Pertama.Seisi ruangan terlalu asing untuknya. Tidak ada lagi sapaan hangat Sang Ibu atau roti panggang selai apel di meja makan. Kehidupan SeokJin dimulai dengan sesuatu yang baru semenjak kedua orang tuanya menyerah. Meninggalkannya di kamar apartemen dengan sebungkus uang beberapa ratus dollar. Sebagai seseorang yang hidup berkecukupan, SeokJin bisa saja memberitahu kepolisian untuk mencari kedua orang tuanya.
Tapi ia merasa tidak perlu.
Mungkin sudah saatnya SeokJin hidup sendirian. Memangku masalahnya tanpa ada lagi bahu untuk bisa ia gunakan sekadar bersandar. Sejenak saja kadang, ia merasa sendirian. Meratapi nasib sambil menangis sesenggukan di dalam kamar. Ditemani lilin aroma terapi dan buku bertumpuk dengan beberapa materi kedokteran. Tuntutan yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri, terlalu berat. Sampai-sampai SeokJin merasa sedang bermimpi dan suati hari bakal dibangunkan ibunya.
Pukul satu siang dengan SeokJin yang lengkap berapron. Kedua manik mata hitamnya menerawang jauh ke balik kaca raksasa café. Membuat pikirannya melayang-layang diseputaran tugas. Kira-kira mana yang belum selesai, mana yang harus dikumpulkan hari senin depan, atau kapan ia bisa segera pulang dan merebahkan diri barang sejenak. Bersama dengan dirinya sendiri di dalam bilik kamar. Bakal jadi perasaan paling menakjubkan.
"Selamat siang!"
Suara kawannya menggema dari balik meja kasir. Membuat SeokJin buru-buru harus beranjak dan pergi ke bagian dapur. Menyiapkan makanan atau minuman yang bakal dipesan pelanggan baru.
Astaga.
Hampir saja ia menabrak pemuda dengan tinggi lebih darinya. Kira-kira seratus delapan puluhan. Berambut hitam legam dengan manik mata kelabu mirip kelereng. Sekarang laki-laki itu mengerjap-ngerjap bersama dengan segeras vanilla latte di genggaman.
SeokJin hampir menghela napas lega dan menenangkan dirinya sendiri tapi ia urungkan. Tubuhnya merunduk sambil mengucapkan maaf beberapa kali.
Kalau dilihat dari perawakan orang yang baru saja hendak ia tabrak, SeokJin melihat sosok laki-laki yang lebih muda darinya. Tidak jauh, mungkin sekitar satu atau dua tahun. Berkemeja putih tulang dengan celana kain cokelat dan sabuk. Mungkin pekerja kantoran atau bahkan bisa saja kalau ia adalah bos di suatu perusahaan. Dengan wajah terlampau muda, SeokJin jadi heran, kenapa orang ini justru memilih datang ke tempat café dengan nuansa tradisional.
"Sekali lagi, aku minta maaf," katanya.
"Tidak apa-apa." Pemuda itu menepuk pundak SeokJin, berusaha menenangkan. "Lagipula, kan, tidak sengaja."
"Aku bakal ganti kopinya atau kemeja kamu yang tidak sengaja terkena."
"NamJoon," kata anak laki-laki itu. "Panggil aku NamJoon. Itu namaku." Sambil menyunggingkan senyum dengan lesung pipi, NamJoon mengulurkan tangan.
Meski terasa tiba-tiba, SeokJin menjabat tangan kenalan baru nya. "SeokJin, Kim SeokJin."
"Wow. Marga kita sama, rupanya."
"Oh, iya?"
"Iya."
NamJoon memilih tempat duduk jauh dari jendela tapi dekat dengan sisi dinding. Membuat tubuhnya disinari lampu dari rak di atas kepalanya. Dari matanya yang sipit sampai bibirnya yang tebal, semua membuat SeokJin tidak bisa berpaling. Ada sesuatu yang berbeda dari orang ini. Tapi ia tidak tahu apa pastinya.
"Jangan melihatku begitu," bisik NamJoon sambil menyeruput minumannya. "Mengobrol denganku saja. Kakak dari fakultas kedokteran, kan?"
"Kamu tahu?" SeokJin duduk di seberang NamJoon yang sekarang bersandar di dinding. "Berarti kita di universitas yang sama, dong?"
"Aku tidak kuliah."
"Lalu?"
"Menjalankan bisnis keluarga. Mungkin kalau ada waktu, aku bakal melanjutkan pendidikan," kata NamJoon. "Bukannya merepotkan, kalau harus sekolah dan bekerja?"
Berat untuk mengangguk. Tapi SeokJin juga merasakan setiap tulangnya yang meronta hampir semalaman waktu pertama bekerja paruh waktu. Tidak ada yang mudah di awal. Tapi ia juga tidak menyesali keputusan untuk menghidupi dirinya sendiri tanpa bantuan uang warisan.
SeokJin merasa sepasang mata memperhatikannya. Dua manik kelereng kelabu yang ada di hadapannya. Setiap gerakan tangan NamJoon, dari mengangkat gelas sampai bernapas, ia tidak pernah melepas pandangan.
"Ada apa?" Tanya SeokJin.
"Aku menunggu kamu memberikan nomor telefon."
"Maaf. Aku hampir lupa."
Secari kertas kecil dan pena di saku, ditarik oleh SeokJin ke atas meja. Menuliskan nomor telefonnya untuk bisa memastikan apa mau anak ini. Mungkin kemeja baru, sepatu, atau mungkin bahkan minta dibuatkan kopi dan dikirim ke rumah sebagai pesan antar. "Ini," katanya sambil menyodorkan potongan kertas bertulis.
"Terimakasih. Aku bakal segera hubungi."
"Okay."
...
KAMU SEDANG MEMBACA
Cosmogyral
Fanfiction[ COMPLETE ] : NamJin Orphic's spin-off: Zeus dan Hera. Kim NamJoon dan Kim SeokJin. Menceritakan tentang bertemunya Keturunan Dewi Hera dan Zeus. SeokJin, seorang mahasiswa kedokteran yang merasa dunia ada di ujung tanduk, harus meminta maaf pada p...