"Adimas Fabian?"
"Izin Bu," sahut Fatimah wakil ketua kelas kami.
"Izin apa?"
"Dia izin nemenin ibu dia yang sakit. Surat ada kok di meja ibu."
"Ohiya."
Kala mendapatkan kabar Adimas yang menemani bundanya, jantungku berdegup tak normal. Aku masih ingat apa yang ibu sampaikan padaku, bunda Adimas sudah cukup baikkan-- tinggal menunggu kabar diperbolehkan untuk rawat rumah. Enggan berpikir yang tidak-tidak, namun karena sudah mendapat kabar alasan Adimas tidak masuk sekolah karena beliau, perasaanku terenyuh mengingat sosok Adimas yang begitu kuat. Aku sendiri tak dapat membayangkan jika berada di posisi Adimas.
Sembari menghela napas, kuangkat buku tulis serta paket menuju bangku Aidan. Sebelum duduk, aku bertanya pada anak laki-laki itu, "gue boleh duduk di sini gak? Gantiin Adimas aja."
Aidan mengangguk saja. Duduk di bangku Adimas, lantas mengingatkanku pada anak itu. Tak melihatnya sehari sepanjang pembelajaran, rasanya kelas terasa kosong tanpa kehadirannya. Fatimah yang biasanya akan lebih santai tanpa harus mengembalikkan jurnal kehadiran guru di tiap harinya saat pembelajaran berakhir, kini harus beralih menggantikan tugas Adimas.
Aku menidurkan wajah di atas lipatan tangan memandang wajah Aidan dari bawah. Senyumku terpatri sadar jika kali ini Aidan menjadi sibuk hanya karena meringkas salah satu bab yang kami pelajari.
Anak laki-laki itu tidak merasa terganggu lagipula aku berani beristirahat sejenak sebab telah menyelesaikan tugasku sembari menunggu yang lain.
Membalikkan wajah ke arah kanan, Aidan pun menyahut, "lo temenan sama Adimas sejak kapan?" Mendengarnya, seketika itu juga aku mengangkat wajah terlonjak kaget.
"Maksudnya?"
"Lo berdua emang dekat, kan?"
Aku mengangguk samar penuh ragu-ragu. "Iya ... kita emang temenan. Sejak SD."
Aku melanjut, "sebenernya kita temenan sampe SD doang. Sebelum lulus, dia udah pindah ke Malang ngikutin nyokap bokap dia. Dan akhirnya baru ngeliat dia lagi sekarang."
"Tau dari mana kita temenan? Dari Adimas?" Mata kami bertemu dan Aidan menggeleng saat itu lantas melanjutkan kegiatannya.
"Gue paham. Lo kan anaknya gak banyak ngomong jadi tau karna kerjaan lo cuman suka merhatiin orang lain." Aku tersenyum tipis. "Bagus juga ya jadi anak pendiem?"
"Lo cerewet juga," komentar Aidan.
Aku mendengus meladeni komentar Aidan yang tidak mengejekku hanya terkesan sebab mungkin, di awal aku masuk, aku berhasil menjadi sosok yang bukan diriku untuk sementara. Sehingga dia berpikir jika aku salah satu darinya. "Gue berhasil dong."
"Gak, lo gagal." Aku tertawa pelan tak segan aku memperhatikan Aidan di tengah kesibukannya.
"Apa baiknya gue diem aja?"
Aidan menggeleng tak melihatku. "Gak usah jadi diri orang lain."
"Oke." Aku mengulum senyum. "Apa lo jadi diri orang lain juga?"
"Menurut lo?" Aku menggeleng. "Enggak."
Aku mendeham memperbaiki nada suaraku. "Gue pindah karena punya masalah sebelumnya. Dan gue gak jadi diri orang lain cuman hati-hati aja dari awal."
Enggan Aidan menanggapi sekalipun tak berminat berkomentar, aku pun menidurkan wajah di atas lengan memutuskan perbincangan kami.
Namun ternyata, Aidan menyahut, "di sini, lo gak akan nemuin anak kayak di Pelita Kartini."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bully and The Victim
Подростковая литератураAda takdir yang mampu diubah oleh manusia, usaha untuk memperbaiki dirinya dan yang diimpikannya. Bagaimana ketika dulu ia yang terburuk kini menjadi yang terbaik. Bagaimana ketika mimpinya yang cerah tak secerah milikmu. Dan bagaimana ketika ia...