Lembar Baru

148 18 20
                                    

Semburat warna jingga menelusup melalui jendela. Sang surya telah menampakkan wajahnya, menghantar kabut dingin yang menelusup jiwa. Afrito mengerjap pelan, berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinanya. Perlahan ia menyadari bahwa dirinya masih berada di kamarnya. Tangan kanannya terasa ngilu. Diliriknya sekilas, ternyata tangannya sudah dibebat dengan perban putih. Ia tahu bahwa adiknya yang melakukan semua ini. Ia menyesal atas perbuatan nekatnya semalam dan benar-benar tak bisa membayangkan perasaan khawatir adiknya itu. Di keluarga ini, hanya Frela yang selalu ada untuk dirinya, walaupun terkadang dia mengabaikannya.

Sejurus kemudian, ia kembali teringat apa yang menimpanya tempo hari. Perasaannya kembali kacau. Hingga semua itu mereda saat Frela muncul dari balik pintu, membawa nampan berisi semangkuk nasi goreng dan segelas teh hangat yang kemudian ia letakkan di nakas. Ia tersenyum melihat kakaknya sudah sadar. Ia berharap kakaknya mulai membaik.

"Fre..," lirih Afrito. Frela memutar bola mata dan menatap mata Afrito dengan tatapan—ada apa? "Terima kasih," ucapnya lagi. Frela tersenyum. Ia duduk di tepi tempat tidur, mengusap punggung tangan kakaknya yang diperban. Mengingatkannya kembali pada kejadian semalam.

"Kakak baik-baik saja?" tanya Frela. Afrito mengangguk. Jelas saja ia berbohong. Mana mungkin dengan kejadian semalam Frela akan percaya bahwa dirinya baik-baik saja. Ia hanya tak ingin menambah beban pikiran adik semata wayangnya ini. Tidak akan. Frela hanya diam. Ia tak mau mencerca kakaknya.

"Baiklah, kalau kakak belum mau cerita. Fre berangkat sekolah dulu ya, kak.. Hari ini Fre ada orientasi sekolah, jadi doakan lancar ya. Kak Fri istirahat aja, dan nasinya jangan lupa dimakan!" Frela tersenyum dan berlalu sembari terus berusaha menyembunyikan mata sembabnya karena menangis semalaman. Entah apa yang telah melukai kakak saat ini. Tapi ketahuilah, hatiku pun tengah terluka, kak. Aku harap, kita bisa saling mengobati luka kita masing-masing, termasuk luka kasat mata di antara kedua orang tua kita, batinnya.

***

"Awasss!!! Minggir!!"

"Aaaaaaaa!!!" Sebuah lengkingan yang diikuti dengan bunyi debuman keras, mampu menghentikan langkah para pejalan kaki yang berjalan di trotoar. Mereka menoleh ke sumber suara yang berhasil menyita perhatian mereka, di tengah hiruk pikuk aktivitas pagi hari. Tapi, tetap saja tak membuat mereka lantas berlari mendekat untuk menolong mereka. Hampir semua orang terlihat buru-buru, tentu saja mereka takkan peduli dan tetap melanjutkan langkahnya menjemput kesibukan di hari ini.

Sementara itu, terlihat sepasang remaja yang dinyatakan sebagai sumber kegaduhan tengah terduduk di trotoar sembari meringis kesakitan. Gadis berseragam putih biru dengan rambut tergerai sebahu dan pria berjaket dengan headphone yang melingkar di lehernya, juga masker yang menutup mulut dan hidungnya.

"Sorry ya, gue gak sengaja. Lagian gue udah teriak minggir, lo bukannya minggir malah cuma teriak. Emang teriak bisa bikin lo tiba-tiba terbang?!" Pria itu berdiri dan mengulurkan tangannya pada gadis yang tak lain adalah Frela yang telah menjadi korban atas ulahnya. Alih-alih menerima uluran tangan itu, Frela justru menatapnya tajam, seakan hendak memakannya bulat-bulat—pria yang sukses mengacaukan harinya.

"Oh okey! Anak SMP melototin gue. Kalau lo nolak niat baik gue, terserah deh! Gue lagi buru-buru. Bye!" Pria itu memungut skateboard-nya yang terpental beberapa meter, kemudian berlalu begitu saja meninggalkan Frela.

Hari ini adalah hari pertama Frela menjalani masa orientasi siswa, untuk memasuki Sekolah Menengah Atas unggulan yang ada di kotanya. Tapi semuanya mendadak kacau gara-gara pria itu. Pria yang hanya bisa ia lihat matanya saja. Oh sungguh! Pria yang menyebalkan.

Frela terus mengumpat selama dia kembali berjalan menyusuri trotoar. Kemudian melirik sekilas arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. 06.35? "Astaga! Lima menit lagi bakal telat!" Sejurus kemudian, Frela berlari sekuat tenaga di sisa-sisa waktunya.

CARUTWhere stories live. Discover now