5.1

153 46 0
                                    

Banyak sekali yang ingin ia lakukan ketika hari berganti tanggal. Banyak sekali yang ingin ia coba ketika detik menggigiti menit tanpa jeda. Terlalu banyak yang ia ingini sampai kewalahan mengabulkan keinginan yang mana dulu. Ia wajib memasukkan seluruh keinginan yang terdaftar berpoin-poin di eksemplar otaknya, lalu menyeleksi mana yang probabilitasnya tembus angka lima puluh; supaya bisa ia capai tanpa perlu memeras peluh. Dan untuk hari ini, ia punya dua kemungkinan.

Yang pertama, mengajak Namjoon ke luar rumah dan menyeret hantu itu agar mau duduk menemaninya menyaksikan lalu-lalang kendaraan di kala jingga senja menyedot cakrawala dengan eksesifnya.

Dan yang kedua, menyuruh Namjoon untuk membacakan dongeng dari buku yang baru saja ia beli beberapa hari lalu sembari duduk di halaman memandangi pagar rumah bagian belakang.

Tatkala ia mengedip dengan pandangan kosong tertuju pada televisi yang menyala, di saat yang bersamaan pintu hati diketuk pemenang dari dua opsi yang diajukan. Tahu siapa pemenangnya?

"Namjoon!" teriak Jisoo sesaat setelah mematikan televisi. Ia berjalan cepat-cepat menuju presensi Namjoon yang ia tebak sedang berada di perpustakaan. Pria itu pernah bilang kalau ingin berpamitan pada koleksi buku-bukunya di rak yang berjejer di ruangan sana.

Ia dorong benda berbentuk persegi panjang berwarna kecokelatan yang menjadi penghalang. Untuk beberapa detik terlewat, ia hanya mampu menggerakkan sepasang tungkai menyentuh satu jengkal jarak menuju Namjoon, ia hilang fokus. Mendapati Namjoon yang begitu tampan dengan mata terpejam di sentral perpustakaan serta dua tangan memeluk sebuah buku berukuran sedang. Ia tak perlu iri dengki saat memandangi betapa Namjoon mencintai buku-buku hingga memeluk mereka dengan begitu khidmat. Mereka yang membesarkan Namjoon sampai sebegini hebat. Ia tak perlu cemburu. Namjoon dan buku adalah sebuah kesatuan yang padu. Cocok, erat kaitannya. Di mana ada Namjoon, di situ pula ada buku.

"Sooya? Masuk saja, kenapa termenung di sana?"

Vokal Namjoon yang mengalun merdu membuat Jisoo tak mampu lagi untuk menahan langkah. Ia lekas menghampiri pria itu dan memeluk tubuhnya dari depan.

Namjoon terkekeh saat merasakan cinta yang diberikan Jisoo semakin besar. Begitu mendebarkan ketika memikirkan bagaimana jadinya jika Tuhan berbaik hati untuk mengizinkan dia hidup sekali lagi. Dia meletakkan buku yang sempat menjadi pusat atensinya kembali pada rak, menata buku tersebut sesuai jenis agar tak kesulitan jika suatu waktu Jisoo hendak membacanya. Dia balas memeluk Jisoo, pula mengecup pucuk kepala gadis itu beberapa kali. "Ada apa, Sooya Sayang? Apakah sudah mendapatkan pencerahan dari Tuhan mengenai permintaan terakhirmu?" tanyanya saat Jisoo tak kunjung buka suara.

Jisoo menjawab lirih di celah himpitan dekap erat lengan kekar Namjoon. Baru sadar setelah beberapa menit berlalu, ternyata Namjoon tak mendengar suaranya yang mengalun lirih sebab pria itu tak pula kunjung memberi jawaban. Ia mengulangi, "Aku ingin mengajakmu menyusuri trotoar sore ini."

Namjoon melirik penanda waktu yang tertempel di dinding. Lantas menyahut, "Ini sudah jam tiga sore. Sebaiknya kita cepat-cepat menuju trotoar sebelum mentari tenggelam sempurna."

Jisoo memekik girang saat itu juga. Tanpa aba-aba, ia pun menyeret Namjoon dengan paksa kendati pria itu tak akan merasakan bagaimana kobaran api semangat membangkitkan fungsi-fungsi ototnya yang sempat luruh karena merasai masa berkurang melulu. Ia mengenakan sepatu dengan buru-buru. Dengan kemeja putih koleksi Namjoon yang ia temukan kemarin, tersembunyi di lemari kayu besar, ia melangkah lebar. Menjauhi rumah dengan pahat kurva lebar-lebar. Ia menyukai aroma parfum Namjoon yang sayup-sayup menebar halus, mengusik ketenangan indra penciumannya hingga secara tak sadar menjelma menjadi candu luar biasa.

Klakson kendaraan telah terdengar. Menusuk-nusuk gendang telinga. Kebisingan yang tercipta tak serta-merta membuat ia urung laksanakan keinginan. Ia menggenggam satu tangan Namjoon, menolak peduli pada tatapan para pejalan kaki lain atau barangkali pengendara iseng yang menyembulkan kepala dari kaca mobil. Ia tak henti mengulas senyum, kadangkala melirik Namjoon melalui ekor mata kemudian menemukan senyum yang sama tersemat di bibir yang berbeda. Ia melompat kecil tatkala menemukan warna hitam dan putih yang menjadi corak trotoar kala itu. Namjoon mengikuti, menduplikat dengan baik gerakan-gerakan yang ia lakukan. Ingin terbahak, tetapi masih punya urat malu yang menonjol kemerah-merahan dan mereka protes untuk dipertahankan. Sialan, tapi biarlah, cukup abaikan.

Ia memutuskan untuk beristirahat di sebuah halte bus yang kebetulan kosong. Mendaratkan bokong di kursi panjang berwarna abu dan biru lebih dominan. Ia baru merasakan suhu udara yang memanas, mungkin karena sedang tidak melakukan apa-apa, jadi kulitnya lebih peka. Mengibaskan satu tangan di depan wajah guna usir hawa panas yang menganggu ketenangan di kala senja. Omong-omong menyoal senja, ia sampai lupa untuk mengajak Namjoon bertukar pikiran. Setelah ingat dengan benar, ia pun segera mengusik ketenangan Namjoon yang tengah menengadah mengamati cakrawala.

"Banyak debu, ya."

Bukan ia yang bersua. Akan tetapi Namjoon yang berinisiatif membuka. Ia mengangguk setuju, tak perlu ia sangkal karena kenyataan yang ada memang begitu. Dirasa semakin panas, ia memutuskan untuk mengikat rambut hingga menunggal satu dalam kunciran. Tak sempat melirik Namjoon karena terlalu fokus mengatur anak-anak rambut yang nakal. Setelah lama bergulat dengan helai-helai, ia pun selesai.

Namjoon langsung menyambut dengan sebuah pujian, "Kau begini saja sudah cantik, Sooya."

Jisoo merona. Lekas ia alihkan pembicaraan menuju topik utama. Ia berdeham kilat sebelum berucap, "Berikan aku sebuah alasan yang konkret mengenai senja berwarna jingga lebih banyak peminatnya dibanding senja berwarna lainnya!"

Namjoon tergelak karena intonasi Jisoo begitu penuh semangat dengan artikulasi kelewat jelas. Tak mau mengulur waktu yang tersisa, ia segera menjawab, "Karena menurut sebagian orang, senja yang berhasil adalah senja yang berwarna jingga. Sedangkan sisanya hanya tumpahan cat yang tak sengaja mewarnai langit sehingga menghasilkan warna lain, selain jingga."

Jisoo mengangguk-anggukan kepala. Kemudian kembali bertanya, "Menurutmu, apa warna senja yang paling indah?"

Namjoon sejak tadi memang tak mengalihkan pandangan dari dirgantara yang telah berganti baju. Dia mengarahkan jari telunjuk ke atas, menginstruksikan tatapan mata Jisoo agar teralih ke arah yang ia tunjuk. "Seperti itu. Berwarna merah muda sedikit pucat, digradasi kroma ungu tendensi gelap. Ditaburi cercah jingga, sedikit saja, tidak usah banyak-banyak."

"Kenapa suka yang warna itu, Joon?

"Karena indah. Tidak ada alasan selain itu, kurasa."

[✓] Am TeorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang