Prolog

92 11 17
                                    

Seorang perempuan muda, yang usianya baru menginjak awal  duapuluhan, tampak termenung di meja sebuah kafetaria yang tidak terlalu sarat pengunjung. Matanya menatap nanar secangkir teh hangat yang ada diatas mejanya bersama sepiring sponge cake yang sama sekali belum disentuhnya.


Sedetik, dua detik, tiga detik, hingga beberapa ratus detik pun terlewati namun hidangan tersebut hanya dipandanginya dengan tak berselera. Kedua manik coklatnya asyik memperhatikan asap dari tehnya mengepul naik, naik, dan terus naik meninggalkan cangkir lalu lenyap berbaur dengan udara bebas.


Ia tersentak kaget , tak sengaja retina matanya menangkap kejadian yang berhasil meremukkan hatinya. Seorang perempuan muda terlihat bermesraan dengan seorang laki-laki sebayanya. Dari sudut pandangnya, ia melihat laki-laki tersebut memiringkan wajah, seolah hendak mendaratkan kecupan di bagian wajah perempuan itu.


Oh tuhan, ia kenal betul siapa perempuan itu.


Ia begitu familiar dengan siluet tubuh tersebut, dengan suaranya, bahkan dengan tindak-tanduknya yang sangat feminin.


Perempuan itu adalah Kim Minkyung, sosok yang begitu dicintainya.


Perempuan itulah satu-satunya yang bertahta di singgasana hatinya selama beberapa tahun belakangan, dan juga yang senantiasa menorehkan bermacam luka disana, disengaja maupun tidak.


Oh shit..Sepertinya pria itu mendaratkan kecupannya di bibir Minkyung dan perempuan itu tersenyum, malu-malu kucing lalu memukul pelan lengan pria tersebut.


Klise dan menyakitkan. Ketahuilah bahwa jatuh hati kepada perempuan heteroseksual itu sangat sakit, sungguh sakit, begitu sakit. Meluluhkan hati mereka tidak semudah yang biasa engkau lihat di kebanyakan fiksi penggemar yang bertebaran di dunia maya.


Ia sudah membuktikannya dan kenyataan sudah membunuh harapnya secara paksa.


Jangan tanyakan bagaimana sakitnya.


Kedua matanya mulai terasa panas dan basah melihat pemandangan itu.


Ia mengerjap. Setetes air panas meleleh dari sudut matanya. Lekas-lekas ia menyeka cairan sialan itu dan berusaha menetralkan ekspresi wajahnya seolah pemandangan tersebut tidak berefek apa-apa padanya, seolah pemandangan tersebut tidak pernah menorehkan luka dihatinya yang sudah terlalu sering berdarah-berdarah. Ia memalingkan muka lalu menggigit bibirnya yang bergetar menahan isakan. Setelah agak tenang ia menyuap sepotong cake ke dalam mulutnya. Ia memaksakan diri untuk menelan makanan itu meskipun tenggorokannya sakit serasa tercekat benda tumpul.


Setelah berhasil menelan beberapa potong cake, ia pun berhenti. Pandangannya kembali terantuk pada secangkir teh hangat di mejanya. Teh tersebut kini sudah tak begitu hangat lantaran sebagian kalor yang terkandung didalamnya sudah dilepas ke udara bebas. Suhunya sudah hampir sama normalnya dengan suhu ruangan.


Tiba-tiba saja sepercik pikiran terbesit di benaknya.


Ia ingin agar perasaannya kepada perempuan itu lenyap sebagaimana lenyapnya kalor dari dalam cangkir tehnya. Ia ingin perasaan sialan yang sudah bersarang di ruang hatinya selama beberapa tahun belakangan segera luntur, kemudian lenyap tak berbekas seakan eksistensinya tak pernah nyata. Ia ingin menjadi kebal, tak lagi merasakan ngilu di dada dan menderapkan airmata manakala perempuan itu berakfeksi dengan orang lain di depannya.


Setelah itu terjadi ia tidak tau, tidak lagi ingin tau, bahkan mungkin menatap perempuan itu ia tak lagi mau.


Singkat kata, ia sudah cukup terluka dan tak lagi berniat untuk memperjuangkan perasaannya yang bertepuk sebelah tangan.


Setelah menghabiskan makanan dan minumannya, ia pun bangkit dari tempat duduknya lalu beranjak pergi ke meja kasir untuk membayar pesanannya. Sesudah itu ia menyeret langkahnya keluar dari kafe tersebut. Tak sekalipun ia menoleh ke belakang untuk sekedar mencuri kepada sepasang manusia tadi. Tekadnya sudah bulat, kali ini ia akan benar-benar pergi, tak lagi mengemis-ngemis balasan perasaan pada perempuan itu, perempuan yang sudah berungkali mematahkan hatinya.


Ia memejamkan matanya sejenak, menghirup udara banyak-banyak lalu menghembuskannya kembali secara perlahan.


"Lembaran barumu dimulai dari sini, Kang Yaebin.." gumamnya.


***

Ditulis untuk menambah cerita Minkyaebin yang bisa dibilang sedikit. Lucky you to find this one..

Don't Wanna Know [HINAPIA'S MINKYAEBIN FF]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang