take a step

5.2K 458 2
                                    

TAMA

Ponsel yang gue taruh di samping gue tiba-tiba berbunyi. Nama Rio terpampang di layar. Ada apa ya?

"Halo, Yo... lagi di rumah bokap, kenapa? Eh... Sheila kenapa? Yaudah, sebentar lagi gue ke sana ya...,"

Ibu mengerutkan kening setelah gue memutus sambungan telepon, "Ada apa, Le?"

Gue menggeleng pelan, "Aku juga nggak tau pasti, Bu. Rio cuma minta aku kalau bisa ke apartemen Sheila sekarang. Kayaknya mereka lagi ada masalah. Aku ijin pamit dulu, ya...,"

***

Setelah mendapatkan restu Bapak, gue kembali ke apartemen dan langsung menuju ke unit Sheila. Gue menekan bel pintu unit Sheila karena gue tau ada Rio di dalam. Tidak berapa lama pintu terbuka dan gue terkejut melihat Chika yang ada di balik pintu.

"Lho ada kamu juga, Chik? Rio mana? Sheila kenapa?"

Chika menoleh ke dalam sesaat, "Masuk dulu, Mas...," gue mengikuti langkah Chika masuk ke dalam rumah dan menemukan Rio sedang menyeduh teh di pantry. Tapi gue gagal menemukan keberadaan Sheila.

"Yo...?"

"Sheila di kamar... Duduk dulu, Tam...," gue menarik salah satu kursi di ruang makan dan duduk menghadap Rio dan Chika. Mereka berdua saling berpandangan sebelum akhirnya Rio membuka suara dan menceritakan apa yang baru saja terjadi.

Gue menyenderkan punggung gue ke kursi dan memijat kening setelah Rio menyelesaikan ceritanya. Kenapa barengan gini sih masalahnya?

"Tam... intinya selain Ayah, kami merestui kalian berdua. Dan menurut gue, Ayah cuma takut kehilangan anak perempuannya, karena Sheila justru baru-baru ini aja kan dekat lagi sama Ayah, semenjak sama lo to be honest," tutur Rio tulus.

"Iya, Mas... tapi Mbak Sheila masih terluka banget sama omongan Ayah tadi. Dari tadi kita udah usaha nenangin dia, tapi anaknya masih nangis terus di kamar... kayaknya cuma kamu yang dia butuhin sekarang...," ujar Chika.

"Chika bener, Tam... dia butuhnya lo, bukan gue, bukan Chika...," ucap Rio memberi jeda, "kalau lo nggak keberatan, gue sama Chika balik dulu ya, Tam? Gue percayain adek gue sama lo..., ini teh manis gue bikinin buat kalian berdua biar enakan..., kalau butuh apa-apa please let us know ya...,"

SHEILA

Entah sudah berapa lama aku menangis di sudut kamar ini, sampai aku mendengar suara ketukan di pintu kamarku. Pikiranku kalut sejak tadi siang Ayah dengan teganya menuduh aku dihamili Tama.

Aku masih belum bergeming dari tempatku saat pintu kamarku terbuka perlahan dan ada Mas Rio dan Chika di sana. Mereka perlahan menghampiriku. Mas Rio mengelus puncak kepalaku lembut sementara Chika menggenggam tanganku, "Kita pulang dulu ya, Mbak... udahan dong nangisnya...," ujar Chika.

"Kamu nggak akan sendirian kok, Mas tau siapa yang kamu butuh... kami pulang dulu ya... telpon Mas kalau butuh apa-apa," ucapnya sambil tersenyum ke arah pintu. Tama memunculkan kepalanya dari balik pintu, menunggu sampai Mas Rio dan Chika beranjak keluar. Mas Rio menepuk pundak Tama pelan sebelum menghilang dari pandanganku.

"Sheil...," panggil Tama tetap lembut meskipun wajahnya menunjukkan ekspresi khawatir. Aku hanya menatapnya nanar dengan air mata masih mengalir. Tama yang menyadari sehancur apa kondisiku berjalan dengan langkah lebar, duduk di sisiku, dan langsung memelukku erat, "I'm here, sayang...," tangisku kembali pecah di pelukan Tama.

"Ayah ternyata berat kalau aku nikah duluan dari Mas Rio..., Ayah nuduh aku udah hamil makanya kita buru-buru mau nikah...," ucapku dengan suara setengah terisak setelah tangisku mereda, "Tiara tiba-tiba muncul di hidup kamu, kita tuh emang nggak jodoh apa gimana sih, Yang...,"

"Ssssh... jangan ngomong gitu ah..., kamu tenang dulu... aku ambilin minum dulu ya...," ujar Tama sambil perlahan melepaskan pelukannya dan mengambilkan teh yang dibuatkan oleh Rio tadi di pantry.

Aku meneguk teh manis hangat yang diambilkan Tama. Ia menyeka air mataku yang masih tersisa dengan tissue.

"Aku baru aja dari rumah Bapak... aku bilang sama Bapak, kalau aku yang akan menyelesaikan masalah ini sama Tiara dan Pakde Pur," Tama memberi jeda pada ucapannya karena aku memberinya tatapan tidak percaya, "tapi... aku nggak bisa ngejalanin ini sendirian... aku butuh support kamu, Sayang...,"

Aku terdiam mendengar kalimat Tama. Aku sadar yang dia maksud adalah untuk percaya dia sepenuhnya, dan tidak larut dalam pikiran negatif yang kuciptakan sendiri.

"Tam... atau kita... kamu hamilin aku aja sekalian supaya kita bisa nikah duluan? Toh Ayah sudah mengira begitu...," tanyaku dengan ekspresi penuh harap. Entah dari mana aku mendapatkan ide ini. Mungkin aku sudah terlalu putus asa, terlalu takut kehilangan Tama.

"Sayang...," ucap Tama tetap dengan nada lembut seraya merengkuhku kembali ke dalam pelukannya, "sesayang-sayangnya aku sama kamu, menghamili kamu supaya dapat restu orang tua nggak pernah terlintas di pikiran aku. Kita sama-sama tau kalau hal ini adalah yang paling kamu jaga dalam hubungan kita, dan aku sepaham dengan itu. Kamu sabar ya... setelah kita selesaikan masalah Tiara, baru kita ketemu ayah kamu sama Rio ya..., satu per satu kita beresin bareng-bareng... aku percaya kita kuat kok...," ujar Tama melanjutkan ucapannya.

Aku benar-benar bersyukur punya Tama yang dengan caranya sendiri selalu bisa meredam semua kekhawatiran yang muncul di diriku. Terlebih lagi dia selalu menepati ucapannya, sehingga membuatku tak lagi punya alasan untuk meragu.

***

"Kusut amat itu muka dari pagi, Sis?" tanya Rhea saat kami sedang makan siang di kantin kantor keesokan harinya.

"Ruwet, Rhe..., pusing gue...," jawabku sekenanya.

"Tama kenapa?" aku mendengus pelan mendengar pertanyaaan Rhea.

"Bukan Tama...," lalu cerita yang memenuhi pikiranku belakangan ini mengalir dengan sendirinya. Sepanjang aku mengoceh, Rhea hanya bisa terdiam sambil sesekali mengelus punggungku.

"Tapi Tama bener sih, sis, as long as you're in this together, kalian akan bisa melalui ini. Saling percaya aja, komunikasinya dikencengin, lo nya juga kurang-kurangin overthinking-nya yaa..., Tama pasti tambah kepikiran ngeliat lo-nya kayai gini... nggak kasian? Kalian berdua bisa sakit lho ini lama-lama,"

"Berat banget rasanya, Rhe..., guenya insecure banget...," keluhku sambil memijat kening.

"Katanya, orang kalau mau nikah itu memang ada aja cobaannya. Di situ ujiannya, kalian bisa lewatin itu atau nggak... Let me know if you need anything ya, Sheil..., dari pertama gue tau lo deket sama Tama, gue punya feeling kalian sejodoh itu..., kalau orang lain aja bisa percaya, harusnya kalian lebih yakin... listen to your heart...," tutur sahabatku sambil menggenggam tanganku.

Futsal Love [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang