Madeline mondar-mandir, matanya celingak-celinguk memastikan tidak ada orang yang datang lalu memergokinya yang kini tengah berdiri di dalam toilet laki-laki. Sinting memang. Tapi ini adalah Madeline, dia harus dan iya mendapatkan apa yang dia inginkan.
Sambil terus mondar-mandir, sesekali menatap deretan pintu, yang berakhir di pintu toilet pojok ujung, mulutnya semakin komat-kamit, "Tuhan, maafin Mad, maafin Mad kali ini aja, karena emang situasinya kepepet."
Kakinya berhenti, begitupun dengan mulutnya yang tertutup rapat. Semenit dia meyakinkan diri, membuang nafas kasar, meski begitu dia takut dituduh: yang tidak-tidak. Tapi ini memang keinginannya kan? maka dari itu Mad-
"Woi! ngapain elo disini hah?"
Madeline membuka matanya lebar-lebar, kedua sudut bibirnya terangkat begitu mendengar suara berat seorang laki-laki yang kini tengah berdiri tegap di belakangnya.
"Madeline yakin, harus yakin! ini harus di coba Mad!" yakinnya, lirih hampir tidak terdengar, membuat laki-laki yang berdiri di belakangnya, mengernyit bingung, dan setengah takut.
"Woi! elo setan ya! nga-"
"Mat,"
Madeline berbalik, senyumnya terlihat jelas, matanya berbinar, tapi tidak dengan pikirannya, yang menolak keras keinginan Madeline untuk melanjutkan aksi selanjutnya. Berbanding dengan Matthew, yang sudah merubah mimik wajahnya menjadi bingung, kayak pernah ketemu, tapi dimana? kedua sepasang mata Matthew melirik sekitar, syukur sepi kalo ngga modyar gue, anjir.
"Kayak pernah lihat?" tanya Matthew, sedikit menyipit, mengacak-acak memorynya.
"Ngga inget? kan udah pernah ketemu, bahkan Mad pernah main ke rumah Mat," jelas Madeline, masih tersenyum manis, tidak lebih tepatnya -sok manis- padahal jauh di dalam diri seorang Madeline, dia sama sekali ngga sudi senyum semanis ini, kecuali nanti jika dia menjadi seorang pramugari.
Kernyitan dalam terlihat jelas, Matthew semakin bingung di tambah terkejut, setelah mendengar pengakuan Madeline, "Elo? pernah, ke rumah gue? ngapain?"
"Ngapel."
Jawaban singkat Madeline, semakin membuat Matthew bingung dan sedikit was-was, lalu matanya kembali melirik sekitar, masih sepi.
Lega sesaat tapi dia lupa jika sebentar lagi bel istirahat berbunyi, dengan segera dia melarik Madeline keluar dari toilet laki-laki berjalan, melewati lorong sekolah bagian belakang, dekat sekali dengan toilet laki-laki, lalu berhenti di lorong paling ujung."Oke jelasin, ka-"
"Udah dua minggu lalu."
"Hah? dua minggu lalu?"
"Iya, masa Mat lupa?"
Matthew semakin bingung, matanya memandang Madeline lekat, mencoba mengingat, emang dia pernah ngapel? hah? ngapel? ngaco amat anjir. Membuang nafas kasar, Matthew sedikit menunduk, ngga parah, lumayan tinggi.
"Panggil gue Vinus, jangan Mat." Pinta Matthew, merasa aneh jika mendengar Madeline mengucapkan namanya.
"Virus?" tanya Madeline, seolah tidak tahu, padahal jelas-jelas dia tahu.
"Matthew Marvinus, bukan virus." Jelas Matthew sekali lagi, membuat Madeline tersenyum semakin lebar.
"Madeline Megadrian, bukan elo, kamu, atau anda."
Matthew ingin mengumpat, tapi jelas-jelas dia harus bisa menahan, karena ingin tahu tentang pernyataan cewe di depannya, dan alasan mengapa dia menunggunya di toilet, kayak bocah paud, gila.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mat and Mad
Teen Fiction❝Mat, ngga boleh ikut tawuran, kalo Mad juga ngga ikut tawuran bareng Mat.❞ ❝Gimana kalau biang tawuran gue itu elo? Masih mau ngintilin gue, ngerengek alay minta ikut tawuran bareng?❞ ❝Justru itu, karena Mad biangnya. Mad harus ikut tawuran sama M...