"Ummi, Abi, jangan tinggalin Sekar di sini, Ummi. Sekar takut Ummi!" Tangis pilu gadis berwajah pucat itu di hadapan kedua orang tuanya. Tangannya memegang gamis yang di kenakan Umminya dengan begitu erat.Umminya seolah tak menggubris permohonan putri keduanya. Wanita dengan balutan gamis Syar'i itu menahan agar air matanya tak tumpah. Ia tahu ini akan sangat sulit, tapi dia bisa apa jika suaminya itu sudah memutuskan kehendak.
Titin benar-benar tak bisa mengelak perintah suaminya.
"Sekar, ini demi kebaikan kamu. Tinggal di pesantren akan menjadi lebih baik. Agar kamu paham semua yang terjadi selama ini. Agar kamu bisa sadar, Sekar." Suara Abangnya terdengar begitu tegas. Tangan Sekar juga ia tarik agar tak lagi memegang gamis Titin.
"Sudahlah, Ummi. Tinggalkan saja dia di sini. Sudah waktunya pulang." Abinya ikut menimpali. Titin mengangguk, dia memang tidak bisa meninggalkan rumah lama-lama.
Seorang bocah kecil sedang menunggunya di rumah."Abi, Sekar mohon. Jangan tinggalin Sekar. Sekar enggak akan sanggup tinggal di pesantren, Abi. Ini bukan tempat Sekar. Ini tempat orang-orang suc...." Belum sempat Sekar berucap, Titin secepat mungkin menutup mulut putrinya.
"Cukup, Sekar. Di tempat ini, enggak ada yang tahu masa lalu kamu. Cukuplah tiga tahun itu untuk menjadi masa tersuram kamu." Air mata Titin tak mampu terbendung.
"Ummi, mohon. Mulailah hidup baru. Lupakan kepedihan akibat keras kepalamu, Nak. Tolong, dengarkankah kami." Mohon Titin kemudian meninggalkan putrinya dan segera masuk ke dalam mobil pribadi milik mereka.Sekar kini hanya mampu terdiam. Air matanya mengering. Matanya hanya menatap kepergian orang tua dan juga keluarganya dengan tatapan yang sulit di artikan.
Koper besar yang di tinggalkan untuknya kini ia seret pelan menuju Sakan. Beberapa santri kini menatapnya serta mengukir senyum menyambutnya.
Belum sempat sampai, Hujan deras tiba-tiba turun. Tangan Sekar kembali gemetaran. Kopernya terlepas dari genggamannya. Dan tubuhnya jatuh lunglai.
Santri putri memekik kaget karena melihat tubuh Sekar yang jatuh lunglai. Segera mereka berlari untuk menghampiri dan juga menolongnya.
Dan akhirnya, Sekar jatuh pingsan.
Titin terus saja menangis. Apalagi saat hujan turun dengan deras. Rasa khawatirnya pada Sekar semakin memuncak. Sekar akan kembali kumat jika hujan turun.
"Sudahlah, Mi. Berdoa saja. Mudah mudahan, metode kali ini, akan membuat Sekar sadar"
Nasehat Suaminya dan Titin hanya mengangguk mengiyakan."Iya, Mi. Setidaknya, Althof akan aman. Enggak akan kena siksa lagi dari Sekar." Anak sulungnya kembali mengingatkan.
"Iya, kamu betul. Althof akan aman sekarang."

KAMU SEDANG MEMBACA
My Name Is Sekar
SpiritualBagaimana perasaanmu jika berada di posisi Sekar? Saat tragedi mengerikan menimpa dirinya. Di usia dua belas tahun, mahkota kesuciannya harus raib dengan paksa. Untuk gadis keras kepala seperti dirinya, jelas menjadi pukulan yang sangat berat. Apa...