-Semangkuk Kasih Sayang-

4 1 0
                                    

Ketika mentari mulai berpendar jingga aku merasakan sisa kehangatan sebelum ia benar-benar pergi dan menghilang menuju ufuk barat. Secercah cahaya emas memantul menuju sepasang bola mata coklat yang tengah mengayuh sepeda dengan keringat yang mengalir di tubuhnya. Seseorang yang selalu memeberikanku harapan untuk hidup. Setiap subuh ia membangunkan kami dan selalu menjaga ternak di belakang rumah dan tambak kangkung. Tidak jarang ia berangkat kesiangan kerja hanya untuk mengantarkan kami sekolah. Seorang yang senantiasa ada disaat aku butuh dan senang, aku sempat bertanya begitu tuluskah hati hamba Yang Maha Kuasa ini?

Setelah mengantarkan kami ke sekolah ia akan beranjak menuju pasar dan mulai berjualan sampai matahari mengahantarkannya lagi ke rumah seraya ia tenggelam di ufuk barat. Berjualan pakaian apa adanya dan berperang dengan bau ikan yang terkadang mengganggu pelanggan karena kami tidak memiliki tempat pilihan lain. Badannya yang kini semakin kurus dan rambut putihnya semakin lebat menutup hitam di kepalanya. Nampak jelas keriput di wajahnya dengan lesu menatap rumahnya tercinta karena pendapatan yang begitu tidak memuaskan tetapi harus disyukuri.

Ayah, begitulah aku memanggilnya. Beliaulah yang selalu ada di saat aku sedang bingung dengan semua organisasi dan pelajaranku yang sering kali merontokkan rambutku. Diabetes yang ia idam sejak lama membuatnya terlihat pucat sehingga sering kali aku memintanya untuk meminum obat. Juga asam urat yang membuatnya memiliki sebuah tonjolan yang cukup besar di pergelangan tangannya. Mata sayunya seolah mengatakan ia ingin berhenti namun jiwanya tetap bekobar.

Mentari kini benar-benar fix tenggelam dan akan kembali besok untuk bekerja. Aku kembali masuk ke dalam rumah dan menutupi semua jendela dan pintu. Saat hendak menutup pintu belakang nampak seorang wanita paruh baya sedang mencuci pakaian. Aku memintanya untuk segera masuk dan biarkan aku yang menyelesaikan cuciannya namun ia bersikeras agar ia yang menyelesaikannya. Ia yang telah berjuang dengan setengah mati agar aku hadir di dunia ini.

Keriput dan uban kini seakan menggerogotinya namun ia tetap terlihat muda dan cantik. Terkadang kulitnya kusam dan kering apalagi jika kemarau datang menjemput keringat semakin bertambah seolah beradu dengan air cucian.

Mama yang selalu mendengarkan cerita konyolku di asrama dan memiliki ikatan batin yang kuat terhadapku terutama ketika aku sedang berada dalam masalah. Aku sungguh sangat menyayanginya bahkan aku rela memberikan seluruh hidupku untuknya.

Tidak pernah ku tahu dan aku juga tidak pernah memberi tahunya mengenai masalahku di asrama namun ia kerap kali menelponku dan menanyakan langsung masalahku di asrama. Aku senantiasa terharu dengannya, rasanya selalu ingin ada di dekatnya namun aku juga harus berjuang di tanah perantauan untuk kesejahteraan di masa mendatang.

Rambut hitam ikalnya yang begitu berkilau terselip oleh segelintir rambut putih yang sering membuat kulit kepalanya gatal. Ketika ia merasa gatal, ia akan memintaku untuk mencabutkan rambut putih pertanda usianya yang semakin senja.

" Ma, ayo masuk besok biar saya yang melanjutkan cucian itu. " pintaku pada mama saat azan telah berkumandang.

" Tanggung nak, biar mama selesaikan dulu. " jawabnya dikala peluh itu suduh berada di sudut matanya.

Aku meninggikan nafasku, berharap aku dapat terus disini membantu dan meringankan beban mereka. Saat azan telah selesai berkumandang, mama masuk dan aku segera melihatnya solat dan saat itu aku beranjak untuk mengepel rumahku.

Dalam bayangku terlintas sebuah masa depan yang cerah yang harus aku gapai. Mungkin memang tidak mudah dan juga tidak singkat akan tetapi aku ingin senantiasa mencoba yang terbaik yang aku bisa. Aku ingin sekali menjadi sebuah bintang indah yang dapat dilihat oleh keluargaku.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 08, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Don't Leave MeWhere stories live. Discover now