Mega mendekap erat lembaran Al-Quran dengan kertas kekuningan—di dadanya. Kerudung yang dipakainya hanya dibelitkan tanpa jarum hingga poni nakalnya mengintip, tanpa dia sadari. Dia berjalan keluar dari tempatnya selesai mengaji. Berhenti di dekat pohon rimbun, di halaman depan padepokan. Sudah beberapa hari dia terjebak di sini, tapi dia belum juga terbiasa. Mungkin nanti.
Kepalanya menyandar pada batang pohon, tangannya memeluk Al-Quran semakin erat. "Ya Robb, aku bukan hamba-Mu yang taat. Apa ini salah satu caramu untuk membuatku sadar akan kebesaran-Mu?" matanya menatap pada kumpulan santri yang tengah menghafal Al-Quran bersama. Rasanya lelah sekali menjalani aktivitas yang tak pernah dilakukannya. Menjadi santri, sangat berat bagi Mega.
"Jalani semuanya dengan ikhlas. Kamu tidak tahu apa yang direncanakan Pencipta padamu. Nikmati setiap proses, jangan mengeluh." Mega menegakan tubuhnya. Matanya mencari ke segala arah. Suara itu sangat dekat, tapi dia tidak mengetahui siapa yang tengah berbicara padanya.
Menghela napas pelan. "Aku tidak mengeluh, jangan sok tahu!" Mega berujar dengan ketus, berusaha menyangkal.
Di balik tempat persembunyiannya dia hanya mengulum senyuman, dengan bijak berkata. "Manusia adalah mahluk yang mengagumkan, tak pernah ragu menyatakan kebohongan. Selalu menyangkal yang dikatakan. Lebih jujurlah dengan diri sendiri, jangan pernah menyangkal hati. Mulutmu akan bungkam dihari akhir nanti, alangkah baik untuk membiasakan menjaga lisan."
Mega mendongakan kepalanya ke atas pohon, suara itu terdengar jelas berasal dari sana, tapi dia tetap tak melihat orang duduk di atas pohon. Aneh, pikirnya. "Jangan ceramahi aku," geramnya.
"Aku hanya mengingatkan."
"Bodo amat, aku gak mau dan gak butuh."
"Itu urusanmu."
Mega hanya mengangkat bahu, kembali keposisinya bersiap untuk memejamkan mata. Angin yang menerpanya dan sinar matahari yang terhalangi membawa rasa nyaman. "Aduh!" Mega meringis pelan saat ranting jatuh mengenai dahinya. Terasa sakit, membuatnya kembali membuka mata.
"Jangan tertidur, sebentar lagi shalat asyar."
"Aku bisa shalat sebelum matahari tengggelam."
"Allah telah berfirman dalam Al-Quran surat Al-Maun ayat 4 dan 5. فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ . الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ yang artinya Celakalah orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya. Tidakah sekarang kamu mengerti?"
"Aku sangat ngantuk, jadi bisakah kamu melewatkan ku? Buatlah kegiatan jangan mengganggu orang bahkan tanpa wujud. Ah berhentilah mencampuri urusan orang lain." Dengusan kesalnya, memotongkan ranting di tangannya dengan mudah. Demi apapun dia sangat tidak suka diberi ceramah.
Suaranya tenang ketika berkata. "Santri putri memiliki kegiatan setelah asyar jika kamu lupa."
Mega berdiri, menghentakan kakinya dengan kesal. "Aku hanya ingin tidur, kenapa sulit sekali sih? Aku akan menginjak kakimu hingga patah saat bertemu nanti." Dia berjalan dengan cepat ketika mendengar suara adzan berkumandang.
Salah satu daun terbuka, menampilkan wajahnya yang tersenyum, dia duduk dengan tenang di salah satu cabang pohon yang tidak terlalu tinggi. Satu daun jatuh ke tangannya bersama dengan sosoknya yang kembali menghilang.
***
[02 Maret 2020]
Nulis apa aku ini?
Terima kasih kalian sudah menunggu:" dan maaf jika kelanjutannya tidak sesuai ekspektasi:
Aku tidak bermaksud menggurui, hanya saling mengingatkan dalam kebaikan:))
Sampai jumpa di part selanjutnya
Semangat buat yang sedang berjuang SN, SB, UNBK, atau masuk SMA maupun SMP kalian pasti bisa:*
Biru
KAMU SEDANG MEMBACA
Lir Ilir (Dimensi 1 dan 2, Selesai)
Teen Fiction[Re-publish] Lir Ilir (Dimensi 1), dimulai dari Prolog - Part 15. Kebencian Mega terhadap Seni Budaya membawanya kembali kemasa lalu. Seorang pemuda misterius yang gagah berani menyelamatkannya dari kejaran hewan buas. Lalu mampukah Mega kembali ke...