01.Berakhir?

72 11 2
                                    

"Ra, aku mau ngomong sesuatu." Rautnya tiba-tiba berubah serius, berbeda dengan gadis yang tengah asik menatap hamparan pasir halus.

"APA FA? NGGAK KEDENGERAN!" Angin kencang, membuat pendengarnya sedikit terganggu. Terlebih, rambut panjang ikal yang menutupi wajah ayunya.

Lelaki itu menghembuskan nafas, sambil jantungnya sedikit berdetak lebih cepat.

"RANIA! AKU PENGIN NGOMONG SESUATU!" Ujarnya, lebih kencang.

Namun, pandangan gadis yang kerap kali dipanggil Rania itu, masih asyik memandang pantai.

Lelaki itu sebal dengan sifat Rania, ia lalu kembali dengan aktivitas meminum es kelapa muda.

"Iya, apa?" Cengir Rania.

"Nggak jadi."

"Ye ... Ngambek, mau ngomong apa tadi?" Rania memainkan pipi lelaki yang menemaninya sejak dua tahun lalu.

Lelaki itu melepaskan tangan Rania. Rania hanya meresponnya dengan mengerucutkan bibirnya.

"Aku mau ngomong serius, Ra." Tatapannya melembut, ia genggam tangan Rania, halus.

"Hmm ...?" Gadis itu menaikan sebelah alisnya.

"Aku mau kit--a." Ucapannya berhenti, ketika Rania berlari dan menarik tangannya.

"Arfa ... Lihat! Itu senja!" Rania sangat antusias, sambil menggandeng tangan Arfa.

Yang digandeng hanya mengikuti saja, ia lihat Rania yang tengah tersenyum sambil loncat-loncat kegirangan.

Ada rasa bersalah di lubuk hatinya. Namun, ini adalah keputusan yang paling tepat diantara pilihan lainnya.

Senja menghilangkan, meninggalkan jejak-jejak jingga di langit. Namun, senyum Rania tak kunjung menghilang.

***

"Arfa, makasih." Rania melepaskan helm, lalu ia kasih ke Arfa.

Rania ingin masuk, tetapi baru beberapa langkah tangannya dicegat.

"Ada apa?"

"Aku belum selesai ngomong." Arfa terlihat serius menatap Rania.

Entah mengapa, kali ini tatapannya berbeda bagi Rania. Walaupun tetap berdebar ketika melihat manik mata Arfa, tetapi ada yang berbeda kali ini.

"Ngomong? Yang mana?"

"Di pantai," jawab Arfa singkat.

"Oh, iya. Ada apa?"

"Kali ini, kamu harus diam. Nggak boleh ngomong sebelum aku selesai."

Rania mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Aku mau minta maaf." Ia memegang kedua tangan Rania

"Mint--" Arfa menempelkan telunjuk jarinya ke mulut, agar Rania tetap diam.

"Aku tahu, kenangan kita banyak. Aku mau minta maaf sekaligus terimakasih. Jujur, aku bahagia sama kamu selalu dua tahun ini. Tawa kamu, keceriaan kamu, sikap manja kamu, juga ngeselin-nya kamu. Semuanya aku suka."

Arfa meneguk ludah sejenak, sebelum kata selanjutnya ia lontarkan. Rania menanti-nanti apa yang Arfa katakan selanjutnya.

"Aku cuma mau bilang. Maaf, mungkin kita nggak akan bisa balik lagi kaya dulu. Bukan! Bukan karna kamu yang salah. Disini nggak ada yang salah. Mungkin keadaan dan waktunya yang kurang pas."

Air mata Rania menggenang. Rasanya ia mulai faham, juga ia ingin tuli dan tidak ingin mendengar kelanjutan ucapan Arfa.

"Aku mau kita udahan ya, aku tahu ucapan ini bakalan banget bikin kamu sakit hati. Maaf, aku udah nggak bisa jadi sandaran kamu kalau lagi sedih lagi," ujar Arfa lirih, dengan kepala menunduk.

Ia usap kepala Rania, lalu ia memasang helmnya.

"Assalamualaikum."

Rania terdiam membisu, sambil menatap punggung kokoh Arfa dengan nanar, ah ... Rasanya ada sedikit goresan yang membuat ia mati rasa sekarang.

Ia dongakan kepalanya, berharap air matanya tak jatuh begitu saja.

Rania memasuki rumahnya, dengan ribuan pertanyaan yang masih berputar-putar di kepalanya.

Arfa belum menjelaskan alasan ia memutuskan Rania. Beribu fikiran buruk terus berputar-putar.

"Ini ya? Yang dinamakan sakit hati? Pantesan! Hati Ra perih banget. Seharusnya Ra ikutin kata Papah, nggak usah pacaran dulu," ocehnya dengan air mata yang mengalir deras.

Pintu kamarnya ia kunci, dengan musik yang dibesarkan. Dengan begini, tidak ada yang mendengarkan suara tangisnya.

Ia pandangi cermin rias dihadapannya.

'Lihatlah! Rania yang cantik juga imut berubah seperti gembel' ujarnya dalam hati.

Ia pegangi dadanya yang sesak, dua tahun menurutnya bukan waktu yang singkat.

"Non! Musiknya pelanin. Nanti kalau tuan dengar, saya dimarahin!" Ujar Bik Siti sambil mengetuk pintu kamar Rania.

Rania terpaksa buka pintunya, lalu memeluk Bik Siti dengan erat.

"Loh, Non Ra kenapa?" Bik Siti mengusap-usap kepala Rania halus.

***
Rania menceritakan semua cerita sambil sesenggukan, bik Siti adalah orang yang ia percaya bagi Rania.

"Non, udah dong. Jangan nangis terus, stok tisu jadi habis kan." Bik Siti berusaha meledek Rania.

Namun, Rania masih saja menangis hingga matanya sembab.

"Non, kata Tuan, Non Ra bakalan dikasih tiket konser." Bik Siti berusaha membujuk Rania.

"Ih ... Rania nggak pengin tiket konser! Rania itu lagi sakit hati Bik," Ujar Rania sambil mengusap ingusnya dengan tisu

"Bayangin! Tadi siang masih baik-baik saja Bik!"

Bik Siti menganggukkan kepalanya.
"Ih ... Jangan ngangguk, bayangin Bik bayangin! Huaaa ...."

Bik Siti berusaha bersabar, anak majikannya ini memang emosian kalau moodnya tak lagi membaik.

"Iya, ini Bibik udah lagi ngebayangin." Ia memasang kedua telunjuk di pelipis kepalanya.

"Ya udah! Ra pengin coklat hangat Bik," ujarnya, sambil memanyunkan bibirnya.

"Asyiappp bos!" Bik Siti berpose hormat dengan semangat, lalu berlari ke dapur.

Setidaknya, coklat hangat dapat membantu hatinya. Dan, Rania berharap setiap larutan coklatnya dapat menghanyutkan perasaan sakitnya.

Tetapi, entahlah ... Manisnya coklat tak semanis kisah cinta pertama dirinya.
***

Ya Allah, ditengah kegabutan akhirnya ngetik gaje. Cerita yang dulu? Entah mengapa inspirasi menghilang, begitulah kelakuan saya sering nggak konsisten ke satu cerita.

Dan, maaf atas segala typo juga kepenulisannya yang ambruladul bikin sakit mata.

Muachhh❤️❤️ ... Salam manis dari Author gaje

Mantan KakakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang