Selasa. Hari ini, jam pertama diisi dengan pelajaran agama.Seluruh siswa dikelasku berada diluar kelas karena didalam lantainya masih basah. Hari ini juga ada mapelnya Queen.
note : Queen adalah Wali Kelas kami yang mengajar mapel B.Indo
Queen itu sangat tidak suka yang kotor-kotor atau yang berantakan tidak tertata. Setiap hari, dia akan datang ke kelas kami untuk mengontrol kelas apakah sudah bersih atau belum. Dia juga termasuk dalam deretan guru killer dengan suara besar. Meskipun killer dengan kelas lain, menurutku dia tidaklah terlalu jahat dibanding guru matematika kami. Jahatnya berlipat-lipat.
Saking bersihnya, kelas kami selalu termasuk dalam 3 kelas terbersih di sekolah. Entah urutan berapa, yang pasti kelas kami selalu dipantau oleh ibu kepala sekolah. Itu semua berkat Queen kami.
Bel pelajaran sudah berbunyi. Para siswa juga sudah mulai menyebar keruangan masing-masing. Katolik berada di kelas A, Kristen di kelas B, dan Islam di Musolah.
Ya, kelas A dan B mempunyai jam pelajaran pertama yang sama. Tentu saja. Kelas A dan kelas B itu kembar, pelajaran kami sering bergandengan. Selain itu, mata pelajaran nya juga hanya dibolak-balik.Aku yang sudah mager tidak berniat untuk bangun dan mengambil tasku didalam kelas. Aku hanya duduk di emperan kelas menunggu Olivia mengambilkan tasku dan tas miliknya. Selain mager, sepatuku yang sedang ku pakai ini ribet kalo mau dibuka. Sedangkan punya Oliva itu mudah, hanya tinggal lepas dan pasang lagi.
Bruk !
Olivia melempar tasku tepat dipangkuan ku lalu memakai sepatunya.
"Jaket?" Tanyaku
"Mau pake?" Aku menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Olivia.
"Cuman nanya."
Oh iya.. aku sangat suka dengan jaket. Setiap hari aku ke sekolah dengan jaket, tidak pernah tidak. Jaket sudah menjadi style ala-ala diriku.
Sebenarnya ada alasan lain mengapa aku selalu memakai jaket ke sekolah. Tapi, biarkan itu menjadi privasi diriku. Yang lain tidak usah tau.
"Ani sama Syalva mana?"
"Musolah." Jawabku
"Tumben gurunya datang pagi. Biasanya juga udah mepet jam istirahat baru datang." Olivia duduk disamping ku lalu mengambil alih ponselku.
"Mungkin dia mau berubah." Aku menyandarkan kepalaku pada tiang penyangga disamping ku dan melihat kearah Musolah.
Ingin rasanya aku mengejek Ani yang sedang menyapu Musolah, tapi itu berarti aku harus berteriak. Dan aku sedang tidak mood untuk melakukannya sekarang.
"Semoga ibu ga datang. Aminn." Aku berdoa dengan sepenuh hati, tapi malah dihadiahi nama baru oleh Olivia.
"Kambing! Doanya ga enak bener." Kata Olivia meskipun dirinya tidak fokus kepada ku.
"Tapi kamu maukan?"
"Mau lah. Jam kosong, siapa yang ga mau?"
Kami tertawa bersama.
Aku ini tukang toxic. Suka ngegas dan berbicara kotor. Tapi entah kenapa, moodku saat disekolah sedang tidak baik dari kemarin. Jadi aku memilih duduk diam dan memandang kosong lapangan basket didepan sana.
"Ayah, gimana kabar?" Itu suara Fance. Teman satu kelasku juga. Ku kira yang katolik sudah masuk.
Aku otomatis berbalik kesumber suara. Sudah kuduga yang dipanggil dengan sebutan 'ayah' itu adalah lelaki itu. Dikelas dia yang paling tua, jadi Fance dan beberapa teman laki-laki memanggilnya 'ayah'.
"Aman." Jawab laki-laki itu sambil menunjukan ibu jarinya.
Dia duduk disamping ku, tidak disamping langsung pastinya. Aku dan dia terhalang kurang lebih 8-9 orang siswa.
Kalau dia duduk disitu, aku tidak akan bisa melihatnya. Jadi aku kembali memandang lapangan didepan ku.
Setengah jam kemudian, ibu agama kami datang. Ah sial sekali. Kenapa harus datang? Moodku untuk belajar sekarang benar-benar tidak baik. Tapi mau bagaimana lagi? Lanjutkan saja.
***
"Tuhan itu sangat bertoleransi kepada kita. Dia --"
Didepan, ibu Aleta sedang membahas materi agama minggu ini. Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas karena tempat dudukku yang berada paling belakang. Selain itu, suara guru itu benar-benar halus, dan bisa menjadi pengantar tidur yang baik.
Jika saja lelaki itu tidak masuk kelas hari ini, sudah pasti aku telah terlelap. Tapi karena dia ada, aku harus menjaga image milikku. Jika aku tidur, rambutku akan berantakan dan aku tidak mau itu terjadi. Tidak ada sisir dan kaca disini.
Olivia terlihat sangat sibuk mencatat sesuatu dibuku miliknya. Tumben sekali biasanya aku yang akan mencatat, tapi karena aku sedang tidak mood untuk belajar jadi biarlah Olivia yang menulis.
"Oliv, catat semua ya? Nanti aku pinjam."
Olivia menoleh kearah ku, lalu berkata "Paling juga lupa."
Aku melengos. Dan kembali menaruh kepalaku diantara kedua tangan yang aku lipat. Benar-benar malas untuk bergerak.
"Sekarang, ibu mau bertanya." Suara ibu Aleta masuk kedalam telingaku dan membuat aku bangun.
"Tanya apa?" Tanyaku pada Olivia
"Ha? Ga tau. Palingan nanti Agnes yang jawab."
Hufft.. Selalu Agnes. Dia itu ketua OSIS, pandai berbicara, percaya diri, dan pintar. Beberapa guru mempunyai hubungan akrab dengannya. Salah satunya ya ini, guru Agama kami. Saat dia bertanya maka kesempatan pertama akan diberikan pada Agnes. Dan jawaban itulah yang paling benar.
Jika yang lain menjawab, ibu akan berkata "Ada yang lain? Agnes?" Lalu Agnes akan menjawab dan jawaban yang diberikan hanya berbeda satu atau dua kata seperti 'dan' atau 'Tuhan' atau dia akan memutar katanya tapi pokoknya sama saja maka Jawaban Agneslah yang ibu benarkan.
Mengerti tidak yang aku maksud? Kalau tidak, ya sudahlah.
Saking sibuk dengan pikiranku, aku tidak menyadari bahwa Agnes telah menjawab pertanyaan dari ibu, dan ibu telah melanjutkan materinya.
Tiba-tiba lelaki itu bangun dan berjalan keluar kelas tanpa izin pada ibu. Sudah biasa, tapi dalam hatiku bersuara 'jangan bolos.' semoga saja jangan keluar untuk seterusnya. Rasanya benar-benar kosong.
Sayangnya lelaki itu bersama Yanto benar-benar pergi dan tidak kembali ke kelas. Aishhh payah
KAMU SEDANG MEMBACA
Why Me?
Kısa HikayeAYO MAMPIR, KALI AJA SUKA ! 🙏🙂 _-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_ Katanya Usaha tidak pernah mengkhianati hasil, tapi kenapa hal tersebut tidak berlaku bagi seorang perempuan sederhana? Mengapa tidak ada hasil dari perjuanganny...