II

2K 258 16
                                    




Kedua.

Sepertinya, perkiraan SeokJin, orang seperti NamJoon yang bakal minta aneh-aneh, sudah terhapus sepenuhnya dari dalam otak. Semenjak ia bertukar nomor, dua bulan setelahnya mereka jadi bertukar kabar. Hampir setiap hari dengan SeokJin yang beberapa jam sekali punya keinginan melihat layar handphone.

Hampir setiap malam, tangisnya meratapi kehidupan, berubah jadi gelak tawa dan kadang tidak sengaja membangunkan tetangga. Mereka bakal mengomel dengan SeokJin yang tenggelam di dalam selimut. Berbisik-bisik dengan NamJoon dari saluran telefon.

Anak itu menjelaskan kalau ia adalah penerus salah satu perusahan yang ada di kota. Mungkin bisa saja perusahaan besar, atau sekadar usaha keluarga. SeokJin tidak tahu dan tidak ada niatan pula untuk mengulik kehidupan peribadi pemuda itu. Lagipula mereka masih ada di takaran reman dekat. Baik SeokJin ataupun NamJoon, tidak ada yang mau melangkah lebih jauh.

"Aku bakal disana satu menit lagi,"

"Jangan lama-lama."

Kedua lengan SeokJin sibuk dengan adonan. Cuma di hari sabtu ia bisa bebas dari kehidupan. Bermain bersama dirinya sendiri dengan suara dari telefon genggam.

"Kak, tolong bukakan pintu."

SeokJin setengah berlari dari dapur. Meskipun kedua tangan dari beberapa bagian pakainnya penuh dengan tepung, SeokJin harus menyambut adik tingkatnya. Mereka berbeda fakultas dari satu universitas.

Setelah sisi pintu ditarik masuk, barulah SeokJin bisa lihat seseorang dengan pakaian serba hitam. Mulai dari rambut, sampai ke ujung kaki. Sebenarnya ia bahkan tidak tahu kenapa anak badung ini tidak tertarik dengan warna lain di dalam hidupnya. Bahkan ketika ada di dalam kampus dan musim panas, ia tetap bakal pakai warna kelam meski berlengan pendek.

"Salam, Gguk," ujar SeokJin sambil menghela napas.

"Assalamualaikum." Jeongguk menapakkan kaki ke ruang tamu SeokJin dengan sandal rumah. "Salah satu salam yang aku berlajar minggu lalu."

"Jangan mengganggu aku membuat kue. Kamu duduk saja."

Dengan langkah cepat, SeokJin setengah berlari untuk bisa kembali ke dapur. Berkutat dengan adonannya dan mulai mengambil cetakan. Jemarinya meletakkan setiap potongan ke loyang dan masuklah mereka semua ke dalam oven.

Jeongguk duduk di seberang meja dapur. Dengan kursi tinggi dan pandangan mata menerawang ruangan. Kalau dilihat-lihat, ia seperti pemuda pada umumnya yang penasaran dengan rumah baru. Nyatanya Jeongguk bukan pemuda biasa.

"Bagaimana tugas dengan orang-orang mati? Menyenangkan?" Tanya SeokJin tanpa menoleh. Ia masih merapikan ruangan sambil sesekali mencuri pandang ke dalam oven.

"Koreksi, aku bertugas dengan jiwanya."

"Kedengaran sama saja."

Jeongguk kelihatan enggan menanggapi dan memilih topik lain. "Katanya kakak bertemu dengan orang tepat dan mau cerita."

"Ah, benar." SeokJin menepuk-nepuk bagian apron yang masih putih karena tepung. "Tidak tahu, ya, Gguk. Mungkin saja dia tidak punya perasaan yang sama seperti aku."

"Sudah tanya?"

"Belum."

"Jangan menyimpulkan, kalau begitu."

Sambil menghela napas dan menyiapkan Jeongguk minum, SeokJin berpikir kalau adik tingkatnya ada benarnya. Semakin ia berasumsi kalau keadaan bakal baik-baik saja, semakin ia dipaksa bahagia. Dan bakal terjadi juga sebaliknya. Semakin ia percaya kalau NamJoon tidak tertarik dengannya, semakin ia dibuat percaya dengan pikirannya sendiri.

...

CosmogyralTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang