Aku Seperti Tak Mengenaliku - Lusyana bagian 03

11 6 1
                                    

Aku hanya membisu ketika ditanya oleh kepala sekolahku, aku hanya menunduk tak berani menatap matanya.

Ini kali pertama Bu Rahma membentakku saat berbicara denganku, aku tidak tau kesalahan apa yang aku buat, selain ketidaksengajaan menancapkan gunting itu ke pundak Siska.

Hmmm. Yaa! Aku yang melakukannya, tapi sungguh aku tidak sengaja.

Saat itu aku ingin menunjukkan kerajinan tangan yang berhasil aku buat saat diperpustakaan kepada Irma, dan aku lupa menaruh gunting itu.

Tapi, tiba-tiba saja aku sudah berada dalam situasi tidak mengenakkan itu, yang membuatku diseret ke ruang kepala sekolah ini.

Yang mengejutkanku, Siska membuat pengakuan seakan-akan aku yang sengaja melakukan itu, bahkan teman-teman satu gengnya menyetujui itu.

Ck! Ya iyalah mereka kan satu geng!

Tapi yang lebih mengejutkanku, sahabatku, Irma juga membuat kesaksian yang sama bahwa aku yang melakukan pembullyan itu kepadanya.

Jika sudah begini, pembelaan ku pun tidak akan ada gunanya!. Sehingga aku hanya berdiam diri dan menundukkan kepalaku.

Namun yang membuatku takut adalah sebelum kepala sekolah mulai mengintrogasi kami, beliau lebih dulu menelepon orang tua kami.

Aku yakin orang tua ku akan mempercayai ku, karena aku tidak pernah berbohong pada mereka. Aku selalu menuruti semua yang mereka mau.

Ketika Bu Rahma menanyaiku dengan cara membentak, aku sudah akan menjawab dan membela diri. Tetapi ucapan ku yang belum sempat keluar terhambat oleh bunyi telepon dari meja kepala sekolah.

Dan setelah percakapan dari telepon itu, Bu Rahma langsung menarik tanganku dan mengajakku keluar dari ruangannya.

Diperjalanan aku hanya melamun, memikirkan bagaimana perasaan orangtuaku dan bagaimana reaksi mereka.

***

Disinilah aku. Ditempat peristirahatan terakhir kedua orangtuaku, aku tidak menyangka semua ini terjadi kepadaku. Semua masalah yang ada terarah kepadaku. Aku yang menyebabkan kematian kedua orang tuaku. Aku yang menyebabkannya!!!

"Daddyy Mamaaaa hiikss kenapa kalian meninggalkanku hiikks begitu cepaattt!!! Apa kalian sudah tidak sayang kepadakuuu??! Hikss hiikkss. Aku tau aku yang durhakaa hiikkss tapi toloong jangan tinggalkan akuu sendirii hiikkss hiikksss akuu ingin ikut bersama kaliaaaaaan hiikksss"

"Sudah non. Jangan seperti itu, nanti Daddy dan Mama non tidak bahagia disana. Ini sudah takdir dari yang maha kuasa non, sebaiknya non mendoakan mereka agar ditemoatkan ditemoat terbaik disisi tuhan" Ucap Bi Ida pembantu dikeluaga Ana yang telah bekerja sejak Ana belum lahir di dunia.

"Hari sudah menjelang malam non, mari pulang" Ajak Bi Ida seraya menuntun Ana pulang kerumah.

Sejak kepergian orangtuanya, Ana tidak berubah. Dia tetap menjadi Ana yang dulu, Ana yang ceria. Namun hanya kepada orang-orang tertentu saja. Hanya kepada orang yang dekat dengannya semenjak ia kecil.

Hari ini. Hari dimana Ana akan lulus SMP dan melanjutkan kejenjang yang lebih tinggi.

"Lucyana Elfira Anggara Putri silahkan maju untuk memberikan penyampaian atas prestasi kamu"

Yaa! Ana dipanggil untuk maju ke podium karena ia berhasil menjadi peraih nilai tertinggi untuk tahun ini.
Namun, yang dipanggil justru melamun teringat bahwa sekarang ini ia tidak didampingi oleh orang tuanya. Tidak ada yang dapat ia banggakan jika yang ingin dibanggakan telah tiada, pikirnya.

Namun entah bagaimana, ia terpacu untuk menyampaikan sesuatu, karena mendapat dorongan dari bisikan-bisikan yang ada di telinganya.

"Tetaplah berusaha menjadi yang terbaik untuk bisa membanggakan, walaupun orang yang paling kamu sayangi sekalipun telah tiada. Tapi, tentu nama dan jiwa mereka masih ada tertanam didalam lubuk hatimu. Walau mereka tak bisa kau lihat, tapi mereka bisa melihatmu, dan pasti mereka akan bangga di alamnya sana"

**
Entah bagaimana bisikan itu selalu memenuhi kepalaku, hingga aku tersadar, dan memenuhi panggilan yang dilakukan berkali-kali itu.

Aku Lusyana Elfira Anggara Putri membuktikan bahwa aku tidak membutuhkan orang lain untuk berada di sisiku.

Aku bisa melakukan semuanya sendiri. Itu adalah prinsip ku mulai saat ini.

Dari panggung ini aku bisa melihat semua mata tertuju padaku, kecuali satu, dia adalah temanku ralat lebih tepatnya mantan temanku.

Aku tidak tau pasti apa yang dia rasakan. Tapi aku dapat merasakan bahwa dia menyesal?! Aku tidak peduli.

Sudah cukup kenangan yang indah yang ia berikan, dan sangat cukup pula kenangan indah itu tertutupi oleh fitnahnya selama ini.

Dan ketahui saja, sejak saat itu namaku menjadi tercemar. Tak ada yang mau berteman denganku.

Memang dulu aku tak punya teman selain dia, tapi setidaknya dulu masih ada yang menyapaku dan menatapku seperti seorang manusia.

Sekarang semua orang menatapku layaknya aku ini binatang yang menjijikkan dan tak layak dipandang, lepas dari itu tak ada yang mau mengajakku berbicara.

Bahkan tak ada yang mau berkelompok denganku saat diberi tugas berkelompok oleh guru.

Cukup. Semua itu cukup kusimpan saja, dan akan aku keluarkan saat orang-orang yang sekarang menatapku meminta bantuanku nanti!

Tunggu. aku bukan orang yang seperti ini, aku bukanlah orang yang pendendam. Tapi, yaaa! Inilah aku sekarang aku yang telah berubah Ana yang dulu telah mati. Sekarang Ana bukanlah Ana!.

**
Setelah memberi sambutan, Ana kembali ketempat duduknya dan mengikuti acara kelulusan dengan seksama sesuai interuksi.

**

"Neeng! Yaah si eneng malah melamun taiye! Ada masalah apa neng? Sini cerita sama Pak Bro. Tumben-tumbenan kan eneng dateng lebih pagi walaupun cuma 5 menit lebih awal taiye hahahaha" Canda Pak Bro kepada Lusy.

"Bukan apa-apa kok Pak. Eh iya tadi saya bangunnya kecepetan dari alarm saya Pak, makanya berangkatnya kepagian" Ucap Lusy seraya menunjukkan senyum cengengesannya.

LusyanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang