EPILOG

6.7K 147 29
                                    

Tannia mendengkus untuk pertama kalinya kepada seseorang di hadapannya yang tampak sangat gelisah dan tidak bisa diam. Tannia mengerutkan dahinya dengan kesal. Berdiri dan memasang wajah tegas.

"Lonza! Berhenti membuatku sakit kepala. Diam dan cobalah duduk," kata Tannia dengan tegas.

"Kau menyuruhku diam? Sungguh? Vivian sedang mempertaruhkan nyawanya di dalam ruangan itu," gerutu Lonza dan kembali mondar-mandir, otot kedua kaki Lonza tidak akan pegal dan saat ini jantungnya berdebar-debar. Terus berdetak dan nyaris dapat terdengar, mungkin.

"Kalau begitu masuk saja dan jangan mondar-mandir di sini," kata Tannia seraya membuka tangan.

Kegelisahan Lonza mulai tertular kepada Tannia.

Lagi, lagi, dan lagi; Lonza bermondar-mondari membuat bunyi kaki pada lorong rumah sakit.

"Demi Tuhan! Aku baru tidur pukul enam pagi. Lalu kau menelepon, kini mataku akan berkantung. Lonza diamlah kumohon." Tannia berdesis. "Masuk saja ke ruangan persalinan. Aku yakin kau akan terharu melihat perjuangan Vivian membuat bayi-bayinya bisa melihat indah Bumi ini."

Lonza menggelengkan kepala. "Aku tidak bisa. Aku takut darah. Dan mereka bayi-bayiku juga, aku dan Vivian maksudku."

Tannia diam sejenak. Kedua matanya yang berwarna cokelat mengerjap sekali. "Sungguh kau takut darah?"

Siapapun akan terkejut mengetahui satu fakta tentang Lonza takut terhadap darah.

"Ya, aku takut darah. Maksudku darah membuat kepalaku pusing semenjak kedua orangtuaku dan kedua adikku kecelakaan. Aku melihat tubuh mereka penuh darah dan aku mulai takut terhadap darah."

Tannia menghela napas berat dan kembali duduk seraya memainkan memilin jemari. "Kuharap nanti setelah ini kau harus pergi ke psikiater. Suatu hari itu akan menjadi masalah. Kau tahu, ketika orang-orang terluka kau harus mengambil tindakan, jangan membiarkan dia hanya terkapar di bawah. Aku pernah mengalaminya. Darah temanku mengalir seperti air ketika dia memilih mengakhiri hidupnya dengan jatuh dari apartemennya dari lantai tujuh. Aku tidak bisa menolongnya ketika itu. Hari-hariku penuh bayangan kematiannya."

"Aku turut sedih meninggalnya temanmu." Lonza menepuk pelan bahu kanan Tannia. "Dan mengenai psikiater, saranmu tidak buruk. Akan kupikirkan." Lonza tertawa mencoba menghibur Tannia.

"Kau pelawak yang buruk, Lonza." Tannia menyiku rusuk Lonza.

"Hei! Itu sakit," keluh Lonza.

"Kau sudah mulai tenang rupanya." Tannia tersenyum miring.

"Aku masih khawatir. Lihat tanganku. Masih bergemetaran. Jantungku masih berdetak tak menentu." Lonza memperlihatkan punggung tangan, dan benar Lonza bergemetar.

"Vivian akan selamat, percaya pada Dokter dan Perawat. Aku yakin, Vivian akan senang kalau kau dapat membantu di dalam. Memberikannya semangat."

"Kau ingin membuatku pingsan? Aku takut oke. Aku ... entahlah." Lonza mendesah frustasi.

"Kau sangat buruk sebagai seorang pria, Lonza." Tannia berkata sarkastis.

"Berhenti mengolok-olokku. Aku terima diriku tentang takut terhadap darah. Aku tidak akan mengelaknya. Jangan lagi membicarakan topik darah. Telingaku rasanya berdenging." Lonza mendengkus kasar.

"Omong-omong, Vivian tahu tentang kau takut darah?" Tannia mengangkat kening. Tatapannya mengawasi pandangan mata Lonza.

Lonza mengulirkan bola matan ke bawah. Memutuskan kontak mata dengan Tannia.

Tannia mendesah pendek. Senyum liciknya menyungging. "Biar kutebak. Vivian belum tahu, ya, kan?" tanya Tannia, ada nada mengejek terdengar

"Tidak-Vivian belum tahu oke! Dia pasti akan mengolok-olokku kalau tahu." Lonza kembali menatap Tannia.

Behind Forbidden Love | #Vol (1). PPTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang