maaf karena mungkin tanpa sadar hatinya sedikit goyah tadi.
Alea menggeleng. "Aku cuma mau kamu bahagia, Mas. Kalau memang jodoh kita berhenti sampai di sini, aku ikhlas, kamu menikah lagi,"
"Jangan bicara seperti itu lagi," jawab Dean dingin. Banyak hal yang ingin Dean tanyakan pada Alea. Ia hanya merasa kurang tepat. Banyak hal yang janggal dengan semua kejadian ini.
Alea menekan tombol darurat di sisi kiri ranjang tanpa disadari Dean. Alea mencium bau darah dan cairan berwarna merah itu menglir dari hidungnya. "Setelah ini, apapun yang terjadi, jangan menyalakan diri sendiri. Semuanya salahku karena tidak pernah jujur untuk segalanya,"
Tak lama kemudian tiga orang perawat masuk ke ruangan itu. Alea benar-benar merasa beruntung hari ini. Satu dari tiga orang itu adalah perawat yang biasa merawatnya hingga ia tak perlu menjelaskan apapun agar mereka tau apa yang harus dilakukan. "Kenapa nyonya bisa berada di sini?" Seru perawat itu keras, antara marah dan khawatir.
"Aku hanya sedang merindukan suamiku," bukan, bukan senang atas pernyataan Alea, Dean semakin bingung dengan apa yang dilihatnya.
Perawat itu segera menyuruh kedua temannya menyiapkan bangkar sementara ia merawat Alea. Dean baru tau, Alea sedang mimisan melihat perawat itu memasang penyumbat di hidung Alea. Tak lupa memasangkan alat bantu pernapasan pada Alea."Nyonya, anda tidak boleh tidur sebelum mendapat perawatan. Aku mohon tetaplah sadar," seru perawat itu panik melihat mata Alea mulai terpejam. Mengapa kedua temannya tadi tidak segera datang. "Nyonya, aku mohon bertahanlah. Aku akan segera membawamu ke ruang inkubasi. Kamu tidak boleh tidur sebelum sampai di sana,"
"Aku tidak tidur, tenanglah," ucap Alea berusaha menenangkan meskipun rasanya ia sudah tidak sanggup lagi.
"Di mana?" Tanya Dean tiba-tiba membuat perawat itu dan Alea terkejut. "Di mana tempatnya?" Tanpa mereka sadari, Dean telah melepaskan infusnya dan turun dari tempat tidur. Dean siap membawa Alea dalam gendongannya. "Tunjukkan tempatnya," ucap Dean sambil berjalan ke arah pintu.
Sakit, Dean masih merasa sakit pada tangannya yang terbalut perban. Namun rasa sakitnya tak bisa dibandingkan dengan rasa takut, khawatir nya jika sampai terjadi sesuatu pada Alea. Lagipula ia telah berjanji dalam hati tak akan membiarkan Alea jatuh dari gendongannya apapun yang terjadi.
Dean berlari pada lorong-lorong rumah sakit mengikuti arah yang ditunjukkan perawat itu. Berkali-kali ia mencoba mengajak Alea berbicara, menjaga agar Alea tetap sadar. Sementara Alea hanya bisa tersenyum lemah. "Terima kasih," bisik Alea pelan sebelum menutup matanya.