Pertama kali Jongin menelepon, beberapa bulan kemudian, adalah saat Seulgi berada di Jepang untuk sebuah jadwal. Untung saja dia menelepon pada tengah malam, saat Seulgi sudah kembali ke kamarnya (yang dibagi bersama Sooyoung), jadwal mereka sudah selesai. Tidak ingin mengganggu Sooyoung yang sudah mengantuk, Seulgi menjawab telepon itu di kamar mandi.
Jongin membicarakan banyak hal tentang kamp militernya. Hal-hal ringan seperti teman-teman baru, lingkungan baru, dia yang sempat sakit dan dirawat dua hari di klinik kamp, lalu senjata pertama yang dia pegang. Seulgi merasa kembali ke belasan tahun lalu, antusiasme Jongin masih sama, mulai dari bercerita tentang peliharaan barunya sampai liburannya ke rumah keluarga jauhnya di ujung Korea.
"Kau masih di Jepang, ya?" Jongin bergantian menanyai Seulgi. "Ada satu restoran favoritku ... di daerah Shibuya. Cuminya enak sekali."
"Yah, besok pagi-pagi kami sudah pulang."
"Wah, sayang sekali."
Seulgi tersenyum pada refleksinya sendiri di cermin di sisinya, ia duduk dengan santainya di atas konter wastafel sambil memeluk kakinya sendiri. "Kesimpulannya, selama beberapa bulan ini?"
"Wajib militer tidak seburuk yang dikira."
Mereka berdua sama-sama tertawa kecil. Namun, Seulgi mendadak teringat apa yang dikatakan Minhee waktu itu, membuat hatinya mencelus. Jongin mungkin belum tahu atau belum menyadarinya, ia tidak tega ingin menanyakan sesuatu yang mengarah ke sana, tetapi Seulgi, seperti biasa, kadang tidak dapat menahan dirinya. "Jongin-ah."
"Ya?"
"Kau sudah memikirkan ... nanti setelah keluar, apa yang akan kaulakukan?"
"Hmmm. Kalau ada tawaran, ya kuambil."
"Kalau tidak?"
"Aku akan tahu nanti," Jongin menjawab ringan, "sepertinya seseorang pernah mengajariku untuk hidup apa adanya, membiarkan semuanya mengalir dengan tenang."
Seulgi tersenyum hambar. Ia menyentuh-nyentuh kuku kakinya, yang masih berwarna biru muda sejak setengah bulan lalu. Warna itu tidak lagi penuh di kukunya. "Aku tidak kenal orang itu."
"Aku kenal," jawab Jongin lembut, "kenal baik. Mau kuperkenalkan? Orangnya baik sekali. Dia tahu hal yang terbaik untuk dirinya sendiri dan orang-orang di sekitarnya."
Sekali lagi, Seulgi tertawa, tetapi terasa begitu kering di tenggorokannya. "Bagaimana ... bagaimana kalau keadaan berubah dua tahun lagi?"
"Bukankah kehidupan memang seperti itu?"
Seulgi diam begitu lama.
"Kau mengantuk, ya? Tidurlah. Besok harus bangun pagi-pagi, kan? Sori mengganggumu. Kau boleh menutupnya sekarang, Kang Seulgi."
"Ya ... sepertinya aku memang mengantuk." Seulgi mengangguk untuk dirinya sendiri. "Kapan kau bisa telepon lagi?"
"Sepertinya aku bisa mengambil cuti sebentar lagi. Aku pasti memberi tahumu."
"Oke ...."
"Selamat malam, Seulgi-ah."
Sebelum Jongin menutupnya, Seulgi buru-buru berucap, "Aku kangen. Selamat malam." Ia yang menutup lebih dahulu, tanpa mau tahu apa balasan Jongin. Ia turun dari sana, langsung menuju tempat tidurnya dan menimbun diri dengan selimut.
. . .
Seulgi memberanikan diri untuk membuka berita-berita tentang Jongin.
Senyap.
Kasus itu tenggelam begitu saja. Sejak dahulu, senior-seniornya sudah memperingatkan bahwa media adalah sebuah zona berbahaya. Apa saja bisa terjadi di sana; publikasi palsu, dibesar-besarkan, cerita rekayasa, cerita-cerita yang digantung, oleh karena itu lebih baik hindari mempercayainya seratus persen.
KAMU SEDANG MEMBACA
icarus falls
FanfictionSeulgi tidak ingin menengok ke belakang. Seulgi hanya ingin berjalan tenang di kehidupannya. Jongin adalah masa lalu. Seulgi sudah menganggapnya menjadi bagian yang berbeda dari kehidupannya. Namun, Seulgi selalu menemukan jalan kembali.