Akhir

565 31 9
                                    

Suara tawa kebahagiaan keluarga kecil bergema menyelimuti rumah besar nan megah tersebut. Anak-anak mereka saling berlari berkejar-kejaran saling berebut makanan yang dibawakan Naura---putri sulung dari orang tua sukses dan terhormat di kota besar tersebut. Namun demikian, mereka tetap ramah dan mau membagi rezeki kepada yang lebih membutuhkan.

"Ini punyaku!" jerit sang adik terkecil. Ia bernama Lala---wajahnya imut karena lesung di pipinya dan poni yang hampir menutupi kedua matanya. "Ini bonekaku!" rengek Lala. Matanya sedikit berkaca-kaca sambil menarik-narik boneka yang dipegang saudara kembarnya yang bernama Lili.

"Gak mau, ini punyaku. Kakak memberikan ini untukku, bukan untukmu!" ucap Lili setengah berteriak. Ia ikutan menangis yang ditandai bulir-bulir air mata di ujung matanya.

"Sudah-sudah, jangan bertengkar seperti itu. Ayo berbagi," ucap Naura. Tutur suaranya sangat lembut bagai angin sepoi yang datang saat kemarau panjang menerpa. Sangat menengkan.

Kedua adiknya itu mengangguk. Lalu, mereka saling berbagi---bergantian memengang dan memeluk boneka manusia bertopi dan berpakaian putih tersebut.

Kadang, saudara kembar berusia delapan tahun itu bermain peran. Yang satu sebagai pemilik suara boneka tersebut, dan yang satu sebagai seorang penjahat dengan sebuah robot-robotan sebagai tokohnya.

"Nah, kalau begitu mainnya 'kan seru," kata Naura lagi.

Naura mengelus-elus pucuk kepala kedua adik kembarnya satu per satu. Lalu, duduk di sofa krim bersama kedua orang tua tercintanya.

"Anak papa memang sangat bijak, sifat kamu ini adalah sifat turunan dari papa," puji papa Naura sambil mengelus lembut rambut panjang putrinya itu.

"Siapa bilang? Sifat bijak Naura itu turunan dari mama dong. Ya, kan Sayang?" elak mama Naura. Ia menebas tangan suaminya pelan. Lalu, bergantian mengelus rambut putri tertuanya.

"Sifat aku itu turunan dari Papa dan Mama, kok. Nanti, aku juga ingin menggapai cita-citaku seperti Papa dan Mama." Naura menatap kedua orang tuanya dalam. Harapannya ... begitu besar.

"Kalau begitu, rajin-rajin belajar. Oke?" kata Mamanya.

"Oke, aku akan belajar ker--"

"Huah, Kak Lili pelit!" rengek Lala. Ia menendang mainannya dalam keadaan terduduk itu.

"Eh, kok gitu?" ucap Naura menenangkan. Lalu, ia duduk di karpet lembut nan mahal itu bersama dengan kedua adik kembarnya.

"Dia yang dulu, Kak. Pas aku lagi enak-enak main boneka, dia ambil makananku. Telus, dia minta dan aku ngasih sedikit dianya gak mau" ungkap Lili. Tatapannya melambangkan kejujuran dengan lidah belum lulus mengucapkan kata "R".

Naura tersenyum tipis. "Eh, berbagi dong. Jangan pelit-pelit," ucapnya.

"Gak mau, dianya yang gak mau kok," tolak Lili. Ia menyembunyikan sebungkus keripik kentang itu ke belakang tubuh kecilnya.

"Pelit!" ejek Lala.

"Bialin!" balas Lili sambil menjulurkan lidahnya. Lantas, pertengkaran kecil membingkai kisah keluarga kecil yang harmonis tersebut.

"Sudah-sudah, jangan bertengkar seperti ini. Bagaimana kalau kakak belikan snack yang lebih banyak lagi. Kita makan sama-sama, ya." Gadis cantik itu tersenyum sembari membayangkan ia bersama kedua adiknya itu sedang makan makanan ringan bersama. Saling tertawa dengan riuh suara kruncy dari kripik dan makanan lainnya. "Baiklah, kakak pergi dulu," lanjutnya.

Naura pun pergi dengan membawa uang saku sisa tadi pagi dan hari sebelumnya. Karena jarak rumah dengan tempat Mini Market tak jauh dari rumahnya, ia lebih memilih tuk berjalan tuk menghemat uang sakunya. Naura merupakan seorang gadis yang hemat.

"Lalalala." Naura bersenandung kecil saat sedang memilih-milih jajanan yang akan ia beli saat ia tiba pada tempat tujuannya.

Satu, dua, tiga lebih makanan ringan telah ia letakkan pada troli tersebut. Sekaligus ia juga membeli barang-barang lain tuk kebutuhan keluarga mereka. Kebutuhan pribadi dan perlengkapan sekolahnya juga tak lupa ia beli.

Setelah merasa semua telah komplit, gadis tersebut berjalan menuju kasir dan membayarnya.

"Terima kasih karena telah berbelanja di sini. Kembalilah dilain hari," ucap wanita berusia dua puluhan tahun yang bekerja sebagai kasir di tempat tersebut.

"Iya, Kak. Terima kasih kembali," jawab Naura. Ia juga tak lupa membalas senyum wanita tersebut. Lantas, Naura pun pergi.

Malam itu merupakan malam yang sangat terang. Sinar rembulan menerangi malam tersebut dengan taburan bintang indah yang berkelap-kelip. Bulannya juga begitu indah. Ternyata, Malam itu Malam purnama. Naura terus berjalan membawa barang belanjaannya hingga ia pun tiba di kediamannya. Sepi. Suasana di rumah tersebut berubah drastis.

"... kenapa rumah ini jadi terasa sangat sepi?" tanya Naura heran.

Naura membunyikan bel rumah tersebut. Mengucapkan salam dan sesekali pula ia mengetuk pintu utama rumah tersebut. Tak ada jawaban. Naura pun semakin bingung. Tak biasanya rumah ini terasa sangat sepi seperti tiada yang menghuninya. Padahal, sebelum ia pergi rumah ini begitu ramai. Tawa dan tangis kedua adiknya itu menambah suasana harmonis keluarga tersebut.

Kriet!

Derit pintu bergema pelan. Namun, karena suasananya yang sunyi, derit pintu tersebut serasa sangat kuat. Naura kembali memanggil-manggil anggota keluarganya. Namun, hasilnya nihil. Kosong.

Secara perlahan, Naura menyembulkan kepalanya memasuki rumah tersebut dan diikuti seluruh tubuhnya. Kosong. Ia tak melihat siapapun di tempat tersebut.

"Ke mana semua orang? Padahal, aku gak lama pergi," gumam Naura. Ia berjalan ke sana kian ke mari tuk menemukan siapapun anggota keluarganya. Matanya menjurus ke segala penjuru arah.

"Papa!" ucap Naura setengah menjerit dari belakang saat ia menangkap sosok papanya yang sedang duduk di sofa yang sama sebelum ia pergi.

Wajah gadis tersebut berbinar bahagia. Ia berlari kecil menghampiri papa kesayangannya itu dari belakang. Namun, ia merasa gundah dan sepertinya ada sesuatu yang telah terjadi.

Darah. Ia melihat secercah darah di rambut pria tersebut.

"Papa? Papa baik-baik aja, kan?" tanya Naura ragu.

Perlahan, tapi pasti ia melangkah ke hadapan papanya tuk melihat lebih jelas wajahnya. Papa Naura tak menjawab sepatah kata pun. Apakah ia sedang tertidur?

Semakin mendekat, semakin jelas pula apa yang tengah terjadi.

Tiba-tiba, tubuh Naura bergetar dan tenaganya sirna hingga tubuhnya tersungkur. Jantungnya berdegup sangat kuat hingga rasanya jantungnya itu akan meledak bersama tubuhnya yang memucat.

"Apa yang?" tanya Naura tak percaya. Ia menggeleng pelan dengan mulut tertutup oleh kedua telapak tangannya. "Papa ... Mama ... Lala ... Lili." Naura menangis sejadi-jadinya pada saat itu juga. "Si-siapa yang melakukan ini?!" jerit Naura.

Gadis Misterius (PROSES REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang