Tanggal dua Februari

1.2K 76 5
                                    


Pria itu duduk di atas kursi beton yang berada  sisi jalan. Matanya masih asyik memperhatikan gelang manik-manik yang terbuat dari kayu yang sudah terlihat sedikit kucel.

Semenjak kejadian itu, hanya benda itu yang ia dapatkan setelah bangun. Dan tentunya, darah yang menodai kemeja putih miliknya.

"Kenapa gadis bodoh itu harus ada di sana?"
Ujarnya sambil meremas-remas gelang yang di pegangannya.

Sebuah tepukan mengenai pundaknya.
"Sudah tiga tahun, Bro. Gue yakin, anak itu bunuh diri setelah tahu kalau dia enggak perawan.  Jadi, enggak usah di pikirin lagi.
Buang aja tuh, gelang!"

Saat Andrea ingin merebut gelang itu, segera Ervin menaruhnya kedalam saku jasnya.

"Ngapain di simpan? Kalau seandainya keluarganya cari tahu siapa yang ngelakuin itu sama anaknya gimana? Kamu bisa saja ketangkap, Vin."

"Enggak masuk akal. Kan udah tiga tahun katamu."

"Terus, ngapain gelang bututnya kamu simpan?"

"Pengen, aja. Enggak masalah kan?"
Andrea hanya tertawa kecil.

"Kalau kamu ngelakuin itu sama perempuan lain, mungkin akan merasa beruntung. Mereka akan mendapatkan keturunan yang tampan."

"Aku rasa, anak itu masih terlalu kecil untuk hamil."  

"Sudahlah. Bos udah menelfon sejak tadi. Kita kesini bukan untuk mengingat penyesalan kamu yang udah karatan itu."

"Apa menurut kamu, Aku terlihat seburuk itu?"

"Mau gimana lagi. Pria sepertimu sudah bejat dari sononya. Anak kecil di perkosa?!"
Andre berlalu meninggalkan Ervin yang kembali duduk sambil tertawa kecil. Merasa bingung. Entah, Andrea menghibur atau malah menjatuhkannya.

Ervin tak pernah menyangka, ternyata, setelah kejadian itu, dirinya akan menyandang status bejat. Jangan berprasangka jika Ervin tak merasa bersalah. Setiap malam, dirinya selalu mimpi buruk. Jika tidak meminum obat penenang, ia akan terus bermimpi buruk.
Mendengar suara tangisan dan juga teriakan seorang gadis yang begitu kesakitan.

Ervin menghela nafas panjang lalu menghembuskannya  dengan perlahan.
Bunyi smartphone tanda message masuk, membuat Ervin segera merogoh saku jasnya.

"Kembali ke Indonesia!"
Sederet tulisan itu membuatnya tersenyum miring. Selain mengerjakan misi, mungkin dia bisa menggali informasi tentang gadis itu.
Ervin bahkan tidak tahu siapa namanya. Walaupun terasa sedikit mustahil. Tapi, Ervin akan mengupayakannya.

Setelah membalas dengan kalimat setuju, Ervin kembali memasukkan smartphone itu kedalam saku jasnya kemudian berlalu.

Selama berada di Rusia, Ervin merasa tidak ada yang begitu menyenangkan. Hanya ada mimpi buruk yang terus menghantuinya. Padahal, Rusia menjadi tempat yang selalu di juluki surga dunia. Wanita cantik berhidung lancip dan juga berkulit putih begitu mudah ditemui.

Walaupun sering melihat kecantikan yang lebih dahsyat dari negara lain, Ervin memang sependapat dengan orang-orang yang menjuluki Rusia salah satu kota surga.
Memang terlihat begitu menakjubkan. Namun mimpinya terlalu menakutkan untuk menikmati kota seindah Moskow.

Karena, jika hati yang tidak dapat tenang, maka raga yang lain pun akan ikut menderita.
Apalagi, jika mengingat Ibunya, kekhawatiran jelas begitu mencuat.
Wanita yang paling ia cintai, berada di bawah kendali bosnya.

Walaupun ia sudah menjadi anggota kesayangan dan paling di percaya, tetap saja Ervin merasa begitu khawatir.
Jika sedikit saja kesalahan, nyawa ibunya mungkin akan ia pertaruhkan.

Hidup tanpa Ayah memang begitu sangat menyedihkan. Seperti hidup yang di jalani Ervin
sejak lahir ke dunia hingga saat ini.
Ia tidak pernah tahu siapa Ayahnya.

Ervin bekerja di bawah tekanan yang cukup mengerikan.

My Name Is SekarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang