5.

242 1 0
                                    


Hai semoga nggak bosan sama cerita ini....

Dylan menatapku intens, seakan aku kekasihnya, dan sekarang aku membeku di tempatku. Aku pura-pura mengambil minum dari dispenser dan sesekali meliriknya. Dan ia tetap pada posisinya, memandangiku.

"Baiklah!. Lomba akan segera digelar aku harap kalian semua bisa menjalani latihan dengan baik. Dan semoga saja klub kita bisa membawa pulang medali!", suara semangat dari Danny cukup membuat teman-teman klub bersorak.

"Dylan, Sam ayo cepat berpasangan. Kita akan memakai musik yang sudah aku ubah. Baiklah kalian berdua siap?", Danny memandang kami berdua.

Aku memainkan kaki-ku dan menunduk. Jantungku berdetak cepat, baiklah aku harus membuat keputusan.

"Aku keluar dari grup ini", kataku cepat. Oke, ucapanku berdampak pada mimik Danny tidak pada wajah Dylan.

"Kita harus bicara..berdua", sahut Danny tidak sabar. Aku mencekal tangan kanan Danny.

"Tidak....kita bisa berbicara di-sini", aku menekankan kata terakhir.

"Aku mendengarkan", ujar Dylan datar dan melipat kedua tangannya di dada.

"Baik, dengar Dylan. Aku cukup mengerti jika kau tidak menyukaiku. Aku bahkan mengerti jika kau tidak ingin berdekatan denganku. Maka dari itu aku mengundurkan diri dari lomba minggu depan dan mundur jadi partner-mu", aku mengucapkan tanpa tersenyum dan langsung mengambil napas. Gila, aku hampir kesulitan menghirup udara. Wow!, bagus ini seperti bukan diriku.

Dylan hanya menatapku datar. Ya, sangat datar. Oke, aku keluar. Aku mengambil ransel dan handuk yang sudah basah lalu tumbler yang habis isinya.

"Hei, kau mau kemana!?", aku tak pedulikan panggilan Danny yang berulang. Aku mulai lelah dan bosan.

Aku mampir ke kedai es krim dekat dengan klub Danny. Aku sengaja bersembunyi disini supaya aku bisa melihat bagaimana reaksi Dylan. Aku memilih tempat di pojokan. Dan tak lupa semangkuk es krim dengan taburan kacang tepat di hadapanku.

Dua menit, lima menit, sepuluh menit....aku menghela napas sudah hampir dua belas menit aku menunggu tapi Dylan tidak keluar mencari ku. Ah, sudahlah memang aku perempuan spesial untuk Dylan. Lebih baik aku menghabiskan es krim ini dan pulang lalu memberitahu mama bahwa aku berhenti menari. Yup..seperti itu rencanaku.

Hei, kesedihanku tidak bertahan lama saat melihat papan diskon berdiri didepan toko pakaian 'Nordstar'. Senyuman nakal terbit dari bibirku. Aku masuk kedalam dan langsung menuju rak pakaian bertuliskan diskon.

Aku keluar dari toko dengan membawa dua paper bag. Aku tersenyum kecil meski hatiku sedih karena harus menguras uang jajanku. Aku menyetop taksi dan segera pulang.

Aku membuka pintu depan dan menutup dengan pelan. Bahuku tersentak saat seseorang menepuk pelan. Aku membalikkan tubuh dan sangat kaget melihat Danny berada dirumahku.

Lelaki itu tersenyum samar kepadaku lalu ia menggiring aku untuk masuk ke ruang tamu. Aku lebih kaget lagi dengan keberadaan Dylan yang sedang melihat album foto milik keluargaku.

"Ada yang bisa memberitahuku untuk apa kalian kemari?", tanyaku sinis.

Danny tersenyum manis dan menyuruhku untuk duduk di sofa.

"Tolong dengarkan penjelasan Dylan, dan kurasa kau tidak harus membatalkan lomba dansa ini. Iya kan, Sam?", kata-kata Danny membuatku ingin pergi lagi.

"Ini mimpimu dan kau sudah melalui dengan bagus. Kau yang terbaik, Sam" ujar Danny menyakinkan aku. Aku menatap kedua mata sepupuku itu. Tidak ada rasa kasihan tetapi tatapan semangat dan itu membuatku meleleh.

"Sekarang bicaralah berdua dengan Dylan", lanjut Danny.

"Di sini?. Tidak, tidak itu tidak akan terjadi!", aku bicara dengan nada tinggi.

"Sayang...ak-", ucapan Danny terpotong oleh gerakan tangan Dylan.

"Boleh aku mengajakmu keluar, mungkin mencari udara segar", aku menatap Dylan dengan mata berkedip. Apakah dia benar-benar menginginkan ikut dalam lomba itu?. Kalaupun iya dia sangat berambisi sekali. Sebenarnya aku suka dengan laki-laki seperti itu, tapi...entahlah.

"Bagaimana kau mau?", tanya Dylan memecahkan lamunanku.

"Apa aku perlu mengganti baju?", ya Tuhan kenapa pertanyaan konyol itu yang harus keluar dari mulutku.

"Tidak usah, ayo aku menunggu di luar", Dylan segera berlari kecil menuju pintu depan tanpa menoleh padaku.

Aku mengembuskan napas pelan dan berganti memandang Danny.

"Selesaikan urusanmu", perintah Danny. Aku mengangguk dan mengambil tas kecil.

"Tolong bilang Mama kalau ak-...", ucapanku terpotong saat aku berbalik pada Danny.

"Cepat pergi", titah Danny lagi. Tak lupa ia mengedipkan sebelah matanya. Aku berjalan dengan jantung berdebar. Semoga Dylan tidak marah saat aku mengatakan apa sebab aku mundur dari perlombaan itu.

**

My Sexy Partner Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang