BAGIAN 2

420 21 0
                                    

Pemuda itu kontan terhuyung-huyung ke belakang sambil mengeluh pendek, begitu lambungnya telak sekali terkena tendangan si Kipas Maut. Dan belum juga rasa nyeri di lambungnya bisa dihilangkan, gadis berbaju biru yang berjuluk si Kipas Maut sudah melompat cepat sambil melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
"Yeaaah...!"
Plak!
"Akh...!"
Begitu cepat pukulan tangan kiri Pandan Wangi, membuat kepala lawan jadi terdongak ke atas disertai pekikan nyaring. Tampak darah muncrat keluar dari mulutnya. Namun Pandan Wangi rupanya belum merasa puas. Sambil berteriak keras menggelegar, seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang sudah mencapai tingkat tinggi dikerahkan. Lalu bagaikan kilat, kaki kanannya terayun cepat menghantam dada pemuda itu.
"Hiyaaat..!"
Des!
Prak!
"Aaakh...!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar menyayat, bersama terpentalnya tubuh pemuda itu ke belakang. Keras sekali tubuhnya jatuh menghantam tanah, lalu bergelimpangan beberapa kali. Tampak darah dari mulutnya semakin banyak keluar. Sebentar saja tubuhnya menggeliat sambil mengerang memegangi dadanya, kemudian mengejang kaku dan diam tak bergerak-gerak lagi. Nyawanya seketika terbang melayang. Dadanya terlihat hancur melesak masuk ke dalam, akibat terkena tendangan dahsyat si Kipas Maut yang bertenaga dalam tinggi.
Perlahan Pandan Wangi memutar tubuhnya sambil mendesis kecil. Sorot matanya terlihat begitu tajam, menatap lurus lawan-lawannya. Tampak wajah-wajah terpana tergambar jelas, melihat salah seorang teman mereka tewas di tangan gadis cantik yang kelihatan lemah itu. Mereka seperti tidak percaya kejadian yang baru disaksikan tadi. Sungguh tidak disangka kalau gadis yang kelihatannya lemah ini memiliki kepandaian tinggi. Bahkan bisa menewaskan salah seorang dengan hanya beberapa gebrakan saja.
"Setan...! Kau berhutang nyawa padaku, Bocah...!" geram laki-laki berusia hampir setengah baya.
Sambil menghentakkan kakinya dengan berang, laki-laki itu melangkah menghampiri Pandan Wangi. Sedangkan gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu hanya berdiri tegak menanti dengan sikap kelihatan tenang sekali. Kipas mautnya sudah terkembang di depan dada, seakan-akan memang sengaja untuk melindungi diri dari ancaman maut. Meskipun sikapnya kelihatan tenang, tapi sorot matanya terlihat begitu tajam, bagaikan sorot mata singa betina yang sedang melindungi anaknya dari incaran pemburu liar.
"Bocah...! Sebutkan, namamu, sebelum kukirim ke neraka!" bentak laki-laki berbaju merah menyala itu garang.
"Aku si Kipas Maut!" sahut Pandan Wangi datar.
"Phuih! Apa pun julukanmu, kau harus berhadapan dengan Suro Gading!" dengus laki-laki berbaju merah itu yang ternyata bernama Suro Gading.
Namun Pandan Wangi hanya tersenyum kecil saja, tapi begitu sinis! Dan sorot matanya masih tetap tajam menusuk. Sesekali diperhatikannya dua orang pemuda yang berada sekitar lima langkah di belakang Suro Gading.
Cring!
Begitu manis dan indah gerakan tangan Suro Gading saat mencabut pedangnya, dan langsung disilangkan ke depan dada. Pandan Wangi sempat menyipitkan matanya, melihat pedang yang berkilatan tersilang di depan dada. Dia merasa, pedang itu bukanlah pedang biasa. Pasti memiliki satu kekuatan yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
"Hm...."
"Tahan seranganku, Bocah! Hiyaaat...!"
Bet!
Bagaikan geledek, Suro Gading melompat sambil mengebutkan pedangnya ke arah dada si Kipas Maut. Tapi hanya sedikit saja memiringkan tubuh dan sambil menarik sedikit ke belakang, tebasan pedang laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun itu lewat di depan dadanya. Dan....
"Hih!"
Secepat kilat, Pandan Wangi mengebutkan kipas mautnya, tepat mengarah ke perut. Begitu cepat serangan balasannya, membuat Suro Gading tidak menyangka sama sekali. Dan hatinya jadi terperangah setengah mati. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang, membuat serangan balasan si Kipas Maut itu tidak sampai mengenai sasaran.
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil berteriak nyaring melengking, Pandan Wangi melenting ke udara sambil berputar satu kali. Lalu cepat bagai kilat, senjata mautnya yang berupa kipas baja putih dikebutkan, tepat mengarah ke bagian atas kepala Suro Gading.
Bet! "Ikh...?!"
Untuk kedua kalinya, Suro Gading terperanjat setengah mati, melihat serangan Pandan Wangi yang begitu dahsyat luar biasa. Cepat-cepat tubuhnya mengegos ke kanan, sambil menarik kakinya ke belakang selangkah. Tapi tanpa diduga sama sekali, begitu sabetan kipas putih keperakan itu berhasil dihindari, sebuah tendangan lawan yang begitu cepat dan keras meluncur cepat ke arahnya.
"Yeaaah...!"
"Heh...?!"
Begkh!
"Ugkh...!"
Suro Gading benar-benar tidak dapat lagi berbuat sesuatu. Matanya hanya bisa terbeliak sambil mengeluh pendek begitu tendangan yang dilepaskan Pandan Wangi tepat menghantam dadanya. Seketika, tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya dengan tangan kiri. Sementara itu, manis sekali Pandan Wangi menjejakkan kakinya kembali ke tanah, dan berdiri tegak sambil meletakkan senjata kipas mautnya di depan dada.
"Keparat...!" desis Suro Gading geram.
Napas laki-laki setengah baya itu langsung tersengal, mendapat tendangan yang begitu keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi di dadanya tadi. Pandangan matanya pun jadi berkunang-kunang. Kini dia menggereng sambil menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali. Dicobanya untuk mengusir rasa pening yang menyerang kepala akibat sesak napas setelah mendapat tendangan bertenaga dalam tinggi di dadanya ini. Sementara, Pandan Wangi tetap menunggu berdiri tegak dengan sikap begitu tenang. Sedangkan bibirnya terus menyunggingkan senyuman tipis.
"Serang perempuan edan itu! Bunuh dia...!" seru Suro Gading memerintah.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa menunggu perintah dua kali, dua orang pemuda pengikut Suro Gading segera berlompatan menyerang Pandan Wangi. Padahal, raut wajah mereka mencerminkan keraguan, setelah melihat Suro Gading yang menjadi pemimpin berhasil mendapat tendangan di dadanya. Sementara, Suro Gading sendiri cepat-cepat melakukan beberapa gerakan dengan kedua tangannya, kembali mencoba mengusir rasa sesak yang menghinggapi dada.
Sementara itu, Pandan Wangi sudah harus berjumpalitan menghindari serangan-serangan dua orang pemuda ini. Mereka seperti sengaja terus-menerus melakukan serangan, sehingga Pandan Wangi terpaksa harus berjumpalitan. Beberapa kali ujung-ujung pedang kedua pemuda itu hampir merobek tubuhnya. Tapi dengan gerakan indah dan manis sekali, semua serangan itu masih bisa dihindari. Hanya saja, dia belum mempunyai kesempatan sedikit pun untuk balas menyerang.
"Kubunuh kau, Bocah! Hiyaaa...!"
Suro Gading langsung saja melompat, begitu bisa menghilangkan rasa sesak yang menghinggapi dadanya. Langsung dicecarnya si Kipas Maut dengan permainan jurus-jurus pedangnya yang cepat dan dahsyat luar biasa. Akibatnya, Pandan Wangi jadi bertambah kerepotan, karena terpaksa harus menghadapi keroyokan dari tiga arah.
Keadaan Pandan Wangi semakin bertambah sulit saja, tanpa memiliki kesempatan sama sekali untuk balas menyerang. Dan gadis itu hanya bisa berjumpalitan sambil meliuk-liukkan tubuhnya menghindari setiap serangan yang datang secara beruntun dari tiga arah. Dan beberapa kali pula senjata kipasnya beradu dengan pedang-pedang lawan, sehingga menimbulkan percikan bunga api.
"Hiyaaa...!"
Pandan Wangi mencoba melenting tinggi-tinggi ke udara. Tapi belum juga bisa melakukan sesuatu, Suro Gading sudah lebih cepat lagi melesat. Dan pedangnya langsung dibabatkan beberapa kali secara beruntun dengan kecepatan sangat tinggi. Terpaksa, Pandan Wangi harus berputaran di udara dan kembali meluruk turun. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, kembali datang serangan dari dua orang pemuda pengikut Suro Gading.
Maka terpaksa gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu harus berputaran, seraya meliuk-liuk menghindari setiap sambaran pedang yang berkelebatan begitu cepat di sekitar tubuhnya. Bahkan belum lagi bisa menarik napas, Suro Gading sudah kembali menyerang dengan kemarahan meluap.
Entah sudah berapa jurus berlalu, tapi ketiga laki-laki itu belum juga bisa menjatuhkan Pandan Wangi. Padahal, kelihatannya gadis itu sudah terus-menerus mendapat desakan hebat, tapi masih saja bisa berkelit. Dan di saat mereka bertarung, tanpa ada yang menyadari tahu-tahu sudah muncul seorang perempuan tua. Tubuhnya bungkuk, terbalut jubah panjang berwarna hijau gelap.
"Hik hik hik...!"
"Heh...?!"
"Oh...?!"
Mereka yang bertarung jadi terkejut setengah mati, begitu mendengar tawa terkikik. Dan mereka langsung berlompatan mundur menghentikan pertarungan. Tapi bagi Pandan Wangi, siapa pun yang tertawa tadi, secara tidak langsung sudah membantunya keluar dari serangan-serangan yang mematikan. Dan kini, dia bisa menarik napas lega, walaupun kelopak matanya jadi berkerut melihat seorang perempuan tua tahu-tahu sudah berada di tempat ini. Wanita yang sama sekali tidak dikenalnya.
Sedangkan Suro Gading tampak semakin bertambah berang saja, melihat perempuan tua itu. Mulutnya langsung menggereng seperti seekor macan kelaparan yang sudah berhari-hari tidak mendapat buruan. Sorot matanya terlihat begitu tajam, tertuju langsung ke wajah penuh keriput itu.
Tapi, wanita tua yang tajam-tajam dipandangi ini hanya terkikik sambil melangkah beberapa tindak mendekati Pandan Wangi. Dan dia berdiri tepat di tengah-tengah antara Pandan Wangi dengan Suro Gading, dan kedua anak muda pengikutnya. Seakan-akan, dia ingin menjadi penengah saja.
"Nyai Balung Wungkul, minggir kau! Jangan campuri urusanku!" bentak Suro Gading lantang menggelegar.
"Suro Gading! Kenapa kau mengeroyok gadis ini?" tanya wanita tua yang dipanggil Nyai Balung Wungkul, tanpa menghiraukan bentakan Suro Gading sedikit pun.
"Itu bukan urusanmu!" bentak Suro Gading ketus.
"Dan itu juga bukan watakmu yang main keroyok, bukan...?"
"Phuih...!" Suro Gading jadi mendengus kesal melihat sikap Nyai Balung Wungkul. Terlebih lagi, kata-katanya bisa dibalikkan dengan menyakitkan sekali. Dan matanya hanya menatap saja dengan sorot yang begitu tajam, seakan-akan hendak melumatkan tubuh tua renta itu.
Sedangkan Pandan Wangi hanya diam saja sambil perlahan menggerak-gerakkan senjata kipasnya di depan dada, seakan ingin menyegarkan diri dengan kibasan angin kipas itu. Nyai Balung Wungkul memutar tubuhnya sedikit, lalu berpaling menatap Pandan Wangi. Bibirnya yang keriput tampak menyunggingkan senyuman tipis.
"Simpan kembali senjatamu, Cah Ayu. Dia tidak akan menyerangmu lagi," ujar Nyai Balung Wungkul, lembut nada suaranya.
"Hm...." Pandan Wangi menutup kipasnya, lalu menyelipkan ke balik ikat pinggangnya setelah menatap sebentar pada perempuan tua ini. Dari sorot matanya yang terlihat lembut, Pandan Wangi merasa kalau perempuan tua ini memang ingin menghentikan pertarungan yang sejak semula sama sekali tidak diinginkannya. Dia pun juga memberi senyum cukup manis. Sementara, Suro Gading jadi menggerutu kesal melihat semua ini. Tapi, tampaknya keberanian untuk bertindak tidak dimilikinya. Hanya ditatapnya tajam-tajam perempuan tua yang menghentikan pertarungannya.
"Hendak ke mana tujuanmu, Cah Ayu?" Tanya Nyai Balung Wungkul, tanpa mempedulikan Suro Gading yang menggerutu seorang diri.
"Menyusul kakakku ke sana," sahut Pandan Wangi sambil menunjuk ke arah timur.
"Pergilah. Urusanmu dengan Suro Gading sudah selesai."
"Terima kasih, Nyai," ucap Pandan Wangi seraya menjura memberi hormat. "Aku juga sebenarnya tidak menginginkan pertarungan ini. Tapi, dialah yang memulainya lebih dulu. Dan aku tidak bisa mencegah jatuh korban. Maafkan aku, Nyai"
"Ah, sudahlah.... Pergilah cepat, sebelum kakakmu jauh."
"Aku mohon diri, Nyai." Kembali Pandan Wangi menjura, kemudian juga menjura pada Suro Gading.
Tapi penghormatannya dibalas Suro Gading dengan dengusan berat. Laki-laki itu tampaknya masih belum puas. Sedangkan Pandan Wangi sudah melangkah menghampiri kudanya. Dan dengan gerakan indah dan ringan sekali, dia melompat naik ke punggung kuda putih itu. Lalu, diambilnya tali kekang kuda hitam. Sedikit matanya menatap Nyai Balung Wungkul, kemudian menggebah kudanya hingga berlari cepat meninggalkan tempat itu. Debu langsung beterbangan membubung tinggi ke angkasa, begitu kuda putih yang ditunggangi Pandan Wangi berlari cepat meninggalkan tempat itu. Sebentar saja, gadis yang dikenal berjuluk si Kipas Maut itu sudah lenyap dari pandangan.
Sementara, Nyai Balung Wungkul segera menghampiri Suro Gading, setelah Pandan Wangi benar-benar tidak terlihat lagi.
"Kenapa dia kau biarkan pergi begitu saja, Nyai? Dia sudah membunuh satu orang anak buahku!" dengus Suro Gading kesal.
"Kau membuang-buang waktu saja mengurusi bocah itu, Suro Gading. Mana hasil kerjamu...?" nada suara Nyai Balung Wungkul juga tidak kalah ketusnya.
"Huh!" Suro Gading hanya mendengus saja.
"Kau gagal...?" tebak Nyai Balung Wungkul.
"Kau lihat saja sendiri. Berapa orang yang kubawa, dan berapa sekarang yang masih ada...?"
"Tapi, bagaimana hasilnya?"
"Aku terpaksa membunuhnya."
"Heh?! Apa...?" Nyai Bedung Wungkul tampak terkejut sekali, sampai-sampai kedua bola matanya terbeliak lebar, seakan-akan tidak percaya dengan pendengarannya barusan. Dipandanginya dalam-dalam wajah Suro Gading, seakan-akan ingin mendapatkan kebenaran dari jawa-ban yang diinginkannya. Tapi, kelihatannya Suro Gading juga tidak bermain-main. Bahkan membalas tatapan mata perempuan tua itu dengan tajam pula.
"Kalau saja kau ada, pasti tidak akan seterkejut itu, Nyai. Dia tidak seperti perkiraan kita. Aku terpaksa membunuhnya, walaupun aku tahu apa yang akan kuterima nanti," kata Suro Gading lagi.
"Aku tidak tahu lagi, apa yang akan kukatakan nanti, Suro Gading. Tapi, jangan khawatir. Bagaimanapun juga, aku akan berada di belakangmu," ujar Nyai Balung Wungkul perlahan.
"Terima kasih, Nyai."
"Ah, sudahlah.... Ayo kita pergi sekarang."
Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera meninggalkan tempat itu. Dan tidak berapa lama saja, tempat itu sudah sunyi. Tak terlihat seorang pun di sana, kecuali sesosok mayat seorang anak muda berbaju merah saja yang masih terlihat menggeletak di tanah. Tak ada seorang pun yang mempedulikannya. Hanya angin saja yang masih setia membelai tubuhnya.

***

Sementara itu, Pandan Wangi yang memacu cepat kudanya sudah sampai di kaki Bukit Jagal. Lari kudanya cepat dihentikan karena terhalang sebuah sungai kecil yang berair sangat jernih. Dengan gerakan indah dan ringan sekali, gadis berjuluk si Kipas Maut itu melompat turun dari punggung kudanya. Lalu dibiarkannya kuda itu melepaskan dahaga di air sungai ini. Sebentar pandangannya beredar ke sekeliling. Sesaat keningnya jadi berkerut, begitu melihat seorang pemuda berbaju rompi putih berdiri tegak mematung tidak jauh darinya.
"Kakang Rangga...."
Pandan Wangi langsung mengenali pemuda itu, walaupun berdiri membelakangi. Bergegas pemuda itu dihampirinya. Dan belum sempat ditegur, pemuda itu sudah memutar tubuhnya. Tampak raut wajahnya terlihat berselimut kabut. Pandan Wangi jadi keheranan. Sebentar ditatapnya wajah tampan pemuda yang mengenakan baju rompi putih itu, kemudian beralih ke arah sebuah gundukan tanah yang tampaknya masih baru. Tidak terlihat ada orang lain lagi di sekitar tempat ini.
"Kuburan siapa itu?" tanya Pandan Wangi.
"Satria Seruling Emas," sahut pemuda berbaju rompi putih yang memang Rangga. Suaranya terdengar pelan, dan hampir saja tidak terdengar di telinga Pandan Wangi.
"Kelihatannya masih baru..."
"Ya. Baru saja aku selesai menguburkannya."
"Kau yang menguburkannya, Kakang...?" Pandan Wangi kelihatan terperanjat.
Rangga hanya menganggukkan kepala saja sedikit. Perlahan nafasnya ditarik dalam-dalam, kemudian dihembuskannya kuat-kuat. Sedangkan Pandan Wangi berganti-ganti memandangi wajah Pendekar Rajawali Sakti dan kuburan yang memang masih baru ini.
"Dia sempat mengatakan satu nama dan tempat, sebelum meninggal," jelas Rangga masih terdengar pelan suaranya.
"Apa?" tanya Pandan Wangi.
"Penghuni Lembah Neraka."
"Hanya itu...?"
"Dia sempat juga mengatakan kalau sudah lama berada di sini, dan selalu meniup serulingnya setiap pagi sebelum matahari terbit"
"Apa maksudnya, Kakang?"
"Entahlah.... Hanya itu yang dikatakannya padaku. Tidak ada yang lain," sahut Rangga agak mendesah.
"Penghuni Lembah Neraka...," gumam Pandan Wangi pelan. Kening gadis itu kelihatan berkerut, seakan tengah berpikir keras sambil menggumamkan kata-kata yang disebutkan Rangga tadi berulang-ulang. Sebentar kemudian kembali ditatapnya wajah tampan Pendekar Rajawali Sakti.
"Sepertinya nama itu baru kudengar, Kakang. Memangnya ada tempat yang namanya Lembah Neraka...?" nada suara Pandan Wangi terdengar seperti menggumam, seakan bicara pada diri sendiri.
"Aku kenal, siapa Satria Seruling Emas, Pandan. Aku yakin, perkataannya pasti ada maksudnya. Rasanya, mustahil jika dia sampai tewas kalau tidak ada sebabnya," sahut Rangga pasti.
"Tapi, apa kau pernah tahu tempat yang bernama Lembah Neraka, Kakang?" tanya Pandan Wangi lagi.
"Hanya ada satu desa yang terdekat dengan kaki Bukit Jagal ini, Pandan."
"Desa Tegalan...?"
"Ya, Desa Tegalan."
"Lalu...?"
"Mungkin penduduk desa itu mengenal tempat yang bernama Lembah Neraka itu. Aku rasa, kita bisa menanyakannya pada mereka."
"Hm...," Pandan Wangi hanya menggumam perlahan saja. Sementara, Rangga juga terdiam dan tidak berkata apa-apa lagi.

***

96. Pendekar Rajawali Sakti : Penghuni Lembah NerakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang