{téssera}

94 25 4
                                    

"Eh, kalian? Gue kira gak jadi datang."

Zain dan Zein jadi menginap di rumah Eric hari ini. Mereka datang pagi-pagi sekali. Bahkan Eric belum membuka pintu rumahnya. Apalagi sekarang hari minggu, Eric masih ingin tidur sampai sore.

"Biar bisa numpang tidur juga, hehehe," kata Zein bercanda.

Mereka pun terkekeh.

"Tapi serius masa sepagi ini?" tanya Eric masih menjegal mereka di depan pintu gerbang.

"Permisi, lo gak biarin kita masuk dulu, nih?" tanya Zain tanpa basa-basi.

"Wah, kaget gue lo bisa ngomong," Eric terkekeh melihat sepupunya yang biasanya sangat pendiam tiba-tiba berbicara.

Zain hanya rolling eyes.

"Kuy, masuk lah kalau begitu." Eric berjalan belakangan dan menutup pintu gerbang yang tingginya dua kali lipat tinggi tubuhnya.

"Wah, rumah tambah bagus aja," puji Zein kagum.

"Ah, masa, sih? Biasa aja," sangkal Eric tidak setuju.

Kemudian mereka pun masuk ke dalam rumah. Eric menuju kamarnya untuk tempat sepupu kembarnya menaruh segala keperluan yang berada di dalam dua tas besar.

"Kasur gue udah ganti sama yang king size, jadi muat kok buat bertiga."

Setelah mereka membereskan barang-barang, mereka pun langsung turun untuk sarapan.

"Kita belom sarapan, hehehe," cengir Zein mewakilkan.

"Santai aja, makanan sisa malem masih banyak," kata Eric santai.

Kemudian ia mengeluarkan sebuah mangkuk dari dalam kulkas. Ia memindahkannya ke sebuah panci kecil dan memanaskannya dengan api sedang. Sambil menunggu sarapannya panas, ia pun mencolokkan steker rice cooker ke stopkontak. Sudah biasa ia melakukan hal ini setiap liburan. Apalagi ketika hari minggu, ibunya tidak pernah masak hingga ia melakukan hal ini hingga sangat terbiasa.

"Wiiihhh, udah siap nih jadi BRT?" ledek Zein sedikit kagum.

"BRT?"

"Iya, Bapak Rumah Tangga."

Eric hampir saja menimpuk Zein dengan sendok yang berada di tangannya.

"Daripada lo kayak pengangguran. Gembel!" Zain membela Eric.

Zain dan Eric pun tos sebagai kemenangan. Zein hanya menggerutu.

Lima menit kemudian, mereka pun makan dengan sunyi. Hanya menyisakan dentingan sendok beradu dengan piring.

"Lo makan cepet amat, njir," kata Eric kepada Zein yabg sedang mengambil air minum.

"Gue keselek lo gak liat?" tanya Zein setelah selesai meminum segelas air putih.

Eric hanya menunduk sambil cengengesan.

"Muka Zein tuh memeable banget kalau lagi kesel"—Eric, 2020.




























"Tumben lo melihara kucing, Ric," celetuk Zein yang sedang tidur-tiduran di kasur Eric.

Tidak ada jawaban dari sang narasumber. Zein menoleh. Oh, tidur kawan.

"Zain," panggil Zein kepada belah pinangnya.

Zain mengangkat alis.

"Lagi ngapain lo? Serius amat," ledek Zein sambil terkekeh.

"Daripada lo yang kerjaannya gangguin makhluk ciptaan Tuhan," cibir Zain tidak mau kalah.

Karena merasa tersindir, Zein pun menempeleng kepala Zain. "Asal!"

Zain pun tidak ingin kalah. Ia mendorong Zein dari tempat tidur. Alhasil, Zein jatuh dan menimbulkan suara yang cukup keras. Untung karpet bulu, pikir Zein.

"Sibling sialan!" umpat Zein sambil berusaha berdiri. Ia mengejar Zain yang sedang siap-siap kabur dari kamar.  Namun, Zain kalah cepat, kerah bajunya sudah tertarik terlebih dahulu oleh tangan panjang Zein. Mereka oun guling-gulingan di lantai kamar yang menyebabkan bunyi gaduh. Eric yang sedang tertidur pun terbangun sambil bersungut-sungut sebal.

"WOI GANDENG!" teriak Eric kemudian melanjutkan tidurnya.

Zein yang sedang bersiap meninju Zain pun menyingkir.

"Lo sih!" kata Zein.

"KOK GUE??"

"Dahlah, gue mau ke bawah dulu, bye~"

Setelah kepergian Zein, Zain pun mendekati Eric yang sedang tertidur dan berbaring di sebelahnya. Ia pun menghela napas.

"Ric, lo mungkin nggak tau, tapi—



































































—nyawa lo dalam bahaya."






































































































"WHOAAAAAAA, ANJIR!!!"

Teriakan seseorang mampu membangunkan dua insan yang sedang begelut dengan bunga tidurnya. Mereka pun terbangun dan buru-buru keluar kamar dan menghampiri sang pemilik suara.

Zain melihat Zein yang berada di dekat gerbang. Mereka pun menghampirinya.

"Loh, Zein? Kenapa?" tanya Eric sedikit panik.

"I-itu," Zein menunjuk sesuatu yabg berada di balik tembok batas antara rumah Eric dengan jalanan kecil di samping rumah Eric.

"Itu bukannya kucing lo, Ric?" tanya Zain yang telah melihat terlebih dahulu.

"H-hah?" Eric mengerjapkan matanya untuk memastikan.
























"Mati?"



|Beside The House|

[✔️] ʙᴇsɪᴅᴇ ᴛʜᴇ ʜᴏᴜsᴇTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang