The Same Night (MamoKou)

66 6 1
                                    

Malam tiba, ditandai dengan munculnya bulan purnama yang seolah menggantung di ranting cemara, cahaya terangnya terpantul jelas di atas permukaan danau. Sesekali angin malam yang lembut berhembus, menggerakkan permukaan air, membuat cahaya rembulan seakan-akan menari di atasnya.

Tak jauh dari tepi danau, berdirilah seorang pria dengan helai rambut merah gelap -sewarna dengan anggur- di belakang ayunan, dia menggerakkan benda yang tengah diduduki kekasihnya pelan. Sementara orang yang duduk di ayunan itu menatap langit malam dalam diam, dia tersenyum, netra biru pucatnya merefleksikan ratusan bintang yang terpajang di kegelapan malam.

“Sepertinya malam ini Kou bahagia,” ujar si helai dark burgundy ikut tersenyum.

Etto Kouki atau biasa dipanggil dengan sebutan Kou -nama orang yang tengah duduk di ayunan- membalas, “Aku hanya mengingat kejadian saat pertama kali kita bertemu. Saat itu aku yang tidak pernah keluar dari rumah tersesat di pasar dan berakhir dengan dikelilingi para pedagang yang memaksa agar dagangan mereka dibeli.”

“Wajah kebingunganmu sangat lucu,” Mamoru -kekasih Kou- tertawa saat memori otaknya memutar kembali kejadian itu.

“Untung Mamoru datang menolongku. Jika tidak, aku tidak tahu harus melakukan apa?” sambung Kou.

“Wajar kok kalau Kou tersesat di pasar, kamu kan anak saudagar sukses. Kebanyakan saudagar kaya melarang anaknya menjelajahi tempat kotor seperti pasar.”

“Mamoru … aku tidak suka membahas masalah kasta,” si helai pirang itu menginterupsi, dia melirik orang yang ada di belakangnya.

“Maaf, maaf …” Mamoru tersenyum dengan memamerkan gigi putihnya yang rapih, “tapi setelah kejadian itu kita jadi lebih sering bertemu, ya.”

“Itu … hanya kebetulan,” bahkan seorang Kou yang terkenal jujur tidak bisa mengatakan bahwa sebenarnya dia berusaha mencari tahu tentang Mamoru.

“Un! Kou sampai repot-repot membawa makanan untukku. Terimakasih ya … makanannya enak.”

Rambut pirang sebatas bahu itu bergerak-gerak lantaran si empunya mengangguk pelan, “Bagaimana kabar Nenekmu?”

“Mulai membaik,” senyumannya berubah kecut, Nenek yang sakit-sakitan dan dua orang adik yang masih bergantung padanya seketika memenuhi kepala Mamoru.

“Syukurlah …” terdengar helaan napas lega dari bibir mungil Kou.

“Bulannya indah, ya …” gumam Mamoru yang masih terdengar jelas di telinga Kou.

“Iya, sama seperti waktu itu.”

Yang dimaksud Kou adalah saat Mamoru berniat mengajak si surai pirang keluar rumah secara diam-diam untuk merayakan pergantian tahun di Kuil. Pria bermanik coklat kemerahan itu awalnya memanjat pagar rumah Kou supaya terlihat seperti pangeran-pangeran di cerita rakyat yang menolong pujaan hati, katanya. Namun sial, Mamoru justru dipergoki sang tuan rumah.

Setelah berjam-jam diinterogasi oleh sang kepala keluarga -maklum, tampang Mamoru mencurigakan- akhirnya Mamoru diizinkan keluar dengan membawa satu-satunya ahli waris dari keluarga saudagar tersebut. Jangan berburuk sangka meskipun Ayah Kou berwajah tegas, dia tidak pernah melarang Kou untuk bergaul dengan siapapun. Bahkan Ayah Kou mengatakan jika memang jodoh Kou berasal dari kalangan menengah ke bawah, dia akan menerima orang itu dan mencintainya sepenuh hati, seperti dirinya mencintai Kou.

Kuil yang menjadi tujuan Mamoru dan Kou tidak jauh, mereka cukup berjalan selama sepuluh menit dan sampailah pada tujuan wisata mayoritas rakyat Jepang saat hendak merayakan pergantian tahun. Sama seperti umat beragama lainnya, dua orang yang -kebetulan- memakai kimono biru tua tersebut berdoa di Kuil itu. Mereka meminta kesehatan, keberkahan dan kebahagiaan pada Tuhan yang mereka percayai, tak lupa juga meminta sesuatu yang selama ini belum didapatkan.

Seusainya berdoa, mereka menjelajahi stand-stand makanan maupun permainan yang didirikan di sekitar Kuil. Mula-mula Mamoru dan Kou mengunjungi stand ramalan,mereka bermain karuta atau ramalan yang kurang lebih sama dengan tarot. Kou mendapat ramalan baik, sedangkan Mamoru bernasib lain, sepertinya Dewi Fortuna memang tidak suka berteman dengan si surai merah gelap itu.

Karena Mamoru mendapat ramalan buruk, Kou mengajaknya untuk membeli omamori -jimat pencegah kesialan. Kou memilihkan omamori berwarna abu-abu untuk orang yang saat ini bersamanya, sementara Mamoru memilih omamori berwarna ungu untuk diberikan pada si helai pirang. Dan sebelum tahun berganti, dua orang itu menyempatkan diri untuk menyantap soba toshikosi yang sudah menjadi tradisi, konon katanya mie yang panjang itu dapat memberi berkah umur panjang.

Setelah selesai dengan soba toshikosi, dua orang berbeda warna rambut itu memutuskan menunggu awal tahun di danau dekat kuil. Dengan memandang langit malam yang berhias sebuah bulan penuh diiringi ribuan bintang yang berkelap-kelip di angkasa, dua orang itu tenggelam dalam keheningan. Kou duduk di ayunan, sesekali menggerakkannnya pelan, sedangkan Mamoru duduk di pembatas danau yang berada di depan ayunan itu.

Tentu saja Mamoru mengajak keluar Kou malam itu bukan hanya iseng belaka, melainkan ada sesuatu yang ingin dia sampaikan. Pemilik netra coklat kemerahan itu memberanikan diri, bibirnya perlahan terbuka dan sebuah kalimat pengungkapanpun meluncur dari sana diiringi suara sebuah kembang api yang lama kelamaan menjadi semakin gaduh saat pemilik helai pirang itu mengangguk.

“Rasanya waktu berjalan dengan cepat, ya …”

“Iya … tanpa diduga besok hari pernikahanmu tiba,” senyum lembut masih terpajang di wajah Mamoru.

“Dunia kejam, ya …” Kou menunduk, bahunya bergetar, “aku mencintaimu … Tidak bisakah kita bersama? Tidak bisakah aku bahagia denganmu? Haruskah kita mengikuti jejak Romeo dan Juliet?”

“Kadangkala pertanyaan-pertanyaan terasa rumit sekali, padahal jawabannya sederhana saja,” ujar Mamoru, dia melangkahkan kakinya kemudian merungguh di depan Kou, jemarinya menyeka air mata dari orang yang sangat ia sayangi. “Kou … kita tidak ditakdirkan untuk menjadi satu. Meski begitu, aku tetap menyayangimu. Jadi tolong, jangan akhiri kisah ini seperti Romeo dan Juliet.”

Semenjak krisis moneter berlangsung, usaha keluarga Kou hampir gulung tikar. Dampak dari krisis moneter menyebabkan turunnya kepercayaan investor, nilai mata uang jatuh dan bursa saham merosot. Banyak pabrik-pabrik besar yang terpaksa memutus hubungan kerjanya dengan karyawan lantaran tak sanggup lagi membayar upah kerja, tidak jauh beda dengan
perusahaan milik orang tua Kou, ditambah saat itu secara mendadak Ayahnya jatuh sakit.

Sang kepala keluarga itu kritis dan hanya bisa berbaring di atas ranjang rumah sakit. Dihadapkan dengan perusahaan yang hampir bangkrut serta Suami yang sedang sakit parah membuat Ibu Kou mau tak mau meminta bantuan pada seorang Bangsawan. Beruntungnya Bangsawan itu mau membantu keluarga Kou dengan syarat Kou mau dijadikan permaisuri dari salah satu pewaris tahta keluarga Bangsawan itu.

Awalnya Kou tidak mau, dia lari dari rumah walau Ibunya sudah memohon dan bersujud agar Kou mau dijadikan permaisuri. Hingga akhirnya si netra biru pucat bertemu dengan Mamoru dan menceritakan semuanya. Mamoru hanya bisa pasrah mendengar cerita Kou, dia sadar bahwa dirinya berasal dari kalangan menengah ke bawah, jelas Mamoru tidak akan bisa membantu keluarga Kou. Yang bisa ia perbuat adalah merelakan Kou pada orang lain, karena Mamoru takut jika Kou terus bersamanya, Kou akan kehilangan segalanya.

“Malam semakin larut, ayo kita pulang,” Mamoru berdiri, “nanti orang-orang di rumahmu khawatir jika kamu tidak segera kembali.”

Kou ikut berdiri, dia menatap sayu manik coklat kemerahan yang berada di hadapannya sebelum akhirnya si helai pirang itu memeluk Mamoru erat.

“Kou …”

“Setidaknya tolong biarkan aku memelukmu sedikit lebih lama,” ucap Kou membenamkan kepalanya pada dada Mamoru.

Mereka berdua dipertemukan oleh sang takdir, namun takdir pula yang membuat mereka berpisah.

END

The Same Night (Tsukino Production) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang