5.0

168 44 0
                                    

Tidak ingin menghitung berapa hari yang telah ia lewati bersama Namjoon di sisi. Ia tidak ingin menikam hati sendiri karena mengingat kebersamaan yang begitu singkat ini. Tepat di sore yang paling ia hindari dua hari lagi, Namjoon benar-benar akan pulang tanpa kembali. Dan untuk itu ia di sini, hendak menoreh secercah warna untuk memenuhi isi kepala Namjoon yang akan kembali mati. Ingin membayangi pria itu dengan segala kenangan-kenangan kecil yang tak akan pernah bisa dilupakan nanti. Ia menyisakan dua permintaan, untuk sekarang dan esok hari. Ia akan menggunakan kesempatan itu untuk melakukan hal-hal yang tak mungkin ia lakukan bersama insan lain di bumi. Tak ada satu, dua, atau siapa pun yang bisa mengubah posisi Namjoon yang bertakhta di kasta tertinggi kerajaan hati.

Gelap menelan pendar-pendar cahaya mentari kala itu. Ketika ia dan Namjoon sedang bercengkrama menikmati sinar rembulan yang sedikit menggoda di balik tirai. Sengaja tidak ditutup memang, tujuannya agar angin menerbangkan helai-helai rambut Jisoo; permintaan Namjoon yang tak mampu ia tolak, lagipula ia tidak mendapatkan kerugian untuk hal sepele yang Namjoon ajukan. Ia yang menatap Namjoon begitu lamat, begitu khidmat, menelusuri berkas-berkas cahaya yang usil menerpa Namjoon. Bersinar, konklusi dari penyatuan yang paling indah antara Namjoon dan cahaya. Ia menyelam menuju netra sebelah kanan, lalu beralih menuju ke kiri. Ia lakukan itu berulang kali. Namun kendati telah menatapi Namjoon sampai sedalam ini, ia tetap merasa tak puas hati.

Tatkala palung kecil tiba-tiba terbentuk di sepasang pipi Namjoon, ia tak kuasa lagi untuk menahan diri. Ia mengulurkan satu jemari guna menyentuh permukaan pipi sang kekasih hati. Mengusap cekungan penuh misteri sembari mencari apa penyebab di balik timbulnya cekung itu di sepasang pipi. Ia menaikkan pandangan, menatap Namjoon dalam satu garis lurus tanpa terbesit niatan untuk mengelak pergi. Lantas ia menyuarakan pertanyaan yang membebani relung hati dalam sebuah resonansi, "Kenapa tersenyum begini?"

Namjoon menimpa tangannya yang menyentuh pipi. Mengusap lembut permukaan epidermis hingga timbulkan sejumput rasa dingin menggelitik. Dia tak banyak memberi jawaban, hanya lempar sebuah pernyataan implisit sebagai alasan. "Menyukai momen ini."

Jisoo turut ulas senyum. Ia menyahut jenaka, "Suka momennya atau suka orang yang diajak untuk membangun momennya?"

Namjoon sedikit mencubit cuping hidung Jisoo, kendati tak mungkin gadis itu rasa, tetapi dia lakukan juga. Dia pun menyahut, "Suka dua-duanya."

Mencebik, ia berkata, "Serakah sekali Tuan Kekasih ini." Kemudian menurunkan jemari yang bertengger di pipi, memindahkannya pada genggam Namjoon yang selalu terasa hangat meski dalam definisi berbalut ilusi. Ia melanjutkan dengan senyum yang tak pernah luruh dari masing-masing sudut bibir. "Tapi tak apa, aku tetap cinta."

"Tuan Kekasih juga cinta Nona Kekasih," balas Namjoon diakhiri suara tawa kecil.

"Joon," panggilnya saat merasa hening mulai mengetuk cantik momen yang susah payah ia bangun.

Namjoon menanggapi tanpa perlu bersuara, hanya memberi beberapa gerakan saja sebagai jawaban untuk panggilan.

Ia memulai percakapan dengan membuang pandangan ke arah tirai-tirai berterbangan karena diterpa angin malam. "Kenapa keindahan bersembunyi kala mentari datang, Namjoon Sayang?" Ia berucap tak tentu arah, lebih tepat lagi kalau disebut tengah meracau. Belum sempat Namjoon kemukakan jawaban, ia lebih tertarik untuk melanjutkan, "Kenapa pula keindahan begitu pilih kasih? Dia bertandang di kala petang. Saat langit menggelap, saat udara menyayat-sayat, tetapi keindahan tetap hadir. Entah itu keindahan yang berbentuk konstelasi sebagai kroma di pekat cakrawala atau suara hewan-hewan mikro yang menelan sunyi untuk beberapa kesempatan saja. Kenapa keindahan itu tak bisa aku temukan ketika mentari berkuasa? Kira-kira kenapa, ya?"

"Kira-kira kenapa?" Namjoon ulangi pertanyaan terakhir dari Jisoo. Dia mengusap dagu, memeras otak dan memaksa neuron-neuron di sana untuk bekerja. Kendati ragu dengan jawaban yang telah dia temukan, vokal beratnya tetap terdengar sepersekian sekon seusai mengulangi pertanyaan yang Jisoo lontarkan. "Menurutku, karena malam itu suci, Sayang. Malam hari begitu sakral. Tidak kotor kendati pekat. Tidak pula bising kendati hening terkadang mencekik."

"Kenapa suci? Apa pagi, siang, atau sore itu tidak suci?"

"Pagi, siang, dan sore adalah waktu di mana manusia beraktivitas. Kau tidak akan mendapatkan ketenangan di waktu-waktu tadi. Sedangkan di malam hari, mereka yang telah lelah beraktivitas dan menganggap malam hanya sekadar lewat akan memutuskan untuk beristirahat. Berbeda dengan mereka yang menganggap malam adalah waktunya untuk bercengkerama dengan alam. Dua kubu yang berbeda dalam menyikapi masalah yang sama, yaitu malam." Namjoon mengakhiri tuturnya dengan mengalihkan pandangan menuju ke arah jendela.

Seakan tak pernah ada habisnya persediaan kuriositas yang dimiliki oleh Jisoo, gadis yang baru saja mendapat rentetan jawaban dengan berpuluh-puluh rangkaian kata itu masih ingin melempar tanya. Tak menghiraukan Namjoon yang barangkali telah muak dengan pertanyaan yang tak ada habisnya, ia segera bersua, "Apa aku cerewet, Joon?"

Namjoon tak perlu menatap Jisoo untuk menjawab mantap, "Ada masa di mana kau akan begitu diam, dan ada masa di mana kau akan begitu cerewet. Begitu pula denganku; ada masa di mana aku akan menyukai diammu, dan ada masa di mana aku akan merindui kecerewetanmu."

Jisoo tersenyum simpul dengan kepala tertunduk menatap karpet berbulu yang tengah menjadi alasnya dan Namjoon untuk duduk. "Bukan itu jawaban yang aku inginkan. Jawabannya hanya ada; iya dan tidak. Cukup itu saja."

"Dan jawabanku adalah tergantung. Kau ini susah ditebak, jadi jawaban dari pertanyaanmu tergantung bagaimana kondisi hatimu saat kau bertanya. Untuk saat ini, jawabannya adalah iya, barangkali." Dia membalas cepat.

"Tutup jendelanya, Joon. Tolong benarkan pula letak tirainya. Aku mulai merasa kedinginan," pinta Jisoo pada Namjoon.

Tak butuh teriakan kedua untuk segera melakukan apa yang Jisoo pinta. Dia segera bangkit dan menutup jendela dengan rapat, disusul dengan merapatkan jeda-jeda tirai yang mampu menghalau angin malam. Setelah rampung, dia kembali ke posisi semula.

Jisoo mengatur napas yang terasa sesak. Ia sudah lama ingin bertanya, tapi baru sekarang ia punya kesempatan untuk bersua. Ia pun segera lempar tanya, "Kenapa kaubisa menyentuh benda, tapi tidak bisa menyentuhku?" Sembari susah payah menahan air mata yang tergenang di sepasang pelupuk.

Namjoon mendesah pelan. Menyugar rambut ke belakang menggunakan jemari sebagai sisir. Lantas dia menjawab, "Aku tidak tahu. Aku pun selalu bertanya-tanya akan hal itu, semenjak kau ada di sini lebih tepatnya. Namun hingga waktu silih berganti, aku tak kunjung mendapat jawaban pasti."

"Apa mungkin karena benda-benda yang kausentuh merupakan benda mati, maka dari itu kaumampu menyentuhnya?" Jisoo menerka-nerka.

"Barangkali begitu."

Ia mulai merasakan kantuk menghampiri. Mengetuk-ngetuk permukaan netranya seraya menggoda agar ia segera beranjak tidur. Ia tak dapat melawan lagi ketika telah melewati satu kedipan panjang, netra juga mulai memanas, jadi ia tak dapat memaksakan diri untuk bertahan lebih lama lagi. Ia lekas bangkit dari karpet, berjalan gontai menuju ranjang yang diikuti oleh Namjoon di belakang.

Usai menghidupkan lampu tidur, ia pun menaikkan selimut hingga sebatas leher. Begitu pula yang dilakukan oleh Namjoon yang tidur di sampingnya. Saling berhadapan, bertatapan tanpa disekat jeda yang signifikan. Ia memejamkan mata, hendak meninggalkan gemerlapnya dunia.

Sebelum benar-benar terlelap, ia lebih dulu berucap, "Terima kasih karena telah mengabulkan permintaan keduaku. Berbincang tak tentu arah sembari duduk berdua, menghabiskan waktu bersama dengan bercengkrama. Terima kasih, Namjoon Sayang."

***
Tbc.

[✓] Am TeorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang