20. a Dream

55 4 0
                                    

20.

Terpaksa mengosongkan absen. Laki-laki yang masih bergelut pada kasur beserta selimut super tebal ini, semakin gencar meringkuk ke sembarang arah. Mungkin seluruh tubuhnya masih betul-betul tidak enak. Hingga pada akhirnya, ia terpaksa tidak masuk sekolah selama lebih dari tiga hari.

Semangkuk bubur yang tiap harinya menjadi asupan perutnya, masih begitu banyak di atas nakas samping tempat tidurnya. Belum lagi dengan beberapa bungkusan obat, yang isinya masih terlihat sangat utuh di dalamnya.

Memang sifatnya mengabaikan, jadi yaaa seperti ini keadaannya, dan selalu masabodo juga sama dirinya. Aneh memang.

"Arghhhh..." mendadak mulutnya berujar sedikit. Mata yang semula tertutup, kini terbuka dengan perlahan-lahan. Laki-laki ini bangun. Tangannya bergerak mundur untuk mengubah posisi tubuhnya, hingga bersandar kepada dinding.

"Mahhh?" panggilnya dengan berteriak kecil mengatasnamakan mamahnya. "Mamah berangkat kerja kali ya hari ini," setelah itu, ia bergumam pada dirinya. Hingga dengan satu tangan menahan berat proposional tubuhnya, Marsel masih memegang kepalanya yang begitu tujuh keliling.

Sudah lebih dari tiga hari, Marsel sakit. Sakit yang menurut Marsel, ini sangat berlebihan. Bukannya apa-apa, hanya karena masalah kecil—jadi besar seperti ini. Sampai memakan waktu yang tidak begitu sedikit, juga dengan terpaksa libur yang sampai saat ini belum juga masuk sekolah.

Tok tok tok. "Sel! Udah bangun belum?" seseorang dari luar kamar Marsel, mengetuk pintu kamar ini. Marsel yang masih menahan tubuhnya, menoleh sedikit kearah pintu lalu berjalan guntai. "Iya, udah!" balas Marsel dengan satu tangan meraih handle pintu.

"Udah baca pesan dari mamah belum?" ucapnya yang langsung melayangkan pertanyaan.

Marsel menggeleng seraya mengernyit, "Ada apaan emang? Gue aja baru bangun begini, mana sempet lihat ponsel."

"Mamah suruh lo mandi, supaya segeran badan lo. Jangan tiduran aja kerjaannya, dikit lagi juga masuk dzuhur. Sholat lo, banyak dosa juga."

Marsel terperangah kaget ketika sang kakak, Fabian mulai berbicara banyak terhadapnya. Apalagi dengan yakinnya sosok Fabian yang begitu dingin—membuat Marsel juga enggan mengajaknya berbicara.

Tetapi kali ini, rasanya hati Marsel begitu tenang ketika mendengarkan celotehan Fabian yang mulai sedikit perhatian terhadap dirinya.

Diam-diam, Marsel tersenyum lebar. Fabian yang melihat sikap aneh dari Marsel, kedua alisnya saling bertabrakan. "Kenapa lo? Kerasukan?"

Marsel menggeleng. "Enggak... Mau masuk dulu nggak nih? Gue mau mandi soalnya," balas Marsel membuka lebar pintu kamarnya—mempersilahkan Fabian untuk masuk.

Kedua matanya sukses melihat isi kamar Marsel—yang ia sendiri sudah begitu lama tidak mampir kedalam tempat istirahat adiknya ini. Marsel masih menunggu Fabian untuk menjawab ucapannya, dengan tangan kiri terus memegang kepalanya.

"Ahhh gila, lama banget lo. Tinggal bilang iya—enggaknya aja susah banget. Yaudah, gue mau tutup nih pintunya. Nunggu lo jawab mah—keburu tai gue keluar disini," cekal Marsel yang tidak sabar menunggu balasan dari mulut Fabian.

Fabian mendadak mengangguk setuju, dengan kedua kaki langsung melenggang masuk ke dalam kamar adiknya. Melihat-lihat dengan seksama, Fabian menyambar sebuah bingkai hitam yang berdiri tegak diatas meja belajar.

"Denira nggak tengok elo Sel? Tumben... Biasanya dia yang paling berisik kalau lo sakit," tanya Fabian sesekali meniup debu yang tercetak di ibu jarinya.

Marsel yang tengah membuka t-shirt, pergerakannya seakan berhenti. Menoleh kepada Fabian, lalu melepaskan t-shirt yang sempat terhenti tadi. "Nggak tahu, dari awal gue sakit aja—dia nggak muncul. Udah bosen sama gue kali. Kan, sekarang dia udah punya gebetan baru."

THEORY OF LOVE [END] #Wattys2021Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang