BAGIAN 1

720 23 0
                                    

Alunan seruling terdengar begitu merdu, merasuk sampai mengusik hati siapa saja yang mendengarnya. Alunan seruling itu selalu terdengar setiap sore. Entah sudah berapa lama hal itu berlangsung, tidak ada seorang pun yang tahu. Bahkan semua penduduk Desa Tegalan ini seperti terbiasa mendengarnya tanpa ada seorang pun yang merasa terganggu.
Hanya saja sampai saat ini, tidak ada yang tahu tentang peniup seruling itu. Siapa orangnya, masih menjadi sebuah pertanyaan besar bagi penduduk Desa Tegalan. Tapi memang, setiap pagi alunan merdu seruling itu bagaikan memberi tanda pada seluruh penduduk Desa Tegalan. Dan lama kelamaan, sudah menjadi hal yang biasa di telinga. Mereka seakan-akan belum mau beranjak meninggalkan rumah untuk ke ladang, jika alunan seruling itu belum terdengar.
Tapi dalam beberapa hari ini, alunan seruling itu selalu terdengar setelah matahari muncul. Padahal sebelumnya, walau hari masih gelap, tapi alunan seruling itu sudah terdengar. Perubahan itu tentu saja membuat seluruh penduduk Desa Tegalan jadi bertanya-tanya. Dan semua itu tetap bergayut di dalam kepala mereka saja, tanpa ada yang tahu penyebab perubahan itu.
Dan pagi ini, seluruh penduduk Desa Tegalan semakin heran. Sejak sinar matahari baru tampak di ufuk timur, sampai bersinar penuh seperti ini, suara seruling itu belum juga terdengar. Bahkan Ki Carmat yang menjadi kepala desa itu juga merasa heran dengan menghilangnya alunan seruling yang begitu merdu.
"Andari, kau merasakan adanya keanehan pagi ini...?" tanya Ki Carmat, seraya melirik anak gadisnya yang duduk di lantai beranda depan sambil menganyam tikar.
"Sejak tadi, Ayah," sahut Andari.
Gadis berwajah manis yang masih berusia delapan belas tahun itu menghentikan pekerjaannya. Kepalanya diangkat, dan langsung ditatapnya wajah ayahnya. Tampak jelas kalau kepala desa yang berusia lebih dari tujuh puluh tahun itu kelihatan gelisah. Pandangannya juga tidak berkedip, tertuju lurus ke puncak bukit yang melatar-belakangi desa ini. Bukit itu masih kelihatan tertutup kabut, walaupun matahari sudah naik cukup tinggi.
"Ayah kelihatan gelisah sekali...," tegur Andari hati-hati.
"Entahlah, Andari. Aku sendiri tidak tahu. Entah kenapa, tiba-tiba saja hatiku terasa jadi tidak enak. Sepertinya, akan terjadi sesuatu di desa ini," sahut Ki Carmat.
Suara laki-laki tua itu terdengar begitu pelan, dan hampir saja menghilang ditelan angin. Sementara Andari bangkit berdiri, lalu melangkah menghampiri ayahnya. Kemudian, gadis itu duduk di kursi kayu hitam yang ada di sebelah kiri kursi kepala desa ini. Hanya sedikit saja Ki Carmat melirik ke wajah manis anak gadisnya, kemudian kembali mengarahkan pandangan ke puncak bukit, sambil menghembuskan napas panjang.
Cukup lama juga mereka terdiam membisu, dengan benak masing-masing dipenuhi tanda tanya. Dan beberapa kali Ki Carmat menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya kuat-kuat. Sementara, Andari terus memperhatikan wajah laki-laki tua ini dengan kening berkerut dan mata terlihat agak menyipit.
"Mungkin si peniup seruling itu sedang sakit. Jadi, Ayah tidak perlu memikirkannya...," ujar Andari. Suaranya seperti terdengar terputus.
"Justru itu yang menjadi beban pikiranku, Andari," desah Ki Carmat.
"Kenapa harus dipikirkan? Apakah si peniup seruling itu memang menguntungkan untuk kemajuan desa ini, Ayah? Tanpa si peniup seruling itu pun, desa ini terus berkembang semakin maju. Dan semua ini juga berkat kerja keras Ayah," kilah Andari.
Ki Carmat jadi tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali. Ditepuknya pundak gadis itu, lalu bangkit berdiri dari kursinya. Perlahan kakinya terayun ke tepi beranda, lalu berdiri di sana sambil mengetuk-ngetukkan ujung tongkat rotannya ke lantai yang terbuat dari belahan papan.
"Begitu banyak yang telah dilakukannya untuk desa ini. Dan begitu besar artinya irama seruling itu bagi penduduk desa ini. Rasanya irama seruling itu sudah menyatu dengan darah dan jiwa semua orang di sini. Hhh...! Kau lihat, Andari...." Ki Carmat mengulurkan tangannya ke depan, menunjuk orang-orang yang berlalu lalang di depan rumahnya. Andari juga mengarahkan pandangan ke sana. "Mereka seperti kehilangan semangat, sehingga enggan ke ladang. Desa ini akan jauh mundur ke belakang, kalau semua penduduknya sudah kehilangan semangat hidup," tegas Ki Carmat lagi.
"Itulah jeleknya, Ayah," ujar Andari, terus memandangi punggung ayahnya.
"Apa maksudmu berkata seperti itu, Andari?" tanya Ki Carmat tidak mengerti.
Tapi Andari tidak langsung menjawab, dan malah bangkit berdiri. Kemudian kakinya melangkah menghampiri laki-laki tua yang mengenakan jubah panjang dan longgar berwarna putih bersih itu, lalu berdiri di sebelah kanannya. Sementara di depan halaman rumah ini masih terlihat orang-orang berlalu lalang dengan wajah seperti sudah kehilangan semangat hidup lagi.
Setiap orang yang lewat, selalu berhenti sebentar dan menganggukkan kepala pada laki-laki tua itu. Mereka begitu menghormati kepala desanya. Sedangkan Ki Carmat hanya membalasnya dengan senyum kecil disertai anggukan kepala yang juga hanya sedikit saja. Malah senyum tipis dan anggukan kepalanya hampir tidak terlihat.
"Yaaah.... Penduduk desa ini tidak memiliki rasa percaya diri. Mereka selalu tergantung pada orang lain. Dan kalau orang yang menjadi tempatnya bergantung sudah tidak ada lagi, mereka seperti orang buta kehilangan tongkat," kata Andari, menjelaskan perkataannya.
Diam-diam Ki Carmat tersenyum. Dalam hati, diakuinya kecerdasan otak Andari. Sungguh tidak diduga sama sekali kalau Andari memiliki pikiran seperti itu. Dan memang diakui, penduduk Desa Tegalan ini selalu saja bergantung pada orang lain, seperti tidak punya rasa percaya diri. Dan yang lebih parah lagi, mereka terlalu mudah dipengaruhi. Ki Carmat sendiri bukannya tidak tahu, tapi memang tidak bisa berbuat apa-apa untuk menutupi kelemahan yang ada di desanya. Disadari kalau tidak mungkin bisa merubah watak orang lain, tanpa orang itu sendiri yang merubahnya.
Sementara, matahari semakin naik tinggi. Saat itu, terlihat dua orang menunggang kuda perlahan-lahan memasuki desa ini dari arah timur. Yang seorang adalah pemuda tampan. Dan yang seorang lagi, adalah gadis berwajah cantik. Dari pedang yang tersandang di punggung, sudah dapat diketahui kalau mereka berasal dari kalangan rimba persilatan.
Kedua penunggang kuda itu berhenti tepat di depan sebuah kedai yang tidak begitu ramai pengunjungnya. Bahkan hanya ada sekitar tujuh orang saja di dalam kedai itu. Dengan gerakan indah dan ringan sekali, sepasang anak muda itu melompat turun dari punggung kuda masing-masing.
Sementara seorang bocah laki-laki berusia sekitar delapan tahun berlari-lari kecil menghampiri. Segera diambilnya tali kekang kedua ekor kuda itu. Pemuda berbaju rompi putih itu mengelus kepala bocah itu sambil tersenyum. Sedangkan gadis cantik yang datang bersamanya, langsung saja melangkah masuk ke dalam kedai.
"Tolong beri makan kudanya, ya...," pinta pemuda itu ramah.
"Baik, Den," sahut bocah itu sambil membungkuk sedikit.
Pemuda itu kemudian melangkah masuk mengikuti gadis teman seperjalanannya tadi. Sementara gadis itu tampak sudah duduk di depan sebuah meja yang tidak begitu besar ukurannya. Letaknya agak ke sudut dekat jendela besar yang dibiarkan terbuka lebar. Kemudian pemuda itu duduk di depannya. Tak lama kemudian, seorang wanita bertubuh gemuk datang menghampiri dengan senyum terkembang di bibirnya yang merah. Sikapnya begitu ramah.
"Ingin pesan apa, Den...?" tanya wanita bertubuh gemuk itu ramah. Senyumnya masih terus mengembang, menghiasi bibirnya.
"Sediakan saja makanan enak. Juga seguci arak," pesan pemuda itu.
"Aku minta air putih saja," selak gadis cantik berbaju biru yang duduk di depannya.
"Baik, tunggu sebentar."
Wanita gemuk yang ternyata pemilik kedai, segera meninggalkan anak-anak muda ini, dan menghilang di balik pintu. Sedangkan kedua anak muda itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dan memang, ada sekitar tujuh orang di dalam kedai ini. Semuanya laki-laki, yang masing-masing menyandang senjata berbagai bentuk dan ukuran. Jelas sekali kalau mereka juga dari kalangan rimba persilatan.
"Desa apa ini namanya, Kakang?" tanya gadis cantik berbaju biru muda itu.
"Desa Tegalan."
"Kau pernah datang ke sini sebelumnya?"
"Sekali. Tapi, hanya singgah dan tidak sampai bermalam di sini."
"Sekarang, kita akan bermalam?"
"Tergantung keadaan nanti."
Mereka kini terdiam. Sementara, wanita gemuk pemilik kedai sudah datang kembali, bersama seorang gadis berkulit hitam manis. Gadis itu membawa baki kayu yang cukup besar, penuh pesanan makanan kedua anak muda ini. Dengan sikap ramah dan sopan, makanan-makanan itu diletakkan di atas meja.
"Silakan...," ucap wanita gemuk itu, masih dengan sikap yang hormat sekali.
"Terima kasih," ucap pemuda berbaju rompi putih.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka menikmati hidangan itu. Sesekali pandangan mereka beredar ke sekeliling kedai ini. Sejak tadi, tidak ada lagi pengunjung yang datang. Dan tampaknya, pengunjung-pengunjung lain yang sudah ada lebih dulu, juga saling mencuri pandang antara satu dengan yang lain. Sepertinya, mereka saling mencurigai.
"Aku merasakan adanya sikap-sikap aneh, Kakang," ujar gadis berbaju biru.
Suara gadis itu terdengar kecil sekali, sehingga seperti berbisik saja. Sedangkan pemuda yang diajak bicara, hanya melirik sedikit saja. Bahkan terus menikmati makanan tanpa bicara sedikit pun. Sementara, gadis berbaju biru muda yang berwajah cantik jelita itu terus memperhatikan orang-orang yang ada dalam kedai ini lewat sudut matanya.
Di saat mereka semua yang ada di dalam kedai tengah menikmati makanannya, tiba-tiba saja terdengar teriakan melengking tinggi yang cukup mengejutkan. Serentak mereka semua bangkit berdiri, langsung sama-sama saling melemparkan pandangan sesaat. Tak lama, kembali terdengar teriakan panjang dan melengking, yang jelas sekali kalau datang dari arah sebelah timur.
Wanita gemuk pemilik kedai ini juga keluar dari belakang, diikuti dua orang pembantunya. Mereka rupanya juga terkejut mendengar teriakan melengking tadi.
"Kau bayar makanannya, Pandan," ujar pemuda berbaju rompi putih buru-buru.
"Heh...?!" Belum lagi gadis cantik berbaju biru muda itu sempat berkata sesuatu, pemuda berbaju rompi putih yang berjalan bersamanya tadi sudah melesat begitu cepat ke luar kedai. Begitu cepatnya, hingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan putih saja bergerak bagai kilat. Dan bayangan itu langsung lenyap seperti asap tertiup angin.
Gadis cantik yang tadi dipanggil Pandan, segera merogoh saku ikat pinggangnya. Dan dikeluarkannya beberapa keping uang perak. Sambil meletakkan uang perak itu, bergegas kakinya melangkah ke luar. Dan pada saat yang bersamaan, semua pengunjung kedai ini juga melangkah ke luar, setelah membayar makanan dan minuman masing-masing. Mereka juga meletakkan begitu saja uang pembayarannya di atas meja, dan bergegas keluar tanpa berbicara sedikit pun juga.
Sementara gadis berbaju biru muda yang memang Pandan Wangi, sudah berada di punggung kudanya yang putih, tinggi dan tegap. Hatinya agak terkejut juga sejenak, melihat kuda hitam tunggangan pemuda berbaju rompi putih masih ada. Sambil mengambil tali kekang kuda hitam itu, kudanya sendiri digebah perlahan-lahan. Sebentar saja, suasana di desa yang semula terlihat agak sunyi, sudah banyak dipadati orang yang keluar dari dalam rumah masing-masing.
Jeritan melengking yang terdengar sangat tinggi dan menyayat tadi, rupanya juga mengejutkan seluruh penduduk Desa Tegalan ini. Mereka sampai memadati jalan, hingga Pandan Wangi jadi sulit memacu cepat kudanya.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Begitu terlepas dari kerumunan orang banyak, Pandan Wangi segera menggebah cepat kudanya. Kuda putih itu langsung meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi, lalu melesat cepat bagai kilat membawa gadis penunggangnya ini. Sementara, kuda hitam milik pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga, atau berjuluk Pendekar Rajawali Sakti mengikuti dari belakang.
Gadis yang berjuluk si Kipas Maut itu menggebah kudanya bagaikan kesetanan saja. Kuda putih itu berlari cepat, membuat debu dan daun-daun kering beterbangan di belakangnya. Arahnya sudah jelas. Arah timur, dan terus mendekati Bukit Jagal.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Pandan Wangi terus menggebah kudanya dengan kecepatan yang tinggi. Seakan-akan tidak dipedulikan lagi kuda putihnya yang sudah terengah-engah dipacu cepat. Sementara kuda hitam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti yang bernama Dewa Bayu terus mengikuti dari belakang. Pandan Wangi menoleh ke belakang, hendak melihat Dewa Bayu. Tapi saat itu, keningnya jadi berkerut.
"Hooop...!" Langsung saja si Kipas Maut menarik tali kekang kudanya, sehingga kuda putih itu berhenti berlari disertai ringkikan yang keras sekali sampai memekakkan telinga. Maka, tali kekang kudanya cepat dikendalikan sebelum sampai terlempar dari punggung tunggangannya.
"Hm.... Siapa yang mengikutiku...?" gumam Pandan Wangi bertanya pada diri sendiri.
Jelas sekali di dalam kepulan debu, terlihat beberapa orang berlari-lari mengikuti jalan yang ditempuhnya. Dan tampaknya, mereka mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Begitu cepat, hingga dalam waktu sebentar saja sudah dekat dengan gadis cantik yang dikenal berjuluk si Kipas Maut ini. Dan mereka semua yang berjumlah empat orang itu langsung berhenti berlari, sekitar dua batang tombak lagi di depan Pandan Wangi.
"Nisanak, menyingkirlah. Jangan menghalangi jalan kami...!" bentak salah seorang yang berada paling depan.
Dia adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi tegap. Otot-ototnya tampak bersembulan dari kulitnya yang agak kehitaman. Pakaian merah yang dikenakannya begitu ketat, hingga membentuk tubuhnya yang kekar dan berotot Sebilah pedang berukuran cukup panjang tampak tergantung di pinggang kanan. Pandan Wangi menaksir kalau usianya sekitar empat puluh tahun.
Sedangkan tiga orang lainnya, masih kelihatan muda. Mungkin baru berusia sekitar dua puluh tahun. Di pinggang mereka juga tergantung pedang yang bentuk dan ukurannya sama. Mereka juga mengenakan baju ketat berwarna merah menyala, hingga memetakan bentuk tubuh yang tegap berotot. Tampak jelas, pada baju bagian dada kiri mereka tersulam gambar seekor naga yang menyemburkan api.
"Aku tidak akan menghalangi jalan kalian. Tapi kalau boleh tahu, untuk apa kalian menuju ke bukit itu...?" ujar Pandan Wangi seraya menunjuk ke Bukit Jagal yang ada tidak seberapa jauh lagi di belakangnya.
"Apa pedulimu, Nisanak?! Cepat minggir! Atau, kami terpaksa harus memaksamu menyingkir dari sini!" bentak laki-laki bertubuh tegap itu kasar.
"Hm..." Pandan Wangi jadi berkerut keningnya, mendapatkan kata-kata bernada kasar seperti itu. Sorot matanya terlihat begitu tajam, seakan-akan hendak menembus langsung bola mata laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun ini. Dan untuk beberapa saat, mereka hanya saling tatap dengan sinar mata yang sama-sama memancar tajam.
"Huh! Keras kepala juga kau rupanya, heh...!" dengus laki-laki berbaju merah itu jadi geram.
Trek!
Begitu ujung jarinya dijentikkan, maka seketika itu juga tiga orang pemuda yang berada di belakangnya langsung berlompatan mengepung Pandan Wangi. Dan tanpa berkata-kata lagi, mereka segera saja mencabut pedang masing-masing.
"Hup!" Pandan Wangi cepat melompat turun dari punggung kudanya. Sungguh indah dan ringan gerakannya, sehingga tidak terdengar suara sedikit pun saat kakinya menjejak tanah. Dan ketika bokong kudanya ditepak sekali, maka kuda putih itu segera melenggang perlahan menjauh, diikuti kuda hitam yang sejak tadi terus mendampingi. Saat ini, Pandan Wangi sudah dikepung tiga orang dengan pedang sudah terhunus di tangan kanan masing-masing. Dari sudut ekor matanya, diperhatikannya ketiga pemuda itu tajam-tajam. Setiap gerak yang dilakukan mereka menjadi pusat perhatiannya.
"Kuperingatkan sekali lagi, Nisanak. Aku tidak ingin ada pertumpahan darah percuma. Sebaiknya, segeralah menyingkir sebelum lehermu yang bagus itu terpisah dari badan," masih terdengar dingin sekali nada suara laki-laki berbaju merah ini.
"Dari sikapmu, aku jadi sulit menggerakkan kaki untuk menyingkir," sambut Pandan Wangi tidak kalah dinginnya.
"Setan...! Kau ingin mampus, heh...?!"
Pandan Wangi mengangkat pundak sedikit.
"Phuih...!" Sambil menyemburkan ludahnya dengan geram, salah seorang laki-laki berbaju merah itu melangkah beberapa tindak ke depan, mendekati si Kipas Maut. Sorot matanya masih terlihat begitu tajam, seakan ingin melumat tubuh ramping gadis itu bulat-bulat. Sementara, Pandan Wangi sendiri kelihatan tenang. Sedikit pun tidak terpengaruh oleh sikap dan sorot mata yang sudah jelas mengancam jiwanya.
"Seraaang...!"
Begitu terdengar suara keras menggelegar, seketika itu juga tiga orang berpakaian serba merah yang memang sejak tadi sudah menunggu perintah, langsung saja berlompatan sambil berteriak-teriak keras menggelegar dahsyat.
"Haiiit...!" Pandan Wangi segera melenting sedikit ke udara. Dan sambil berputaran, senjata kipas mautnya dicabut dan langsung dikebutkan ke arah pemuda berbaju merah yang berada paling dekat dengannya.
Bettt!
"Uts...!" Hampir saja ujung kipas putih keperakan yang runcing itu membelah dadanya. Untung saja pemuda berbaju merah itu segera menarik tubuhnya ke belakang, dan cepat-cepat melompat beberapa langkah sebelum Pandan Wangi bisa melakukan serangan kembali. Saat itu dari arah sebelah kanan, seorang pemuda lain yang juga mengenakan baju merah sudah cepat menebaskan pedang, tepat mengarah ke leher si Kipas Maut.
"Ups...!" Sedikit saja Pandan Wangi mengegos, sehingga tebasan pedang itu berhasil dihindari. Dan pada saat itu juga, dengan kecepatan bagai kilat, dilepaskannya satu tendangan menyamping sambil memiringkan tubuhnya, tepat mengarah ke lambung lawan.
"Hiyaaa...!"
Begitu cepat tendangan yang dilepaskan si Kipas Maut, sehingga pemuda berbaju merah ini tidak sempat lagi menghindar. Terlebih lagi, saat itu seluruh pusat perhatiannya masih tercurah pada serangannya yang sudah dapat dipatahkan lawan tadi. Dan....
Desss!
"Hegkh...!"

***

96. Pendekar Rajawali Sakti : Penghuni Lembah NerakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang