Tersebutlah seorang pemuda sakti yang tinggal di desa Medang Kawit. Aji Saka namanya. Ia memiliki dua pembantu yang sangat setia. Dora dan Sembada nama pasangan.
Suatu hari Aji Saka berniat ke wilayah Medang Kamulan. Ia berbicara tentang Raja Medang Kamulan yang bernama Prabu Dewata Cengkar yang sangat jahat. Prabu Dewata Cengkar gemar memangsa manusia. Setiap hari ia harus makan daging manusia. Patih Medang Kamulan yang bernama Jugul Muda harus sibuk mencari manusia untuk dipersembahkan kepada rajanya yang sangat kejam itu. Rakyat Medang Kamulan sangat menentang dan mereka memilih untuk mengungsi dari Medang Kamulan dibandingkan harus menjadi santapan Prabu Dewata Cengkar. Aji Saka berniat membatalkan kekejaman penguasa kerajaan Medang Kamulan yang meminta manusia itu selama-Iamanya.
Dalam perjalanan menuju kerajaan Medang Kamulan, Aji Saka dan dua pembantunya tiba di daerah perburuan Kendeng. Aji Saka meminta Sembada untuk tinggal di daerah itu dan menyerahkan keris saktinya. Katanya,
"Ninggalake keris pusaka kanggo sampeyan. Aja tinggalake keris suci marang sapa wae, nanging mung kanggo aku! Aku bakal mbukak kerisku dhewe." Sembada mengiyakan pesan Aji Saka.
Aji Saka bersama Dora melanjutkan perjalanan. Di tempat, Aji Saka meminta Dora untuk tinggal karena ia akan ke kerajaan Medang Kamulan seorang diri.
Syandan, Aji Saka bertemu dengan Patih Jugul Muda yang tampak rumit karena tidak mendapatkan manusia yang bisa dipersembahkan untuk Prabu Dewata Cengkar.
"Yen iki sing dingendikakake, tinggalake aku menyang ratumu, ya Patih Jugul Muda, ".
Patih Jugul Muda sangat keheranan mendengar ucapan Aji Saka. Jika orang lain akan lari terbirit-birit jika diperlukan korban demi kepuasan nafsu Prabu Dewata Cengkar itu, Aji Saka malah menawarkan dirinya!
Patih Jugul Muda lantas membawa Aji Saka ke istana kerajaan Medang Kamulan. Berbeda dengan orang lain yang sangat rumit yang dihadapkan pada Prabu Dewata Cengkar, Aji Saka tampak tenang. Sama sekali ia tidak menunjukkan kesulitan. Katanya di hadapan Raja Medang Kamulan yang sangat kejam itu, "Sadurunge mangan Masyarakat, mula dakkandhani dhisik."
"Penyediaan?" Prabu Dewata Cengkar melototkan kedua bola matanya, "Kahanan apa sing kudu dihindari?"
"Aku njaluk imbangan ing tanah sing amba kaya serban sing dakgunakake," jawab Aji Saka.
Tak terkirakan gembiranya hati Prabu Dewata Cengkar mendengarkan syarat yang diminta Aji Saka. Syarat yang sangat mudah menurutnya. Hanya dengan memberikan ketidakseimbangan tanah seluas yang disediakan Aji Saka ia telah dapat memangsa Aji Saka. Maka katanya kemudian dengan wajah berseri-seri, "Aku bakal ngrampungake panyuwunan sampeyan! Cepet lan takon kanggo mbukak serban lan judhul. Aku lara banget!"
Aji Saka Mulai surbannya dan mulai menggelarnya. Sangat mengherankan, surban itu ternyata sangat panjang. Surban seolah-olah tidak putus-putusnya digelar hingga wilayah Kerajaan Medang Kamulan pun kurang panjang. Surban bagai terus memanjang dari istana kerajaan, gunung, sungai, hutan, dan bahkan sampai ke Iembah- lembah. Semua tidak menyangkal jika surban yang dikenakan Aji Saka itu panjangnya lagi luas. Begitu pula dengan Prabu Dewata Cengkar tidak menyangkanya.
Sesuai kesepakatan yang telah menyetujui Prabu Dewata Cengkar yang akan menyerahkan tanah seluas yang diminta Aji Saka, itu berarti wilayah kekuasaan Prabu Dewata Cengkar diserahkan kepada Aji Saka. Prabu Dewata Cengkar sangat murka. Ia langsung mengumpulkan Aji Saka untuk dimangsanya. Namun, Aji Saka bukan pemuda sembarangan. Ia bisa menghindari serangan tiba-tiba Prabu Dewata Cengkar itu. Memperbaiki, Prabu Dewata Cengkar tidak berdaya kompilasi terlilit surban Aji Saka. Meski memiliki meronta-ronta sekuat tenaga, Prabu Dewata Cengkar tidak dapat melepaskan diri dari lilitan surban. Semakin keras ia berhasil melepaskan diri, semakin kuat ia terbelit surban Aji Saka. Dengan kesaktiannya, Aji Saka mampu melemparkan tubuh Prabu Dewata Cengkar ke Laut Selatan.
Tak terkirakan kegembiraan rakyat Medang Kamulan setelah mendengar kematian Prabu Dewata Cengkar. Berbondong-bondong mereka kembali ke desa mereka masing-masing. Segenap rakyat pun akhirnya ditunjuk Aji Saka sebagai pemimpin mereka. Maka, Aji Saka lantas bertakhta sebagai Raja Medang Kamulan menggantikan Prabu Dewata Cengkar. Kian senang dan berbahagia rakyat Medang Kamulan mendapati Aji Saka meminta dengan adil dan bijaksana.
Pada suatu hari Aji Saka teringat pada keris sakti pusakanya yang masih tersisanya di daratan Kendeng yang dijaga Sembada. Ia lantas menerima Dora untuk mengambil keris pusakanya itu.
Menerimalah Doa memenuhi permintaan Aji Saka. Bertemulah ia dengan sahabatnya yang masih tetap setia di Tebing Kendeng. Setelah berbincang-bincang melepas kerinduan, Dora menyatakan ingin datangnya. "Aku diutus gustine kanggo njupuk keris pusaka sing ditinggal dheweke kanggo sampeyan."
Sembada sama sekali tidak curiga mendengarkan ucapan Dora. Namun, ia tidak bisa mengundang keris pusaka milik Aji Saka itu kepada sahabat yang menginginkannya.
"Nyuwun panjaluk izin saka Dora, kanca, gusti kita nate ngandhani supaya ora nyerah keris pusaka marang sapa wae! Aku mrentahake supaya ngirim keris pusaka".
"Sembada kancaku sing tak tresnani, apa sampeyan ngajak aku? Amarga Dewa-Dewa sing Agung, aku pancen nuli nindakake dhawuhe gusti!" katakan Dora untuk meyakinkan.
Namun, tetap juga Sembada tidak berkenan memberikan keris pusaka milik Aji Saka itu. Ia tetap meminta hanya akan menyerahkan keris pusaka itu kepada Aji Saka sesuai amanat yang diterima. Sementara Dora juga tetap meminta keris pusaka Aji Saka sesuai permintaan yang diterima. Mereka saling mendukung hingga akhirnya terjadilah perselisihan di antara mereka. Perselisihan itu terus meruncing hingga akhirnya terjadilah pertarungan di antara dua sahabat dekat itu.
Syandan Aji Saka terus menunggu di istana Kerajaan Medang Kamulan. Benar-benar heran dia karena Dora yang diutusnya belum juga kembali. Menurutnya, Dora telah kembali. Karena keheranan dan penasarannya, Aji Saka pun mulai menuju menuju Kendeng.
Tak terkirakan terperanjatnya Aji Saka kompilasi tiba di tungku Kendenga. Ia mendapati dua pembantu setianya itu telah mendorong karena pusaka masing-masing. Mengertilah Aji Saka jika kedua pembantunya setianya yang telah dipertaruhkan demi yang menjamin yang diberikannya. Sembada akan mati-matian meminta amanatnya untuk tidak memberikan keris pusaka titipannya kepada siapa pun selain itu sendiri, sementara Dora akan mati-matian juga meminta keris pusaka yang sesuai permintaannya.
Aji Saka sangat terhormat atas menunggunya dua pembantu setianya itu. Benar-benar ia terharu dan memberikan kehormatan pada Sembada dan Dora yang sangat setia. Harap rela mati demi amanat dan perintah yang mereka emban. Sebagai wujud penghormatannya atas kesetiaan dua pembantunya, Aji Saka lantas menghargai huruf-huruf di atas batu. Tulisan itu adalah:
Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Se Ta Wa La.
Pa Dhaja Ya Nya Ma Ga Ba Tha Ngal.(Makna tulisan itu adalah Ada Perutusan, (utusan itu) saling bertengkar, (menghubungkan) sama-sama sakti, (gabungan pun) mati bersama.)
Tulisan Aji Saka yang kemudian dikenal dengan nama Carakan dan menjadi mula huruf Jawa yang hingga kini juga menjadi tulisan dan juga bacaan orang-orang Jawa.
Sumber Cerita : http://nulis.co.id/?p=5416
Maaf jika ada kesalan dalam penulisan dan bahasa yang digunakan . Karna keterbatasan penulis menggunakan bahasa jawa😅.
VOTE jika kalian suka cerita ini, supaya penulis semangat dalam menulis cerita ini. Dan tinggal komentar anda, karna suara anda sangat membantu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alkisah Tanah Jawa
Gizem / GerilimSebuah kisah yang mengangkat asal-usul tahah Jawa, mitologi, mitos, budaya, dan keyakinan masyarakat Jawa yang syarat akan misteri.