Aku punya segala atribut seorang anak yang menjadi impian kebanyakan orangtua zaman sekarang: sertifikat dokter umum, mobil, suami satu profesi, serta dua orang anak dengan gender sepasang. Hanya satu hal yang membuatku masih terkesan minus dibanding kedua kakakku: rumah pribadi. Sampai detik ini, kuliah spesialis belum usai dan tiga orang anggota keluarga kecilku masih menumpang di rumah orangtua. Kadang, meskipun aku tak kuasa menahan risih, harus kuakui kedua orang kakakku punya keberanian dan kesabaran lebih dalam menata keluarga dan rumah mereka masing-masing.
Kesabaran itu memang perkara yang betul-betul ghaib, sampai-sampai aku heran bagaimana mereka berdua masing-masing bisa tahan memiliki anak-anak sulung yang cukup nakal. Aku bukan hendak mendiskreditkan anak sulung, karena kakak sulungku, Yudha, adalah seorang laki-laki yang selalu perhatian pada keluarga. Hanya saja, kesamaan antara Revan, putra Yudha, dengan Bastam, putra kakak perempuanku,Rita. Mereka adalah anak remaja tanggung yang tak kenal etika saat makan dan begitu mudahnya melemparkan barang-barang saat sedang emosi, entah milik siapapun. Beberapa kali suamiku gusar karena menangkap basah Bastam sedang menghabiskan donat, yang semestinya dijatah untuk kami bertiga. Di lain hari, tak cuma sekali kudengar bocah kecilku, Mulkan, mengadu soal Revan yang sering merusak mainan-mainan balita miliknya. Konflik antara anak kecil dan remaja yang masih bermental anak kecil itu mungkin biasa, tapi kalau terjadi setiap hari, entah aku harus bagaimana supaya bisa berkonsentrasi untuk studiku. Lebih-lebih, bagaimana jika Mulkan pun jadi ikut kebiasaan mereka berdua, yang kadang menghabiskan kesabaranku?
Belum lama ini, Bastam lagi-lagi berulah. Hanya saja, ulahnya sedikit diplomatis. Undangan pembagian rapornya sudah dibagikan dua minggu sebelum hari pelaksanaan, dia malah menunggu ayah dan ibunya dinas ke luar kota lalu bermulut manis agar tanda tanganku tercantum di surat undangan pembagian rapor.
"Ya sudah, Tante percaya,....ini betul nilai kamu segini?" kataku sambil bersungut-sungut melihat barisan angka merah menyala di beberapa mata pelajaran eksakta-nya.
"I...i-ya, Tante Risma...betul nilai saya segitu. Mohon maaf, Tante." katanya sambil tertawa gugup.
Tanda tangan kububuhkan di lembar surat undangan yang diminta wali kelasnya untuk segera dikumpulkan. Aku tak habis pikir, mengapa anak 12 tahun ini hanya berani di meja makan, tapi tak berdaya menanggulangi kebakaran di rapornya? Tapi ya sudahlah, gurunya pun sudah kenal siapa bapak dan ibu Bastam. Jadi, kalaupun ada panggilan untuk pertemuan orang tua, sudah barang tentu Mbak Rita dan Mas Pandu yang akan dihubungi langsung tanpa melalui aku terlebih dahulu.
Meskipun Ayahku membagi perhatian yang hampir serupa untuk semua cucunya, ibuku, memang sangat menyayangi Bastam dan Revan, melebihi Hafshah dan Mulkan. Tapi, lagi-lagi aku tak sampai hati untuk mengomel berlebihan pada kedua bocah lelaki yang hendak melepas masa sekolah dasarnya itu. Aku masih ingat, bagaimana ibuku beberapa kali tak kuasa meluapkan tangis, saat melihat Bastam pernah meregang nyawa akibat penyakit yang memaksanya membutuhkan transfusi darah cukup banyak, dan bagaimana kakak sulungku, Yandi, sangat panik ketika Revan mengalami kejang-kejang yang membuat mulut anak lelaki itu berbusa hingga memutih matanya. Maka, otakku pun kadang mendorongku berpikir serampangan:, apakah Hafshah dan Mulkan harus mengalami kejadian serupa, agar mereka pun mendapatkan perhatian lebih dari ibuku?
"Rismanita, Risma, kau sedang di dalam?" ibuku mengetuk pintu kamarku, membuyarkan lamunan tentang semua orang.
"Ya, Bu, silakan masuk. Ada apa?"
"Mungkin untuk dua atau tiga hari kedepan, Bastam akan diungsikan kesini. Rita dan Pandu sedang kelabakan karena Risdan sedang muntaber akut. Baru siang tadi Risdan masuk UGD. Nanti kamu bantu ibu siapkan makanan dan kamar buatnya, ya. Rita sudah bilang sama Ibu, dia siap transfer semua uang untuk keperluan Bastam. "
"Risdan muntaber, Bu? Bagaimana kalau kita jenguk mereka sekarang?"
"Untuk hari ini, biar ibu saja yang kesana . Kamu fokus saja urus Bastam."
Aku pun mengiyakan permintaan ibu, meskipun sedikit tak rela, sambil melihatnya begitu rusuh mempersiapkan pakaian dan perlengkapan menuju ke rumah sakit. Bastam, bocah itu hanya terlihat asyik dengan permainan game playstation-nya. Tidak tampak mukanya berubah panik ataupun cemas. Dasar anak-anak, memang mereka tidak punya beban. Apalagi, Bastam yang menurutku lebih kekanakan dari sekedar anak-anak. Beban terberatnya hanya soal menyalakan playstation, baca komik, menonton TV, makan, lalu tidur. Belajarpun hanya bila ada PR dan ulangan. Sejak ia kecil, seringkali aku menjadi ibu ketiga baginya, kalau Ibu dan neneknya sudah sangat kerepotan. Tak jarang, akupun jengkel karena ia terlalu sering berpikir tanpa bertindak. Tahunya cuma main.
"Tok, tok."
"Ya, masuk."
"Tante, ini Bastam."
"Kamu, Bastam? Ada apa?"
"Tante, boleh tidak nanti aku ikut ke acara tahun baru? Kayanya rame, Tante."
"Acara tahun baru? Kamu kan tahu, nanti malam itu khusus antar dokter. Nanti malam kamu main saja sama Hafshah dan Mulkan. Nanti kamu kedinginan, kalau ikut acara tante sampai pagi. "
"Nah, Tante. Karena itu pertemuan antar dokter, aku jadi pengen tahu, gimana kalau dokter ketemuan bikin resolusi. Kan katanya kalau tahun baru kita musti bikin resolusi."
"Resolusi? Kamu tahu dari mana istilah itu?"
"Kan Bastam biasa nonton TV, Tante Risma. Bastam juga ingin bikin resolusi, tante".
Resolusi, resolusi, resolusi. Kata itu terus tertancap kuat di benak Bastam. Keponakanku yang terus terpapar kata-kata itu dari sajian iklan di televisi tentang tahun baru, lalu membuatku tertegun heran.
"Kamu gak ingin nyusul mama atau papa ke rumah sakit dulu, Bastam? Kasihan adikmu, perlu dijenguk tuh. "
"Nanti malam setelah jenguk, Bastam mau ikut tante boleh ya. Tante nanti tungguin sampai Bastam pulang, yaa, Tante, yaa. Bastam mau ketemu para dokter"
"Tanya nenek dulu, Bastam. Boleh atau tidaknya. Kalau memang dibolehkan, kamu mau jam berapa pun pulang dari rumah sakit, Tante pasti tungguin."
Bastam pun keluar kamarku, langsung menghampiri ibuku yang sedang mencuci muka sambil mengelap wastafel di depan WC Ruang Keluarga. Aku yang berdiri di punggung pintu, diam-diam mengamati apa yang Bastam dan ibu bicarakan. Kulihat alis ibu sedikit naik, kemudian mengangguk. Lalu Bastam pun naik ke lantai dua, tampaknya ia hendak berkemas.
"Bu, jadi ibu setuju Bastam ikut ke pesta tahun baru? Saya gak bisa jamin ada anak-anak sepantaran dia di sana. Nanti dia malah asyik sendiri, saya susah jagain karena mau ketemu dosen dan teman"
"Ris, sebenarnya Ibu agak ragu dia mau main malam-malam. Tapi, pas jaman dulu kita ngelarang dia main keluar selama bertahun-tahun, ternyata malah imunnya turun. Kalaupun dia gak main sama Tantenya, mungkin suatu saat dia pun akan main sama teman-temannya, mungkin lebih larut malam. Mungkin bagi sebagian orang ini aneh, Risma, untuk mengizinkan seorang anak SMP ikut acara tahun baru. Maka, ini peluang kita sebagai keluarga, untuk menunjukkan acara tahun baru yang bagus seperti apa pada anak-anak. Bisa jadi, tahun depan Ibu akan ajak yang Rita, lain ikut acara pengajian sampai ganti hari, supaya kegiatan tahun baru lebih bermanfaat."
Akupun tak kuasa menyanggah pendapat ibu. Memang, ibu selalu berusaha menjadi ibu kedua bagi para cucunya. Entah senakal atau seusil apapun mereka. Bastam memang sempat bilang padaku tempo hari silam, bahwa besar keinginannya untuk turut serta meramaikan pesta bakar kambing yang akan diadakan di rumah guru besarku, kendati adiknya saat itu sudah mulai terkena demam. Aku pikir dia hanya bercanda, karena anak itu biasa berkelakar dan bercanda tanpa tahu situasi. Aku penasaran, resolusi macam apa yang mau bocah itu laksanakan? Semoga saja bukan tentang bertambahnya koleksi game di rumah yang sudah memenuhi sekujur lemari TV, sampai-sampai aku bingung dimana mau menaruh buku diktat.
Aku masih ingat, betapa cueknya Bastam terhadap Mbak Rita, ibunya sendiri. Sampai-sampai, demi nafsu bermainnya, kakakku harus mengantar dia belanja disaat tubuh sedang meriang. Heran, mengapa lagi-lagi ibuku membolehkan dia ikut denganku? Apakah aku harus kembali jadi anak supaya saranku sebagai anaknya akan turut didengar? Tapi, ya sudahlah. Aku mungkin harus cukup bersabar untuk bisa memahami maksudnya Ibu. Bagaimanapun, selama ini apa yang sukses kuperoleh adalah berkat beliau beserta do'a-do'anya.
YOU ARE READING
Pukul 00:01 Tahun 2001
Short StoryKisah ini mungkin dialami sebagian besar bibi terhadap keponakannya. Mungkin juga sebagian besar wanita beranak terhadap anak kecil. Begitu juga dengan Risma, seorang sarjana kedokteran yang masih menumpang tinggal di rumah Ibunya bersama suami dan...