Aku, Kau dan Hujan Sore Ini

24 1 0
                                    

"Aku suka hujan," katamu.

Pandanganmu masih tertuju pada hujan yang berderai-derai di luar sana. Sementara aku, masih terus menatap wajahmu. Entah mengapa, aku suka melihatmu dari samping seperti ini. Memperhatikan detail hidung mancungmu, sudut bibirmu, serta ekor matamu yang mampu merobohkan dinding hati yang telah kubangun kuat-kuat sejak dulu. 

Kukira, jatuh cinta karena terbiasa hanyalah pepatah kuno. Hanya ada di cerita - cerita roman picisan. Cerita menye - menye yang digemari para remaja. Tapi nyatanya, aku juga mengalami hal yang sama. Mencintaimu karena aku terbiasa bersamamu. Terbiasa mendengar keluh-kesahmu, melihatmu melepaskan tangis, mendengarkan mimpi-mimpimu, dan juga terbiasa dengan apa adanya kamu.

Benarkah perasaan ini? 

Tentu saja. 

Benar di mataku, tapi salah besar di matamu. 

Kau takkan mungkin menerima cintaku, kan? Karena hatimu telah memilih. Dan ternyata, bukan aku yang kau pilih. Tapi seorang lain yang baru saja kau kenal. 

"Love at the first sight," katamu. 

Aku hanya tersenyum kala itu. Berpura-pura tegar meski ada sedikit goresan di hatiku. 

Lima tahun lalu. 

Di tempat ini. Di tempat duduk ini. Hujan yang sama, dengan minuman yang sama, kau dengan secangkir cappucino dan segelas coklat panas untukku.

'Aku akan baik-baik saja,' rapalku dalam hati.

Mungkin kau akan mengalami hal yang sama seperti sebelumnya. Jatuh cinta, lalu patah hati beberapa bulan lagi. Menangis tersedu di depanku, di sini, di tempat duduk ini. 

Tapi, ternyata aku salah. 

Kau terlihat semakin bahagia. 

Sedangkan aku?

Aku masih berusaha menguatkan diri. Meyakinkan hati ini bahwa kau akan kembali.

Tepat empat tahun lalu, setelah satu tahun aku menunggumu kembali. 

Kau memanggilku ke tempat ini, di tempat duduk ini. Hujan yang sama, pun minuman yang sama. 

"Mungkin, ini hujan terakhir yang akan kita lalui bersama. Aku akan menikah dengannya," katamu sambil menatap hujan yang berderai-derai di luar sana. 

Aku diam. Mencoba mencerna kalimatmu. Pertahananku mulai goyah. Hampir saja aku menangis.

Laki-laki boleh menangis, kan?

Tentu boleh.

Tapi aku harus terlihat bahagia mendengar kabar bahagiamu. Aku tersenyum, sedikit dipaksakan. Ku pandangi wajahmu dari samping seperti biasanya. 'Mungkin ini juga terakhir kalinya aku melihatmu seperti ini,'  batinku.

Ternyata, kau berdusta. 

Sore itu bukan hujan terakhir yang kita lalui bersama. 

Buktinya, sore ini, kau dan aku ada di sini, di tempat duduk ini dengan secangkir cappucino untukmu dan segelas coklat yang mengepulkan uap panas untukku.  Apakah cintaku padamu juga menguap bak minuman ini?

Tidak. 

Tahukah kau bahwa cintaku padamu seperti kuku? Terus bertumbuh meski telah ribuan kali kucoba memotongnya. 

Salahkah aku?

Mungkin. 

Biar saja. Toh, hanya aku dan Tuhan yang tahu perasaanku padamu. 

"Bunda..."

Kau dan aku menoleh pada putri kecil bermata bulat dan berambut ikal, sama sepertimu. Kau dan aku tersenyum. Dia menghampirimu, memelukmu dengan penuh cinta. Pun aku. Dipeluk dan diciumnya pipiku. Tangan kecilnya melingkar di leherku. Aku tersenyum. Ku belai rambutnya dengan penuh rasa sayang. 

Apa aku bahagia? 

Tentu. 

Kebahagiaan bagiku adalah melihatmu bahagia bersama keluarga kecilmu.

Kau, putri kecil dan sosok yang telah memenangkan hatimu.

-end-

Aku, Kau dan Hujan Sore IniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang