Rania menguncir rambutnya tinggi, berlari ke setiap koridor sekolah. Celingak-celinguk sesekali bola matanya menyusuri setiap ruangan.
Langkahnya terhenti melihat nama tempat tersebut 'Bimbingan Konseling'
"Ngapain di sini?"
Rania terlonjak kaget, hampir saja jantungnya copot.
"Eh, maaf." Rania memundurkan langkahnya, mempersilahkan guru yang akan masuk.
"Kalau mau masuk, masuk aja. Atau lagi nungguin orang?" Guru, yang menyandang guru terganteng itu tersenyum, dia Pak Adi. Guru olahraga yang 'katanya' kece.
"Owh, nggak. Ra, cuma mau ketemu Arin."
Pak Adi tersenyum lalu masuk keruangan BK. Belum lama Arin menunggu, datang Arin dengan rambut yang kusut. Dengan seragam yang tidak rapi.
"Kamu, nggak kenapa-napa Rin?"
"Kenapa-napa, lah. Pake ditanya."
Ranai merapikan tatanan rambut Arin, entah perbuatan apa yang membuat Arin masuk keruangan yang katanya 'horor' ini.
Rania menggandeng tangan Arin, menuju kursi didepan ruangan BK.
"Emang, gimana sih ceritanya? Kok, Ra nggak tahu?"
Arin menarik nafas, bersiap-siap bercerita.
"Lo, pasti kenal Monika, 'kan?"
Rania mengangguk, bagaimana ia lupa? Cewek sebangkunya saat kelas XI yang dulu pernah membuat Rania, takut.
"Dia, nyari gara-gara sama gue. Waktu gue dihukum bersihin toilet. Dia nggak sengaja kepleset, dia nuduh gue, pake acara bilang gue nggak becus. Ya gue lawanlah."
Arin nampak wajahnya memerah menahan amarah. Rania hanya bisa mengelus pundak Arin, tanpa bisa mencari solusi.
Seseorang yang dulu pernah ia hindari.
"Tapi, kamu jadi dihukum dua kali, 'kan?"
"Nggak, ini aja bentar lagi. Mau pulang."
"Tapi, tetap kena hukuman, 'kan?"
Arin menghela nafas, lalu mengangguk pasrah.
Pintu BK terbuka, menampilkan gadis berambut pendek dengan baju sama lusuhnya dengan Arin. Dia, Monika Laureen. Gadis pendiam, seperti air yang tenang namun dapat menghanyutkan.
Juga, gadis yang pernah membuat Rania takut sekaligus cemburu melihat dia.
"Lihat aja, tampang songongnya!"
"Udah, yuk ke kelas. Bentar lagi juga mau pulang."
Arin mengangguk, membersihkan roknya. Lalu pergi bersama Rania.
***
Rania melihat, seorang gadis yang jarinya tengah menari-nari di hamparan kertas putih.
"Nggak akan ada yang percaya sama Ra."
Ingatan Rania kembali ke satu tahun yang lalu.
Flashback on
"Rangkuman, kamu udah selesai. Ra?"
Rania mengangguk, lalu mempersilahkan Monik untuk duduk disampingnya.
"Pinjam, sembentar."
Rania segera mengambil buku catatan di tas lalu ia berikan ke Monik.
"Kamu udah belajar, kan? Ingat hari ini ulangan lho."
Monik mengangguk dengan semangat. "Ra, jadi iri lihat kamu. Minta tips biar pintar kaya kamu dong."
"Belajar."
Rania mengerucutkan bibirnya, Monik hanya terkekeh dengan menampakkan dua jari telunjuk dan tengah.
"Ra, aja sampai pusing lihat angka."
"Kamu juga pintar kan, dapat rangking."
"Tapi, dua."
Perbincangan mereka terhenti, melihat seorang pengawas membuka pintu kelas. Lalu membagikan lembar jawab dan soal.
Semua murid terlihat tegang, tapi tidak bagi dua sekawan itu. Fokus dalam mengerjakan, tidak ada perbincangan hanya menulis dan mengasah otak.
Hingga ...
"Ini apa?" Ucap pengawas dengan tegas. Rania tersentak, lalu menengok kearah yang ditunjukkan pengawas.
"Kamu, mencontek catatan?" Ibu guru itu menuduh Rania
"Ti---tidak, Buk."
Rania menatap Monik yang hanya diam menatap datar.
"Itu, tidak mungkin punya saya, Buk," ujarnya datar.
Rania gelagapan, sumpah dia tidak pernah mencontek. Jangankan mencontek catatan, menanyakan penjelasan kepada teman saja tidak pernah.
Bisikan-bisikan terdengar, menatap Rania tidak percaya.
Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar. Rania tidak percaya dengan orang yang sudah ia anggap sahabat bahkan saudara.
Saat itu, hanya Arfa yang ia percaya.
***
"Maksud kamu apa, sih Mon?"Rania menangis, membiarkan pipinya basah oleh buliran air. Saat ini, Rania membawa Monik ke gudang sekolah.
"Apa?"
"Jangan, pura-pura sama Ra."
Monik terdiam, melihat Rania yang rapuh.
"Kamu kok nuduh Ra, nyontek?"
"Aku, nggak nuduh."
Rania menahan tangannya yang sudah memerah.
"Aku hanya melakukan apa yang kamu lakukan."
"Maksud kamu Mon?"
"Kamu yang meniru aku, jadi aku juga bisa meniru kamu."
Rania menggelengkan kepalanya, tak faham kemana arah bicara Monik.
"Ingat satu hal, Bahkan peniru 'pun bisa terlihat lebih nyata, dari aslinya."
Monik mendorong Rania, lalu membuka pintu gerbang hingga sosoknya tak terlihat oleh mata Rania.
Ingin Rania katakan, apa maksud dari dia. Namun, Monik sudah pergi terlebih dahulu.
Hingga sekarang, tak ada lagi tegur sapa. Juga senyuman manis diantara keduanya.
Berpura-pura tak pernah kenal, dan mencoba menjadi orang asing.
Flashback off
Rania menggelengkan kepalanya, bayangan tentang dulu kembali datang. Ia tersenyum sinis, Ra, sampai sekarang nggak nyangka.
Ia berdiri lalu membersihkan roknya. Lalu ia pakai tas gendongnya. Berlari kecil, menatap langit yang mulai menggelap.
Tanpa ia sadari, seseorang juga tengah menatap ia seusai kepergiannya.
***
Percayalah, rasa manusia dapat berubah tak menentu seperti cuaca.
Yang benci bisa berubah sayang
Yang sayang juga bisa berubah membenci.
Perubahan itu hanya diikuti oleh satu 'kepercayaan'
***Hallo, maaf atas segala typo yak.
Gimana part kali ini? Ada tokoh baru kan?
Cukup sekian yup.
Dan, saya juga mau update nggak menentu. Karena ada urusan di duta.
Salam manis dari author❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Kakak
Teen FictionKisah Rania yang berharap bisa move on dari mantan pacarnya yang meninggalkan tanpa sebuah alasan. Baca aja dulu😝 Biasakanlah tinggalin jejak dengan vote okay -_-